Apakah Harus Dipertahankan?
PADA bagian ini, penulis ingin menunjukkan bagaimana praktik budaya telah lama menjadi isu dan tantangan tersendiri dalam universalitas HAM, atau dalam bahasa para ilmuwan pascakolonial sebagai kegagalan HAM dalam mengakomodasi praktik budaya.
Sebagai sebuah produk modernitas, dengan misi pemeradaban (Civilizing Mission), Konvensi Hak Anak (KHA) berpotensi mendelegitimasi nilai-nilai kolektif masyarakat tradisional. Menurut Abdullah Ahmed An-Na’im dalam bukunya Muslim and Global Justice (2011), HAM sebagai instrumen modern tidak mampu mengakomodasi pluralisme dalam praktik budaya dan agama. Universalitas HAM akan selalu berbenturan dengan relativitas budaya.
Dalam bahasa An-Na’im, masyarakat dengan lokalitas budayanya, tidak dapat meninggalkan tradisi mereka. Sebab, tradisi telah menjadi bagian dari keyakinan dan kehidupan mereka, sementara di sisi lain masyarakat tidak dapat menolak hukum universalitas HAM sebagai sebuah keyakinan masyarakat global.
Kasus “joki cilik” menjadi salah satu praktik yang di satu sisi dianggap praktik eksploitasi anak dan bertentangan dengan hak dasar anak, juga di sisi yang lain praktik tersebut dianggap sebagai tradisi yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Bima.
Baca juga: Semua Kuda Kita Sudah Tuli
Di sinilah kontestasi sengit sejauh mana nilai-nilai tradisi dinegosiasikan dan diterjemahkan ulang. Di saat yang sama, negara berperan sebagai pelindung masyarakat atau pemangku kebijakan dalam menjamin kehormatan masyarakat adat dan memenuhi hak-haknya sebagai warga negara.
Benturan universalitas HAM dan relativitas praktik budaya ini menjadi pintu masuk para ilmuan, khususnya pemikir pascakolonial dalam mengkritik wacana modernitas, termasuk Hak Asasi Manusia (HAM) yang dianggap tidak ramah dengan particular praktik budaya masyarakat non-Barat.
Gayatri Chakravorty Spivak, seorang ilmuan pascakolonial, dalam bukunya berjudul Can the Subaltern Speak? (1988), mencoba mengkritik teori gender, kesetaraan, dan kebebasan cara berfikir kolonialis yang mencederai budaya lokal masyarakat non-Barat. Contoh utama yang diurai Spivak dalam tulisan itu ialah kebijakan kolonial Inggris ketika menghapuskan praktik sati di India pada paruh pertama abad 19 karena dianggap sebagai praktik barbar atas nama agama.
Sati (secara literal berarti ‘istri yang baik’) ialah praktik pembakaran diri para janda yang ditinggal mati suaminya. Sati dalam kepercayaan India bukan hanya simbol kesetiaan istri terhadap suaminya, tetapi juga merupakan simbol spiritualisme dalam agama Hindu yang diadopsi masyarakat India itu sendiri.
Sebaliknya, Spivak melihat, para istri dalam ritual sati adalah orang-orang yang tidak pernah didengarkan suaranya. Para kolonial berbicara lantang mewakili mereka, tetapi mereka sendiri tidak diperbolehkan untuk berbicara menyuarakan pengalamannya sendiri. Ini tidak berarti bahwa mereka benar-benar dibungkam, tetapi apa yang ingin mereka suarakan, tidak pernah didengar.
Oleh karena itu, subaltern, yang dimaksud oleh Spivak mengacu pada kelompok sosial tersubordinasi entah atas nama gender, kasta atau jenis pembagian kelas sosial, yang karena konstruksi pengetahuan dihegemoni sehingga mereka tidak dapat berbicara atas nama diri mereka sendiri.
Karya lain berjudul Postcolonialism, Feminism, and Religious Discourse (2002) yang diedit oleh Laura Donaldson & Kwo Pui-Lan juga banyak mengkritik bagaimana Barat memandang budaya “Dunia Ketiga”. Karya ini mengangkat beberapa contoh tradisi di beberapa agama yang dianggap mendiskriminasi perempuan seperti tradisi mengikat kaki (footbinding) di Tiongkok, pemotongan kelamin perempuan di Afrika, jilbab dan niqab di negara-negara mayoritas muslim, di mana tradisi-tradisi keagamaan ini dinarasikan oleh kolonial Barat sebagai bentuk “tertindasnya” perempuan Dunia Ketiga.
Oleh karena itu, dalam perspektif mereka, mereka hadir sebagai pemberi jalan keluar dan pembebasan bagi para perempuan untuk melawan tradisi-tradisi tersebut sebagai bentuk kebebasan perempuan sebagai individu yang punya kapasitas dan merdeka atas dirinya sendiri.
Baca juga: Menilik Joki Cilik dari Kacamata HAM dan Wacana Kolonial (1)
Di Indonesia, ada banyak tradisi dan kepercayaan yang berpotensi dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan eksploitasi di mata kolonial. Tradisi pemotongan jari di salah satu suku di Papua, pemanjangan daun telinga dengan banyak anting di salah satu etnis di Kalimantan, dan soal jilbab, niqab, dan poligami dalam masyarakat muslim atau bahkan tradisi “rimpu” dalam masyarakat Bima.
Namun, studi terhadap tradisi budaya dan agama bukan lagi sebagai sebuah persoalan perlawanan dan pembebasan seperti apa yang diupayakan oleh para kolonial, melainkan kita melihat lebih jauh bagaimana pihak yang dianggap tersubordinasi, baik perempuan maupun anak-anak berbicara atas persoalannya sendiri atas budaya dan agama yang diyakininya tanpa harus diintervensi oleh paradigma Barat dan orang-orang kulit putih.
Studi sosial pascakolonial bukan lagi pada apakah praktik-praktik ini bertentangan dengan norma tertentu seperti HAM, melainkan pada ranah yang jauh lebih kritis daripada itu yakni bagaimana pemeluk budaya, tradisi, dan agama tersebut harus mampu berbicara mewakili dirinya sendiri tanpa harus diwakili atau direpresentasikan oleh siapapun, termasuk oleh mereka para pejuang HAM.
Lalu, apakah “joki cilik” dalam praktik pacuan kuda dalam tradisi masyarakat Bima termasuk bagian daripada eksploitasi anak sebagaimana pandangan HAM dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Atau hanya berupa praktik budaya yang seharusnya dipertahankan atas nama tradisi sebagaimana yang diperjuangkan oleh ilmuwan sosial pascakolonial?[]
Ilustrasi: Foto Paox Iben
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta