KASUS diskriminasi dan intoleransi atas nama agama terhadap kelompok minoritas dan aliran keagamaan sering kita dengar di Indonesia, bahkan menjadi isu yang masih belum tuntas hingga hari ini. Kasus-kasus intoleransi dan persekusi terhadap kelompok minoritas dan aliran keagamaan ini dapat dengan mudah dijumpai dan ditelusuri hingga pada periode awal kemerdekaan Indonesia.
Tulisan ini akan memotret beberapa kasus diskriminasi dan intoleransi agama di balik kuasa kelompok agama dominan. Antara lain: diskriminasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan dan pemeluk agama lokal, persekusi terhadap aliran keagamaan, dan soal pemakaian jilbab di sekolah sebagai agenda politik penyeragaman.
Ekslusi Agama Lokal di Balik Kuasa Rekognisi
Dalam konteks sejarah dan politik Indonesia, ekslusi terhadap kelompok minoritas di balik kuasa kelompok-kelompok dominan dapat dilihat dalam politik kategorisasi agama, yang secara tidak langsung mengekslusi praktik adat dan agama lokal. Mereka yang tidak memenuhi standar kategori agama tersebut dianggap bukan sebagai agama, tetapi dikategorikan sebagai budaya dan kearifan lokal, kepercayaan, dan adat istiadat.
Akibatnya, banyak kelompok penghayat kepercayaan dan pemeluk agama lokal yang secara terpaksa melakukan konversi agama, dan memilih salah satu agama resmi negara seperti Kristen dan Islam demi mendapatkan rekognisi dan pelayan publik sebagai warga negara.
Baca juga: Potensi Kekerasan yang Bernama Kelembutan
Politik kategorisasi agama ini juga menimbulkan stigma negative terhadap kelompok penghayat kepercayaan dan pemeluk agama lokal sebagai masyarakat yang primitive dan terbelakang, olehnya mereka perlu dimodernisasi dengan menjadikan mereka pemeluk salah satu agama resmi negara sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya.
Di Balik Fatwa “Kesesatan dan Penyimpangan”
Selain itu, diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas, juga dapat dijumpai pada berbagai tindakan kekerasan yang dialami oleh mereka yang dianggap sebagai pengikut “aliran sesat dan menyimpang” dalam beragama, seperti kelompok Syiah dan Jemaat Ahmadiyah.
Kasus-kasus yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan aksi diskriminasi dan persekusi terhadap Jemaat Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, juga kasus kekerasan terhadap kelompok Syiah di Sampang-Madura, Jawa Timur. Kesemuanya menunjukkan bahwa intoleransi terhadap kelompok minoritas masih terjadi hingga hari ini.
Status kesesatan mereka secara resmi mendapat “stempel” dari negara melalui fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga keagamaan seperti MUI dan Kementerian Agama. Sehingga bermunculan kelompok-kelompok intoleran yang secara tidak langsung mendapat justifikasi atas tindakan kekerasan yang mereka lakukan terhadap kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah di Sintang misalnya, sekolompok orang yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam menyebarkan ajakan intoleran seperti, “Kami Menolak Ahmadiyah (Kenali Bahaya dan Kesesataannya)” diikuti dengan tindakan kekerasan berupa pembakaran masjid dll.
Dalam kasus Ahmadiyah, pada akhirnya mereka dipaksa untuk menghentikan kegiataan keagamaannya, termasuk berhenti melakukan tafsir atas agama Islam karena Ahmadiyah “bukan” Islam. Artinya, jika Jemaat Ahmadiyah ingin dianggap sebagi umat Islam, maka ber-Islam-lah seperti kebanyakan (mayoritas) ber-Islam. Mereka secara tidak langsung dituntut untuk seragam dengan kelompok mayoritas Islam Indonesia lainnya.
Tidak mengherankan jika Ahmet T. Kuru, seorang seorang guru besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University, mengatakan bahwa mayoritas negara muslim cenderung memiliki watak dan mindset otoriterianism. Mereka abai terhadap hak-hak minoritas, tetapi mereka akan sangat reaktif ketika menghadapi aliran-aliran keagamaan yang menyimpang dan merusak nama baik kelompok mayoritas.
Baca juga: Oksigen Baru untuk Pancasila
Sampai di sini saya menilai, seyogianya negara dan otoritas keagamaan tidak boleh hanya sekedar mengeluarkan fatwa kesesatan dan penyimpangan terhadap suatu kelompok, tetapi juga harus diikuti dengan sosialisasi bagaimana cara bersikap dan berinteraksi dengan mereka yang dianggap sesat agar tidak menimbulkan konflik kekerasan dan persekusi di akar rumput masyarakat.
Karena, apabila hanya mengeluarkan fatwa penyesatan lalu melepas masyarakat begitu saja akan menimbulkan efek liar dan pembiaran terhadap kekerasan. Seperti kasus persekusi di Lombok Timur, Sintang, dan Sampang-Madura.
Obsesi Penyeragaman dalam Beragama
Mengutip Pew Research Center lewat surveinya, “The Global God Divide” (2020) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan satu dari negara-negara paling religius di dunia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap agama, Tuhan, dan doa, termasuk simbol keagamaan sebagai bagian penting dalam hidup mereka. Tidak heran jika spiritualitas dan identitas keagamaan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan di Indonesia.
Namun, hal yang sering terlupakan adalah hak-hak minoritas di balik menguatnya identitas keagamaan di ruang publik. Hal ini dapat dilihat dalam kasus pemaksaan dalam anjuran dan (atau) larangan pemakaian jilbab di institusi pendidikan di beberapa daerah di Indonesia.
Pada tahun 2014, terjadi pelarangan menggunakan jilbab bagi muslimah hampir di seluruh sekolah di Bali. Sebagai salah satu provinsi dengan penduduk mayoritas beragama Hindu, pelarangan memakai jilbab bagi siswa di Bali tersebut tentu saja berkaitan langsung dengan obsesi politik penyeragaman atas nama mayoritas di institusi pendidikan di daerah tersebut.
Pada tahun 2021, terjadi kasus sebaliknya, siswi di Padang, Sumatera Barat dipaksa memakai jilbab atas instruksi Wali Kota Padang bahwa setiap siswi wajib memakai jilbab di sekolah. Di sini, Islam adalah agama mayoritas dan tentu aturan tersebut dikeluarkan atas nama mayoritas pula.
Baca juga: Jilbab dan Simbolisasi Agama di Ruang Publik
Baru-baru ini, Juli 2022, viral di media sosial, seorang siswi kelas X di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY, mengalami depresi setelah dipaksa mamakai jilbab di sekolahnya. Lagi-lagi mayoritas memiliki kuasa atas minoritas, dan minoritas harus tunduk terhadap kehendak mayoritas.
Di sinilah bahayanya mayoritanisme, di mana kelompok mayoritas berkuasa atas minoritas. Minoritas tidak diberikan ruang kebebasan dalam berekspresi dan mensosialisasikan keyakinan mereka di ruang-ruang publik. Mayoritanisme di sini jika dibiarkan akan melanggengkan diskriminasi dan intoleransi serta merusak kebhinekaan di Indonesia yang selama ini dirawat dan diperjuangkan.
Sebagai kesimpulan, kita seharusnya paham bahwa Indonesia adalah negara yang plural dalam hal agama dan budaya, dan konstitusi negara juga menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Olehnya, diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas tentu tidaklah dibenarkan.
Kelompok mayoritas seharusnya mampu mengakomodasi dan berbagi ruang kebebasan bagi setiap kelompok keagamaan dalam menjalankan ajaran agama dan keyakinannya masing-masing sebagai konsekuensi negara yang demokratis.[]
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta