Tulisan ini merupakan sesi “curhat” (reflektif-kritis) tentang pengalaman menjadi perempuan dalam kehidupan rumah tangga pada suku Bugis-Sulawesi.
Pengalaman itu, telah menghantarkan saya pada keadaan yang cukup hening, lalu dengan segenap keresahan dan kegelisahan, tulisan sederhana ini mulai saya susun sedikit demi sedikit.
Dari sini juga kemudian kami paham, bahwa menulis bukan hanya persoalan tentang merangkai kata, atau menyusun kalimat, namun di balik itu juga dilatarbelakangi oleh kegelisahan dan keresahan—yang lahir melalui proses panjang dari pengalaman menjadi perempuan dalam kehidupan rumah tangga dengan tingkat budaya patriarki yang kuat.
Pengalaman-pengalaman itu saya olah dan diekspresikan melalui cara yang saya sebut dengan “autoetnografi gender” sebagai dasar metodologis penulisan.
Saya memilih metode ini, karena autoetnografi merupakan suatu pendekatan penelitian dan penulisan yang berusaha menggambarkan dan menganalisis secara sistematis (graphy) pengalaman pribadi (auto) untuk memahami pengalaman budaya (ethno).
Sedangkan gender dalam pengertian ini adalah karakteristik yang berkaitan dengan feminitas dan maskulinitas yang dibedakan secara struktur sosial berbasis jenis kelamin: mulai dari peran hingga identitas gender itu sendiri.
Gabungan dari dua istilah di atas itulah yang kemudian melahirkan istilah “autoetnografi gender”—yang di mana dalam artikel ini merupakan tema yang bermaksud membincangkan secara sistematis tentang pengalaman dan peran manusia yang bernama perempuan, serta relasinya dalam strukstur sosial terkecil, yaitu kehidupan rumah tangga.
Dengan bantuan metode autoetnografi, tulisan tentang pengalaman menjadi perempuan (feminis) pada suku Bugis-Sulawesi yang secara khusus memotret masalah budaya patriarki dan bias gender; seperti diskriminasi dan subordinasi. Artikel ini memberikan hasil yang lebih lugas dan apa adanya.
Pengalaman Menjadi Minoritas sebagai Anak Perempuan
Sejak saya mengenal kehidupan, mengenal keluarga dan tahu bahwa saya adalah anak yang terlahir di dalam keluarga yang mayoritas laki-laki, muncul keinginan untuk menceritakan “sedikit” tentang pengalaman menjadi (minoritas) sebagai anak perempuan satu-satunya pada keluarga dengan tingkat tradisi patriarkal yang kuat.
Di dalam lingkungan saya, khususnya pada suku Bugis-Sulawesi, gambaran menjadi anak perempuan tunggal adalah hal yang sangat menyenangkan. Mengapa? Karena umumnya, dalam lingkungan suku Bugis, anak perempuan tunggal akan diutamakan, disayangi, serta “nyaris” dituruti semua kemauannya.
Banyak anak-anak perempuan di lingkungan saya yang cenderung manja; dan akan memaksakan orang tuanya ketika mereka menginginkan sesuatu.
Menyadari kecenderungan seperti itu, keluarga saya, tak ingin saya tumbuh seperti anak perempuan tunggal pada umumnya. Dapat dibilang, saya dididik di luar dari kebiasaan didikan yang biasa didapati oleh anak-anak perempuan pada umumnya di daerah tempat di mana saya dibesarkan.
Baca juga: Gerwani, Seksualitas, dan Penundukan Perempuan
Seperti di daerah-daerah Indonesia Timur pada umumnya, saya terlahir di tengah keluarga dengan tingkat tradisi patriarki yang kuat, di mana ayah saya menjadi kepala rumah tangga yang sekaligus memiliki kuasa otoritas tertinggi nan mutlak dalam keluarganya.
Istrinya, yakni ibu, harus senantiasa di rumah untuk mengurusi anak-anaknya, sedangkan saya sebagai anak perempuannya diwajibkan untuk terlibat pada urusan-urusan domestik.
Dari gambaran itu, tentu ayah saya adalah sosok yang keras terhadap anak-anaknya. Abang-abang saya selalu menceritakan bagaimana ayah memukulinya ketika mereka nakal atau berbuat kesalahan. Sehingga dua orang abang saya tumbuh dengan hati yang keras nan penuh dendam, terlebih pada ayah.
Tak jarang, dendam tersebut kemudian dilampiaskan pada diri saya; seorang adik perempuan satu-satunya yang seharusnya mereka jaga dengan penuh kasih sayang.
Bahkan, konon katanya, ibu saya pernah bersumpah bahwa ketika mereka (orang tua) telah dikaruniai anak perempuan, maka ibu saya tidak akan melahirkan lagi. Ini menunjukkan, bahwa saya adalah anak perempuan yang selalu “disemogakan” dalam setiap harap dan do’a yang mereka panjatkan.
Namun kenyataannya tidaklah demikian, kebahagiaan yang seharusnya menyertai tumbuh-kembangku lenyap dan hangus terbakar oleh perasaan dendam dan sikap arogansi laki-laki dalam keluarga saya sendiri.
Ketika saya sudah mampu mengingat kejadian-kejadian yang ada di hidup saya; yang lebih kuat dalam ingatan adalah “masa kecil yang dilalui penuh dengan aturan dan hukuman-hukuman”. Tiada hari tanpa perintah dari orang tua dan saudara-saudara saya— yang ketika sedikit saja tidak sesuai dengan perintah mereka, maka saya akan segera dihukum.
Hukuman yang selalu saya dapati biasanya berdiri dengan satu kaki yang satunya diangkat— dalam waktu yang cukup lama, atau sampai Abang pertama saya benar-benar puas melihatnya. Hukuman semacam itu berlangsung dari semenjak saya berumur lima sampai dengan dua belas tahun.
Saat mendapati hukuman itu, saya tidak boleh menangis, karena jika saya menangis, hukuman akan semakin lama. Meski mungkin maksud Abang saya ingin mendidik saya untuk menjadi sosok perempuan yang tangguh, tapi bohong jika hukuman dengan cara itu tidak membuat saya tertekan dan ketakutan.
Baca juga: Nawal El Saadawi; Dari Kekejaman Rezim hingga Perempuan di Titik Nol
Abang pertama saya adalah sosok laki-laki yang paling menghancurkan psikis saya. Selain mendapati hukuman secara langsung darinya, saya juga sering menyaksikan pertengkarannya dengan Abang kedua saya.
Pertumpahan darah sudah menjadi tontonan saya sejak kecil, sehingga saya tumbuh dengan kepribadian yang tidak berani untuk melawan akibat sering kali mendapatkan perlakuan intimidasi dan ancaman.
Sebagai anak perempuan kecil dengan kepribadian seperti itu, tentu saja saya juga pernah mendapati gangguan; ejekan dan pukulan (bullying) di sekolah oleh teman-teman.
Ketika mendapati perlakuan seperti itu, saya tidak berani melawan, dan cenderung diam atau lebih memilih memendam semuanya. Dari dituduh mencuri makanan sampai dicaci maki oleh ibu guru yang sedikit pun tak mau menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Begini ceritanya:
“Ketika itu, waktu umur saya 6 tahun, tepatnya di dalam kelas tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), saya dipaksa untuk memakan roti oleh salah seorang temanku, namun saya enggan, kemudian oleh temanku roti itu tiba-tiba dipindahkan di dalam kotak makanan saya, kemudian dia berlari menghampiri ibu guru untuk mengadu, bahwa aku telah mencuri rotinya”.
Saya hanya bisa diam menerima semua itu. Saya pun juga tidak berani mengadu kepada orang-orang yang ada di rumah, baik kepada kedua orang tuaku terlebih kepada dua orang Abangku. Apa pun yang saya alami di luar rumah, saya tak berani menceritakannya ke mereka.
Sebab, hampir tak ada bedanya bentuk perlakuan yang saya dapati di luar dan di dalam lingkungan keluarga (rumah). Namun setelah saya pikir-pikir, dari mana anak perempuan kecil dengan umur 6 tahun mampu ber-acting dan berbohong seperti itu?
Sampai saya duduk pada bangku kelas tiga Sekolah Dasar, saya masih saja mendapati bullyi-an, dan bahkan bertambah parah. Bentuk bully-an yang saya dapatkan bukan lagi berupa ejekan (psikis), namun sudah mengarah pada kekerasan (fisik). Saya dipukuli, dicubit, dan ditendang oleh beberapa teman di kelas.
Lagi dan lagi, saya hanya terdiam sampai akhirnya saya tak tahan lagi, hingga saya memilih untuk melawan dengan mulai berani untuk bersuara. Dalam situasi kecaman demi kecaman yang saya alami, saat itu saya benar-benar mengharapkan sosok pelindung, paling tidak adalah Abangku sendiri. Namun, seorang Abang yang seharusnya menjadi pelindungku justru juga “membunuhku” secara perlahan.[]
Alumnus Magister Studi Agama-Agama, Konsentrasi Resolusi Konflik, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Suka traveling dan tidur