DULU sebelum teknologi berkembang seperti sekarang ini, ketika memberi citra bagi orang yang jujur dan berbudi pekerti yang baik, diksi yang dipilih dan sangat populer adalah “satunya kata dengan perbuatan”. Artinya apa yang diomongkan teraplikasi dalam perbuatan nyata dalam aktivitas sehari-hari.
Apabila seseorang mampu mengelola dirinya menjadi orang yang “satunya kata dengan perbuatan”, maka orang tersebut pantas menjadi teladan dalam kehidupan dan menjadi salah satu indikasi bahwa orang itu baik, jujur, dapat dipercaya, komitmen, dan tanggung jawab.
Biasanya orang-orang yang dilabeli sebagai orang yang “satunya kata dengan perbuatan” adalah yang berhati-hati dalam bertutur dan berhati-hati pula dalam berbuat, sehingga antara perkataan dan perbuatannya seimbang, dan apabila sebaliknya, lain perkataan dan lain perilakunya, maka akan dicap sebagai pembual dan bahkan munafik.
Baca juga: Maulid Nabi saw: Transformasi Nilai
Dalam kacamata psikologi agama bahwa orang yang memiliki kepribadian “satunya kata dengan perbuatan” berarti kehidupannya penuh dengan integritas yang bersumber dari kedewasaan rohani dan psikologis.
Saat ini, di era perkembangan teknologi yang telah mencapai kemajuan yang sangat luar biasa, gejala yang muncul di tengah kehidupan kita adalah minimnya aktivitas komunikasi verbal, sehingga batasan “satunya kata dengan perbuatan” sebagai indikasi orang baik sangat sulit diukur, karena statement verbal yang biasanya dominan kita dengar, beralih ke statement tulisan singkat yang dituangkan di dalam media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, dan Sort Message Service (SMS), juga melalui postingan gambar maupun video.
Dengan perkembangan media komunikasi inilah, pengakuan terkait dengan “satunya kata dengan perbuatan” sebagai indikasi seseorang berintegritas, berkembang bukan hanya “satunya kata dengan perbuatan”, akan tetapi menjadi “satunya kata, tulisan, postingan di media sosial, dan perbuatan”.
Orang bisa membaca kadar baik atau buruk dari seseorang dengan melihat dan mencermati postingan-postingan yang di-upload di media sosial, entah tulisan, video, maupun gambar-gambar.
Apabila kita cermati postingan-postingan di media sosial, tidak sulit untuk menemukan jejak karakter peng-upload-nya berdasarkan tampilan statement dalam bentuk tulisan melalui pesan singkat, atau gambar dan video yang diposting.
Ada postingan gambar dan video inspiratif, religius, dan ada pula postingan gambar dan video yang tak pantas dipertontonkan, karena berbau porno dan kekerasan. Begitu juga dengan statement tulisan, ada yang menyejukkan dan mendamaikan, ada yang berisi provokatif, bahkan ada pula berisi ujaran kebencian dan fitnah. Dari material gambar, video dan statement-statement tulisan itulah kita dapat membaca karakter pengirimnya.
Dengan demikian, indikasi orang baik sangat dipengaruhi oleh kondisi zaman dan perkembangan teknologi. Oleh karenanya, kita harus lebih berhati-hati di dalam menunjukkan identitas diri, berhati-hati dalam berkomunikasi verbal, berhati-hati dalam memposting, dan berhati-hati dalam menulis statement di media-media sosial.
Di samping itu, perlu juga diingat bahwa di samping berhati-hati dalam memposting apa saja, juga lebih berhati-hati dalam menikmati sajian di media sosial. Kalimat indah dengan diksi-diksi religius terkadang hanya kamuflase, sebab di antara sekian banyak manusia, ada yang halus tutur bahasanya dan santun pilihan diksi dalam tulisannya, tetapi perilakunya kadang jauh dari konsep kebenaran yang diusung oleh syariat agama.
Baca juga: Perdebatan Orang Bima tentang Konsepsi Tuhan dan Lainnya
Oleh karenanya, dalam menyikapi perkembangan zaman dengan diiringi derasnya arus perkembangan teknologi, untuk menjadi “satunya kata, tulisan, postingan di media sosial, dan perbuatan”, perlu kita tanamkan di dalam diri masing-masing konsep hidup yang digariskan para ulama kita, sebagai tameng yang menguatkan karakter baik yang kita miliki, yakni sifat izzah, muru’ah, dan iffah.
Izzah merupakan kemampuan mempertahankan kebenaran agama yang kita anut dan kita yakini, baik tatkala kita beraktifitas di dalam dunia nyata maupun di dunia maya atau tatkala sendirian maupun sedang di dalam komunitas, tetap mengedepankan akhlak karimah sebagai identitas yang dipertahankan secara konsisten, bahkan akan sempurna apabila sifat izzah itu dibarengi oleh kemampuan berbuat ihsan.
Kemudian sifat kedua adalah iffah, yakni kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menahan gejolak hawa nafsu, termasuk menjaga kesucian jiwa, menjaga kejernihan pikiran, dan merawat keluasan hati, sehingga dengan sifat iffah itu, manusia akan tertahan nalurinya untuk mencintai dunia secara berlebihan, dan tidak akan serakah untuk merebut apa saja yang bukan haknya. Dan salah satu caranya adalah menjadikan sifat malu sebagai pakaian sehari-harinya.
Selanjutnya muru’ah sebagai sifat ketiga, yakni menjaga perilaku agar tetap berada pada situasi yang terhormat dan menghindari keburukan akhlak yang dapat mencederai keluhuran budi pekerti.
Menjaga muru’ah salah satunya dapat dilakukan dengan berpegang pada nasihat para ulama untuk senantiasa melakukan 5 aktivitas mulia yang dapat menjaga dan sekaligus merawat hati, yakni membaca al-Qur’an sambil memahami dan mentadabburi maknanya, gemar berpuasa atau mengurangi makan, bangun untuk melaksanakan salat pada sepertiga malam, senantiasa berzikir dan memohon ampun di waktu sahur, dan berkumpul bersama orang-orang saleh.
Dengan menjaga tiga sifat yakni izzah, muru’ah, dan iffah agar selalu bersemayam di dalam diri, diikuti dengan konsisten pada lima aktivitas yang dapat menjaga dan merawat hati, maka indikasi orang baik yang dicirikan dengan “satunya kata, tulisan, postingan di media sosial, dan perbuatan” dapat kita raih.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Kata kunci yg sangat bagus adalah:
1. Orang baik itu adalah satunya kata dan perbuatan.
2. Potoingan kita, tampilan kita adalah “jejak karakter” kita.
Kata kunci yg sangat bagus adalah:
1. Orang baik itu adalah satunya kata dan perbuatan.
2. Postingan kita, tampilan kita adalah “jejak karakter” kita.