KATA nasionalisme tidaklah asing bagi kita, namun menjadi sebuah pertanyaan adalah sejauh mana kita memahami maknanya, seberapa dalam kita meyakini keberadaannya dan seberapa banyak kita telah mengamalkannya.
Pada umumnya, nasionalisme dipahami sebagai suatu perasaan cinta serta kebanggaan seseorang kepada tanah airnya. Rasa cinta inilah yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku keseharian, dan dari sikap inilah kita dapat mengetahui tingkat kecintaan seseorang tersebut terhadap bangsa dan tanah airnya.
Pernahkah kita merenung sejenak sembari bertanya, seberapa dalamkah kita mencintai bangsa ini, apa saja yang pernah kita lakukan untuk mewujudkan cinta tersebut?
Apakah kita telah sadar menjaga lingkungan alam sekitar kita? Apakah kita telah mampu menciptakan kerukunan di antara sesama warga negara yang berbeda suku dan agama dengan kita? Sejauh manakah kita taat terhadap hukum negara ini?
Baca juga: Hukum Adat dan Nasib Transformasi Generasi Indonesia
Apakah kita telah sadar dan menemukan jati diri sebagai manusia yang berbudaya dan mencintai kebudayaan? Mari kita renungkan bersama, rasa dan sikap nasionalisme yang bagaimana yang telah kita berikan kepada negara yang kita cintai ini.
Mewujudkan sikap nasionalisme di tengah keberagaman merupakan suatu hal yang tentu tidaklah mudah, namun akan menjadi mudah tergantung bagaimana cara dan dengan sudut pandang apa yang kita gunakan. Jika perbedaan itu justru kita jadikan sebagai kekuatan perekat persatuan, maka tentunya nasionalisme bukanlah suatu hal yang mustahil.
Keberagaman Indonesia dengan ribuan suku bangsa dan agama yang berbeda telah dituangkan oleh negara dalam sesanti Bhineka Tunggal Ika pada lambang burung garuda dan menjadi conditio sine quo non bagi pengakuan negara atas keberagaman.
Ke-bhineka-an masyarakat ini tentu memiliki potret tersendiri, baik itu cara hidup, cara pandang bahkan cara berhukum. Tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba memotret yang terakhir ini yakni Ke-bhineka-an dalam konteks hukum.
Tidak dapat dipungkiri bahwa selain hukum positif yang diterbitkan oleh negara, sesungguhnya eksis pula hukum yang hidup pada masyarakat adat yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi yang sering kita kenal dengan hukum adat.
Hadirnya hukum adat sebagai hukum rakyat ini oleh Malinowski membuktikan bahwa hukum hadir tidak semata-mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi oleh suatu negara, tetapi hukum hadir sebagai pengendali sosial (legal order) yang terdapat dalam setiap bentuk masyarakat.
Dengan demikian, maka tentu saja hukum dapat hidup pada masyarakat yang beragam dengan bentuk yang beragam pula. Keragaman ini menunjukkan bahwa pada masyarakat “sederhana” terdapat hukum yang hidup dan mampu menyelesaikan segala persoalan dan konflik yang terjadi serta memberi rasa keadilan bagi masyarakatnya.
Tidak dapat disangkal, bahwa kita adalah bagian dari rakyat yang hidup di bawah peraturan-peraturan hukum. Baik yang diciptakan oleh negara maupun oleh rakyat itu sendiri. Lahirnya produk-produk hukum negara sejalan dengan tuntutan kebutuhan hukum masyarakat saat ini.
Namun pembaharuan hukum yang terjadi, lebih kepada pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat modern yang terkadang tidak terjangkau oleh masyarakat sederhana yang hidup di pelosok negeri.
Jika kita kembali menengok ke belakan, sejenak kita mengingat, nasionalisme pada era orde baru dimaknai sebagai penyeragaman dalam berbagai hal. Pada masa itu tidak boleh ada perbedaan, berbicara tentang daerah maka akan dicap sebagai berpikiran sempit dan primordial.
Baca juga: Menelisik Lebih Jauh Makna HAM dalam Islam
Salah satunya, terlihat pula pada hancurnya institusi lokal akibat penyeragaman institusi adat di desa. Dalam UU Desa No. 5 tahun 1979, pada konsideran menimbang UU ini menyatakan bahwa: “sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku….”.
Berdasarkan UU ini, maka lahirlah model pemerintahan desa yang seragam, serta institusi-institusi penunjang seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Lembaga Masyarakat Desa (LMD), yang menggantikan institusi-institusi lokal.
Dari kebijakan itu, terjadilah kehancuran pada institusi-institusi lokal tersebut, seperti contoh berupa hancurnya institusi Krame Desa di Lombok yang sudah selama ratusan tahun berfungsi sebagai media penyelesaian berbagai masalah di desa termasuk penyelesaian hukum.
Melihat hal tersebut, maka tanpa disadari institusi-institusi lokal, termasuk institusi hukum masyarakat lokal lambat laun terancam punah. Rakyat dipaksakan tunduk semata pada hukum negara yang terkadang tidak dapat memenuhi rasa keadilan bagi mereka. Kendati demikian, hukum-hukum rakyat telah mengakar kuat dan melekat di jiwa-jiwa rakyat yang tak begitu mudah terhapuskan.
Banyak tempat di pelosok negeri ini masyarakat adat yang hidup dengan hukumnya yang sederhana masih tetap hidup dan eksis. Bahkan memiliki kontribusi besar terhadap negara dalam membantu menyelesaikan persoalan-persoalan hukum di tingkat lokal.
Kendati demikian, patut disyukuri bahwa sejak era reformasi makna dan paradigma nasionalisme menjadi berubah. Jika sebelumnya semua serba seragam, justru pada era ini nasionalisme dimaknai sebagai penghargaan terhadap keberagaman. Untuk selanjutnya negara mengakuinya dalam konstitusi dengan pengakuan terhadap masyarakat, khususnya masyarakat adat atau masyarakat lokal beserta hukum yang hidup di tengah mereka.
Dalam konteks eksistensi masyarakat adat secara konstitusional hal ini tertuang dalam pasal 18b ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”.
Selain itu, pengakauan terhadap perbedaan dan keragaman ini juga tertuang dalam UU Desa yang baru yakni UU no 6 tahun 2016 tentang Desa, di mana UU ini memberikan peluang bagi wilayah tertentu untuk memilih merubah statusnya wilayahnya sebagai desa adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengakuan dan penghormatan negara akan keberadaan masyarakat adat ini menunjukkan bahwa keberadaan hukum yang melekat pada diri mereka merupakan sebuah keniscayaan bagi hadirnya hukum rakyat dalam menciptakan kedamaian dan keadilan di negeri ini.
Namun menjadi sebuah pertanyaan besar, apa bukti konkrit negara mengakui keberadaan mereka? Apakah negara telah mampu mengimplementasikan secara konkrit dalam memberikan perlindungan hukum secara optimal?
Pada UU No 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, tepatnya di pasal 5 menghendaki bahwa hakim hendaknya wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal ini merupakan perwujudan dari asas hakim dilarang dan tidak boleh menolak perkara yang sudah masuk ke pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan alasan hukumnya tidak jelas.
Baca juga: Statuta Roma; Harapan untuk Keadilan Internasional
Karena, jika hakim tidak menemukan hukum secara tertulis, maka dia wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Namun Kembali menjadi sebuah pertanyaan sejauh manakah para hakim sudah melakukan hal itu? Pasal ini pun sering kali tidak diindahkan sehingga lagi-lagi hukum rakyat hanya sebatas pengakuan di atas kertas, konkritnya kembali pada diri hakim itu sendiri, jika ia menghendaki jika tidak maka pasal itu tidak diindahkan.
Pada konteks ini, maka sudah seharusnyalah hukum-hukum lokal dapat diserap untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum nasional sebagai upaya pembaharuan hukum di negeri ini., termasuk terhadap RUU KUHP yang sedang dibahas saat ini.
Mari kita tengok sejenak, ribuan suku bangsa di negara ini hidup dan eksis di tanah dan hukum yang mereka bangun bersama. Hukum yang mereka ciptakan hidup pada institusi-institusi lokal dengan beragam bentuk sesuai dengan adat dan budaya yang dipunyai.
Tentunya hukum-hukum yang dibangun telah memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar kebutuhan hukum mereka sebagai masyarakat yang sederhana. Hukum-hukum itu bersemayam di institusi-institusi lokal, ada yang menamainya dengan kerapatan adat, ada yang menyebutnya dengan peradilan adat, di Aceh hidup institusi Gampong dan Mukim, Kertha Desa di Bali, Kerame Adat di Lombok, pengadilan mancalima di Wonogiri, lahirnya Undang-undang Simbur Cahaya bagi masyarakat Palembang, dan bahkan hukum-hukum itu lahir di pelosok-pelosok kampung dari hasil duduk bersila dengan ragam cara dan nama yang berbeda.
Kesemuanya itu adalah hukum rakyat yang hidup dan eksis sebagai the living law yang oleh Soepomo dikatakan sebagai hukum yang hidup karena menjelmakan perasaan hidup yang nyata dari rakyat. Hukum ini terus menerus tumbuh dan berkembang seperti masyarakat itu sendiri, mengikuti dan memenuhi rasa keadilan bagi rakyatnya.
Sebegitu pentingnya keberadaan hukum adat sebagai hukum rakyat ini, sehingga institusi-institusi lokal yang cahayanya mulai meredup harus dinyalakan kembali. Jika cahaya tak seterang matahari dan bulan, paling tidak seterang cahaya obor yang mampu dibawa kemana-mana, mengikuti langkah kaki pemiliknya. Maka rakyat sebagai pemilik cahaya obor itu diharapkan mampu membawanya, demi perlindungan yang diimpikan.
Dengan demikian maka keberadaan institusi lokal yang beragam di seluruh Nusantara sesungguhnya menjadi kekuatan sekaligus perekat persatuan bangsa, yang tentunya dapat menjadi semangat nasionalisme yang dapat kita bangun bersama.[]
(Disarikan dari orasi ilmiah penulis berjudul Membangun Institusi Lokal dalam Menghidupkan Hukum Rakyat sebagai Wujud Nasionalisme Bangsa dalam Yudisium Fakultas Syariah UIN Mataram 2022)
Ilustrasi: Bincangsyariah.com
Dosen Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram