Mencapai Kedewasaan Berpikir

Cogito ergo sum adalah sebuah ungkapan yang dituturkan pertama kali oleh Rene Descartes,  seorang filsuf ternama dari Prancis. Kalimat singkat itu mengandung makna “aku berpikir, maka aku ada”. Maksud kalimat ini adalah bahwa Rene Descartes ingin mengkomunikasikan kepada dunia bahwa satu-satunya bukti keberadaan seseorang dapat dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.

Dalam ilmu mantik, kita menemukan satu ungkapan yang semakna dengan ungkapan di atas yakni “Al insanu hayawanun nathiq”. Bahwa manusia itu sesungguhnya adalah hewan yang mampu berfikir.

Berpikir merupakan salah satu kemampuan bawaan yang keberadaannya sangat luar biasa, ia menjadi anugerah indah dari Tuhan kepada kita sebagai manusia, untuk mengangkat harkat dan martabat beberapa tingkat lebih tinggi dari makhluk Tuhan yang lain, termasuk Malaikat.

Dengan kemampuan bawaan yang luar biasa itulah salah satu yang melatari kepercayaan Tuhan kepada manusia untuk menerima, memahami, dan sekaligus mengamalkan kitab suci yang berisi firman-Nya. Dengan kemampuan itu pula, manusia diberi kepercayaan untuk mengemban amanah sebagai penerima tugas besar mengelola alam semesta dan isinya.

Hanya yang memiliki kedewasaan berpikirlah yang mampu mengemban amanah besar dari Tuhan dengan baik dan benar. Karena hanya orang yang memiliki kedewasaan berpikir yang senantiasa sibuk mengisi ruang-ruang pemikirannya dengan rangkaian makna dalam melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang terhampar di semesta raya ini dan yang tertulis di dalam kitab yang mulia.

Obyek yang terisi di dalam ruang-ruang pemikiran itu bagi yang memiliki kedewasaan berpikir akan diterjemahkannya dalam prilaku dan praktik-praktik nyata dan positif, hingga berujung pujian atas kebesaran Tuhannya.

Orang yang mencapai kedewasaan berpikir akan berusaha membuat definisi-definisi indah tentang obyek yang dia saksikan, tentang benda yang dia pegang, tentang suara yang dia dengar, tentang tulisan yang dia baca, dan tentang bayangan yang dia rasakan.

Baca Juga  Bagai Menyorotkan Lampu ke Cermin

Dari definisi indah yang dia berikan terhadap obyek yang dia saksikan, dia dengar, dia pegang, dia baca, dan dia rasakan  itulah yang mempengaruhi prilakunya menjadi terhormat dan berakhlak.

Tuhan menghargai hambanya yang mampu berpikir dewasa dengan sebutan “ulul albab” di surah Ali Imran ayat 190-191 yakni orang yang senantiasa memuji Tuhannya dalam membaca penciptaan semesta raya. 

Sementara orang yang belum mencapai kedewasaan berpikir, akan membuat definisi-definisi negatif dan buruk terhadap apa yang dia saksikan, dia dengar, dia baca, dia pegang, dan dia rasakan. Dan selanjutnya definisi buruk itulah yang akan mencemari prilakunya menjadi buruk dan tidak terpuji.  

Kalau kita perhatikan orang-orang di sekeliling kita, dapat dipetakan ciri orang yang memiliki kedewasaan berpikir dan yang belum. Bagi yang memiliki kedewasaan berpikir—dia akan berusaha menelaah lingkungannya dengan ide-ide positif dan membangun, ide dan gagasannya condong kepada memperbaiki ketimbang menyalahkan, dia kaya dengan konsep-konsep bagaimana memperindah sesuatu yang ada di sekitarnya.

Demikian pula apabila bertemu dengan orang-orang, akan memandang orang lain seakan-akan memandang dirinya, dia ingin agar orang lain sama seperti dirinya, tidak memiliki hasrat untuk memunculkan kelemahan orang lain, tidak memiliki keinginan dan asa untuk menggibah kekurangan orang lain.

Itulah ciri kedewasaan berpikir, ruang-ruang kosong dari area berpikirnya sudah diisi dengan definisi-definisi positif tentang segala obyek.

Berbeda dengan orang yang belum memiliki kedewasaan berpikir, dia menelaah kondisi lingkungannya dengan pandangan yang lemah, ide dan gagasannya selalu condong kepada menyalahkan, dia miskin dengan konsep-konsep bagaimana memperindah sesuatu yang ada di sekitarnya.

Apabila bertemu dengan orang-orang, dia akan memandang orang lain tak sebanding dengan dirinya, dia tidak pernah melihat orang lain lebih atau sama seperti dirinya, hasrat memunculkan kelemahan orang lain begitu tinggi hingga menjadi topik yang dia pandang pantas untuk dibicarakan, bahkan berujung kepada kesenangan menggibahi kekurangan orang lain.

Baca Juga  Menghitung Diri pada Pesta Demokrasi

Itulah ciri ketidakdewasaan berpikir, ruang-ruang kosong dari area berpikirnya diisi dengan definisi-definisi negatif tentang segala obyek.

Pernah terjadi di salah satu pondok santri, di mana para santri dianjurkan untuk harus bangun salat malam di pertengahan malam, ada satu santri yang sangat rajin bangun malam, tiba-tiba mengata-ngatai teman-temannya yang lelap tidur. Dia berujar, kasihan kalian semua, di saat orang bangun bertahajud malah kalian keasyikan tidur. Sontak kiainya menegur, lebih baik kamu tidur seperti mereka, daripada kamu bangun dan mengomentari kelemahan temanmu.

Penting untuk kita sadari bahwa kedewasaan berpikir itu akan tercermin dari prilaku dan pandangan kita terhadap segala obyek. Jadi, kemampuan berpikir yang kita miliki hendaknya kita tempa untuk kedewasaan agar menjadi anugerah terindah bagi kehidupan kita.

Mari kita renungkan dengan mendalam apa yang ditulis Muhammad Iqbal, seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20 dari Pakistan. Beliau mengatakan, “Apabila pemikiran manusia tidak matang (dewasa), kebebasan berpikir akan mengubah manusia menjadi binatang.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *