Predator Anak di Sekitar Kita

Menarik membaca tulisan Zidniy Ilma (selanjutnya ZI) di Kahaba.Net (9/1/2022). Opini dengan judul Qou Vadis Kejahatan Seksual pada Anak di Dana Mbojo yang sudah dibaca hampir 500-an orang. Secara garis besar tulisan tersebut berisi keprihatinan dari penulisnya. Namun, ada beberapa hal yang sebenarnya dalam tulisan tersebut beberapa hal yang saya anggap keliru dengan beberapa lompatan logika yang membuatnya tidak utuh dalam melihat persoalan.

Ringkasnya, menurut saya, ZI memaparkan dua keprihatinan yakni tentang data kekerasan seksual pada anak yang terus meningkat dan kekhawatirannya pada paham sekuler dan kapitalis yang terus berjalan dan terbukti tidak mampu dalam menyelesaikan persoalan kekerasan seksual ini. Sambil di akhir tulisannya ZI memberi solusi bahwa Islamlah solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Patut untuk menjadi bahan renungan bahwa kekerasan seksual terutama pada anak itu kompleks. Ini bukan saja soal anak, keluarga dan lingkungan pergaulan apalagi menyangkut tingkat keberimanan kita pada Tuhan. Mungkin ada pengaruhnya, tapi itu bukan satu-satunya sumber masalah, apalagi satu-satunya tawaran untuk solusi yang meminjam istilah Buya Syafi’i Ma’arif merupakan fenomena gunung es. Puncak gunungnya saja yang mengemuka ke publik, padahal kaki dan dasar gunung itu banyak, besar dan sialnya tidak terlihat dan tidak mendapat perhatian publik.

Mengapa Bisa Terjadi

Meningkatnya data kekerasan seksual tersebut, bisa jadi selain faktor yang dijelaskan oleh ZI itu, meningkatnya faktor kekerasan seksual tersebut akibat memang minimnya pengetahuan anak terhadap apa yang dimaksud kekerasan seksual itu. Kita lebih cenderung melihat kekerasan tersebut dari pihak pelaku. Tapi tidak melihat kekerasan tersebut dari sudut pandang korban.

Dalam sebuah workshop tentang kekerasan seksual pada anak di Kota Bima akhir 2021 lalu yang saya ikuti, praktis semua narasumber tidak ada yang menyinggung solusi untuk meminimalisir kekerasan seksual tersebut dengan sex education pada anak. Saya tegaskan lagi tidak ada. Ketika itu, saya pun bingung mengapa hal tersebut tidak dibicarakan.

Saya teringat dengan agenda istri dari Wali Kota Bima yang ingin mengadakan kegiatan pelatihan sex education yang ditentang oleh publik. Saya juga bingung, kenapa dipermasalahkan. Fakta demikian, saya kira menjadi salah satu hal penting untuk dibicarakan terkait dengan masalah kekerasan seksual ini. Ini bukan soal kata sex-nya, tapi bagaimana menyosialisasikan, syukur-syukur bisa melatih anak untuk memimalisir dan menjaga diri dari tindakan dosa tersebut.

Baca Juga  Menilik Joki Cilik dari Kacamata HAM dan Wacana Kolonial (2-Habis)

Kalau fakta di lapangan sudah seperti itu, jelas tidak bisa kita nafikkan, angka dan tindakan kekerasan seksual akan terus naik dan dijumpai kasus-kasus baru. Mungkin saja sex education masih dianggap tabu untuk dibicarakan di tengah-tengah publik dulu, kini semakin mendesak untuk diwacanakan lagi ke publik luas. Karena angka kekerasan ini sudah sangat memprihatinkan. Jika dulu orang melakukan kekerasan seksual hanya menyasar korban di luar rumah, kini isi dan rumah-rumahnya pun turut menjadi korban.

Selain itu, yang menjadi faktor meningkatnya angka tersebut adalah kondisi masyarakat Kota Bima yang makin heterogen dengan pertambahan penduduk yang makin masif tapi tidak dibarengi dengan meningkatnya keterbukaan pikiran masyarakat. Menurut data BPS Kota Bima tahun 2020, angka ibu hamil di Kota Bima  mengalami peningkatan dengan angka melek huruf hampir 97 persen. Tapi yang dibutuhkan oleh kita adalah tingkat pemahamannya. Dan juga yang terpenting menjadi catatan BPS adalah walau melek huruf ibu-ibu tersebut masih berpendidikan menegah dan banyak tidak memiliki ijazah. Buat apa melek huruf, tapi tidak membaca, seperti itu persoalannya.

Tentu saja, semakin penduduk banyak, peluang semakin terjadinya kekerasan seksual juga berpotensi banyak. Angka pengangguran juga meningkat, kemiskinan meningkat. Sadarlah, Kota Bima kini sudah menjadi kota yang menuju taraf kota metropolitan yang kasus-kasus semacam kekerasan seksual bisa untuk tidak mengatakannya lumrah terjadi. Dan kita harus siap menerima walau menyayat hati dan sambil memikirkan solusinya apa.

Sekuler, Kapitalis, dan Islam

Jika ZI mengalamatkan sistem sekuler dan kapitalis tersebut pada sistem pemerintahan Kota Bima dan Kabupaten Bima karena sedang membahas kekerasan seksual di Dana Mbojo jelas adalah tindakan yang keliru. Jika dialamatkan untuk negara Indonesia, untuk sekulernya jelas keliru juga, mungkin untuk kapitalisnya sedikit benar, dan jika ditujukan kepada dunia jelas keliru karena dunia dipengaruhi oleh ideologi negara masing-masing.

Menyalahkan sistem sekuler sebagai biang kerok kekerasan seksual jelas keliru, kekerasan seksual itu terkait dengan paradigma masyarakat. Bukan soal sekuler dan tidak sekulernya sistem negara atau dunia. Toh, jika diartikan secara harfiah seperti sekuler yang memisahkan agama dan negara, malah yang akhir-akhir ini menghebohkan publik soal kekerasan seksual adalah orang-orang yang dekat sekali dengan agama. Bahkan yang mendaku diri memiliki otoritas agama itu. Terus masalah sekulernya di mana? Gampangnya itu memang masalah paradigma pelakunya, bukan paham sekulernya.

Baca Juga  Kekacauan dalam Agama, Mengapa Terjadi?

Jika kapitalis diartikan juga sebagai masalah, malah itu juga yang akan menjadi masalah. Mari kita artikan kapitalis secara harfiah juga dengan mengartikannya dengan pengumpulan modal atau alat produksi yang akhirnya berakumulasi menjadi kekayaan. Pertanyaannya, siapa yang tidak mau menjadi kaya di dunia. Ingat, Islam juga menyuruh kita untuk menjadi kaya, loh.

Lihat saja, anak-anak jalanan yang minta-minta di alun-alun Kota Bima itu. Jika mereka kaya, jelas mereka tidak mau menjadi pengemis. Akibat kemiskinanlah mereka menjadi seperti itu. Kondisi mereka sangat rentan dari kekerasan seksual, fisik, dan psikis juga. Apa yang mereka butuhkan? Ya, kapital tadi. Karena dengan kapital, jaminan sosial hidup akan terakomodasi. Seperti itulah kira-kira.

Dan RUU TPKS itulah yang harusnya menjadi agenda untuk disetujui, sebab potensi kemanfaataanya lebih besar dibanding kemudaratannya. Apakah dengan begitu kekerasan seksual langsung hilang, seperti pertanyaan ZI, jawabannya tidak juga. Tapi instrumen dan jaring-jaring pelindung dan solusi yang kita sediakan itu sudah ada. Tinggal kita, Anda dan pemerintah mengaktualisasi di akar rumput. Agar kekerasan seksual yang kompleks ini bisa diminimalisir.

Jika ZI menawarkan solusi pamungkas dengan Islam, itu juga tidak cukup. Islam memang memiliki perangkat untuk hal itu; teknik parenting, mendidik anak, hingga menjadi madrasatul ula yang sering disebut sebagai cita-cita para wanita itu. Kembali lagi, apa kurang Islamnya kita hari ini? Toh, faktanya masih juga terjadi kekerasan seksual. Jika kembali kepada sistem Islam, bahkan negara Islam yang ditawarkan oleh ZI? Aduh, kelamaan. Mengubah sistemnya menjadi sistem Islam yang diusahakan sejak Indonesia ini berdiri pun belum berhasil. Sedangkan, kasus-kasus baru terus bermunculan.

Sekali lagi, ini bukan sistem, tapi paradigma masyarakat. Mau sereligius apa pun, jika pikirannya nafsuan, ya akan diembat juga. Tugas kita, ya minimalisir hal itu, tanpa harus mencak-mencak pada sistem yang ada. Hey, ini tanggung jawab kita, salah satunya karena Anda khalifah fil ardy itu. 

Ilustrasi: Antaranews.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *