JIKA kita membaca diri secara obyektif dan mendalam, diiringi dengan membaca rasa dan membaca hati, kita akan menemukan bahwa sesungguhnya di dalam diri ini ada fitrah yang dipasang Tuhan untuk mengendalikan kita dari berbuat sesuatu yang dilarang oleh-Nya, yakni rasa malu.
Malu adalah suatu kondisi di mana kita merasa bersalah, merasa terbebani jika melakukan suatu perbuatan (troubled by guilty feeling). Merasa terganggu oleh adanya rasa bersalah.
Rasa malu bila benar-benar berfungsi pada masing-masing diri, maka sesungguhnya ia akan menjadi penciri bahwa manusia itu masih hidup, dan bisa jadi sebagai pagar pengaman dari liarnya ego diri.
Karena malu berfungsi sebagai perisai dalam menjalani kehidupan, itulah mungkin latar belakang asbabul wurud dari sabda Nabi saw, “Idza lam tastahyi, fashna’ ma syi’ta”. Jika engkau sudah tidak punya rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.
Hadis di atas memiliki kandungan makna yang sangat dalam, apabila kita tega melakukan sesuatu yang tidak pantas dari sudut pandang kebenaran, maka kita sudah tidak memiliki rasa malu.
Mari kita telusuri lorong kehidupan di sekitaran diri kita, pasti akan kita temukan aksi yang bertentangan dengan fitrah malu sebagai penciri manusia hidup.
Baca juga: Mendikte Perilaku Saat Melayat
Kejahatan sering kita dengar telah terjadi dalam interaksi kehidupan manusia, baik kejahatan sosial, kejahatan kemanusiaan, kejahatan agama, sampai kepada kejahatan akademik.
Sebagai manusia yang hidup, seharusnya malu untuk melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun, di mana pun, dan dalam situasi yang bagaimanapun. Karena manusia itu ditakdirkan hidup oleh Tuhan dengan bekal berupa fitrah untuk berbuat benar dan berdamai, maka dalam hidup yang ia jalankan pastinya harus condong kepada kedamaian dan anti kepada kejahatan.
Kita juga sering mendengar berita tentang pengkhianatan, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berumah tangga, pertemanan, jabatan, dan bisnis. Sebagai makhluk yang ditakdirkan untuk hidup, seharusnya manusia malu untuk berkhianat kepada siapa pun, malu untuk melanggar komitmen yang telah disepakati dengan nuansa saling percaya, karena pada hakikatnya manusia diciptakan Tuhan untuk menegakkan amanah.
Ketidakjujuran di beberapa lini kehidupan juga tidak jarang kita temui, di pasar, di kantor, di tempat-tempat, dan di mana saja ada proses transaksi. Sebagai makhluk yang dihajatkan untuk hidup bersosialisasi, seharusnya manusia itu malu untuk tidak jujur, berdusta, dan membual dalam menjalin hubungan kemanusiaan dengan siapa pun, karena pada hakikatnya Tuhan menciptakan manusia dengan fitrah membenci kebohongan.
Merampas dan menggerogoti hak orang lain, mengambil keuntungan yang bukan haknya, dan bahkan memanipulasi hanya untuk memindahkan hak orang menjadi miliknya, sering terjadi dalam dinamika kehidupan manusia.
Sebagai bagian dari komunitas sosial, seharusnya kita malu mengambil sesuatu yang bukan hak kita, malu memanipulasi, dan malu mencuri milik orang lain, karena hakikatnya manusia dicitakan Tuhan dengan kadar rezeki yang cukup, tanpa harus merampas hak orang lain.
Baca juga: Pergantian Tahun, Menjadi Manusia Terbarukan
Dalam komunikasi verbal, kita juga sering mendengar perkataan yang kurang pantas, yang dialamatkan kepada sesama. Sebagai makhluk yang memiliki rasa, manusia itu seharusnya malu untuk mengucapkan kata-kata kotor, kasar, dan keras, karena bekas luka yang diakibatkan oleh lisan sangat sulit dihilangkan.
Maka komunikasi santun dan halus harus dikedepankan dalam menghadapi situasi yang bagaimanapun, karena pada hakikatnya manusia diciptakan Tuhan dengan fitrah menyukai kehalusan budi dan ketinggian akhlak.
Berdisiplin dalam mengelola diri di dalam harmoni kehidupan, baik kaitannya dengan duniawi maupun ukhrwi penting kita tegakkan, dan kita harus malu untuk tidak disiplin dalam segala tindakan, dalam mengikuti ritme waktu, dan dalam menjalani tahapan-tahapan dinamika kehidupan, karena Tuhan dalam proses penciptaan manusia, dipahat dengan sangat disiplin, dan dituntun dengan syariat yang bermuatan mendisiplinkan.
Demikian pula dalam hal ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan Sang Pencipta. Sebagai hamba yang ditakdirkan hidup dalam genggaman kudrat dan iradah-Nya, seharusnya kita malu untuk tidak taat, tidak patuh, dan tidak tunduk pada aturan Tuhan, pada ajaran yang disyariatkan, dan pada aturan yang diwahyukan, karena pada hakikatnya manusia itu dibekali kemampuan untuk memahami dan mengimani Tuhan semesta alam.
Apabila dalam menjalani kehidupan dengan berbagai dimensi dan dinamikanya, masih terdapat manusia yang tidak malu melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan dan kebenaran, tidak malu melanggar aturan, tidak malu berbohong dan membual, maka sesungguhnya ia telah menjemput kematiannya sebelum ajal datang, karena hanya orang-orang yang sudah mati yang hilang rasa malunya.
“Al haya’u wal imanu qurina jami’iyan, faidza rufi’a ahadu huma rufi’al akharu”. Sifat malu dan iman disandingkan secara bersamaan, jika salah satunya terangkat atau hilang, maka hilang pulalah yang lainnya.
Mari kita telisik rasa yang ada di dalam diri kita masing-masing, masih adakah rasa malu bersemayam di dalam diri kita? Jika masih ada, peliharalah, pertahankahlah, dan aktifkanlah selama hayat dikandung badan.
Jikalau Rene Descartes merangkai kalimat yang menjadi prinsip hidupnya “Cogito Ergo Sum”. Aku berpikir maka aku ada”, maka sebagai makhluk beragama, kita harus memiliki prinsip hidup yang lebih dahsyat, “saya masih memiliki rasa malu, berarti saya masih hidup”.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram