MUNGKIN belum ada bedanya atau sudah ada. Pidato Sang Sarjana yang menjadi salah satu tulisan dalam buku Catatan Perlawanan karya Aba Du Wahid. Dalam tulisan tersebut, Sang Sarjana itu seolah sedang melawan untuk tidak mengatakannya sedang berperang dari atas podium.
Waktu itu, Sang Sarjana sendirian, menguasai podium. Membuka “serangan” dengan menyampaikan kegembiraan sekaligus kewaspadaan. Gembira karena akan di-PHK (Putus Hubungan Kuliah). Gembira, karena sudah tidak ada lagi bayar-bayar SPP, gembira karena sudah terbebas dari urusan administratif kampus yang membosankan.
Jauh dari itu, kegembiraan Sang Sarjana memuncak, seolah telah keluar menjadi jawara nomor wahid dalam arena pertarungan yang sengit. Namun, sebaliknya, dalam situasi jagat batin yang lain, Sang Sarjana diam-diam memendam kewaspadaan. Layaknya seorang pendekar yang bertarung, walau sedang asyik menyerang, ia tak lupa dengan pertahanan dan realitas pertarungan.
Baca juga: Mbak Atun dan Bung Wahid Ialah Guru Saya
Sang Sarjana, waktu itu menulis: “Jangan-jangan kami keluar arena bukan sebagai jawara, tetapi justru sebagai pecundang, dikalahkan atau merasa diri kalah”. Kekhawatiran itu, hal yang wajar bagi seorang sarjana. Khawatir untuk langkah selanjutnya. Overthinking, mau apa dan mau ke mana. Situasi yang sama dirasakan oleh penulis sendiri, hehehe.
Sang Sarjana menutup “serangannya” dari atas podium itu dengan sebuah harapan dan ajakan untuk berbesar hati. Ajakan yang sarat dengan pesan-pesan perubahan. Bahwa hari ini kita begini, belum tentu besok dan seterusnya akan begitu.
***
Dunia berubah, Sang Sarjana seakan “moksa”. Orang-orang hanya mendengar desas-desusnya. Ada yang mengira ia telah pergi karena kecelakaan hebat yang menimpanya. Informasi lain mengatakan Sang Sarjana menyepi di pesisir sebuah teluk. Sesekali ia terbang ke negeri-negeri jauh. Tapi itu hanya kabar angin lalu. Tak ada berita “pasti”.
Segerombolan “malaikat” lain melihat dan menjaganya. Dalam situasi surut, Sang Sarjana memilih “serangan” dengan jalur berbeda. Ia belajar lagi ilmu kanuragan yang maha tinggi, memperbaiki nawaitu, dan melengkapi diri dengan doa-doa. Ia bangun dan bergerak lagi. Kali ini Sang Sarjana menambah pasukan. “Malaikat-malaikat” baru berdatangan dengan agensi masing-masing.
Sang Sarjana merasakan suasana lain, ia seperti hidup kembali. Anehnya, kekuatannya jauh lebih dahsyat. Mengalahkan daya sarjana-sarjana lain seumuran. Ia menjadi Sang Sarjana baru, mengubah namanya menjadi Sang Profesor. Ilmunya semakin tinggi.
Seorang koleganya dulu, mengumumkan kepada khalayak “Sang Sarjana kita akan naik podium lagi, ayo kita dengarkan lagi pidatonya. Tapi kali ini ia sudah mengubah namanya menjadi Sang Profesor”.
Masih dengan baju toganya. Sang Profesor itu kembali naik podium, dengan tepuk tangan meriah. Namun, kali ini sedikit berbeda. Podium di atas sana, kini telah bertambah satu. Ia berpidato berdua. Ia buka gerakan pertama dengan membaca bismillah yang fasih.
Dulu, ketika ia masih menjadi Sang Sarjana, isi pidatonya penuh dengan nuansa hegemoni kekuasaan yang menindas, walau murah senyum. Kekuasaan yang merezim pada satu orang dengan kroni-kroninya. Rezim yang nggih-nggih, Pak. Atau rezim yang suka dengan asal bapak senang.
Waktu itu, lidahnya fasih dengan ber-Anatoly Karpov, ber-ana anta dan bersyair layaknya Imrul Qays, Al Mutanabbi, dan Abu Nuwas. Atau tegas dengan perdebatan sengit lagi liat soal-soal Islam-nya Kuntowijoyo, Hamka, dan Taufik Abdullah.
Sekarang, Sang Profesor, walau lidahnya masih fasih dengan nama-nama itu. Tapi suaranya lantang untuk berbicara soal kekuasaan yang tersebar. Otoritas yang menyebar, budaya yang datang dan pergi untuk berbagi ruang hidup. Soal agen-agen baru yang punya kapasitas bertindak, atau potensi “kekuasaan” yang terpendam. Perkara-perkara struktur yang cair. Hal-hal itu, Sang Profesor namakan quasi hegemoni.
Nama-nama baru muncul dalam pidatonya kali ini, Anthony Gramci, Cliffort Geertz, Foucault, dan ditambah istilah the new antrophology of Islam dari John Bowen dan Anthony Giddens dari podium di sebelahnya.
Walau ia dulu melawan rezim yang berwarna “kuning”, kali ini ia juga masih dengan toga berwarna kuning. Kuning kali ini berbeda, kawan. Sang Profesor tampil dengan toga kuning keemasan. Menandakan ia telah menjadi profesor. Pidatonya kali ini tak ada insiden mik tiba-tiba mati kemudian tidak lama setelah suara pidatonya turun, mik tiba-tiba hidup kembali.
Baca juga: Pembual dan Amplop Tebal
Pagi itu, Sang Profesor berpidato dengan joke-joke segar membuat hadirin tertawa dan mendapat riuh tepuk tangan. Ketika itu pidato Sang Sarjana tak ada joke, heroismenya yang kental dengan perlawanan. Jelas heroisme perlawanan Sang Profesor itu masih ada, setidaknya, untuk melawan dengan praksis-praksis sosial yang dilibati Sang Profesor. Ruang-ruang publik yang dibuka selebar-lebarnya oleh Sang Profesor, bukankah itu juga perlawanan pada keadaan? Kali ini, ia melawan dengan cara itu.
Dengan cara itu, ternyata perlawanannya lebih grinta dan berlipat ganda. Lebih luas cakupannya. Aras-aras lain juga bisa terjamah. Kira-kira itulah Sang Profesor di sebelahnya menamakan kolektif agensi.
Sang Sarjana itu dulu menjadi nomor wahid. Pun saat ini, Sang Profesor tetap menjadi nomor wahid. Bedanya, kini kisah Sang Profesor, selain bernomor wahid juga harum, seharum bunga wardah yang sedang bermekaran.[]
Ilustrasi: PNGEgg
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe