Ketika Alasan Dibuat-buat

SEBAGAI makhluk yang diberikan kemampuan berlogika atau berpikir, kita memiliki kebiasaan bawaan yang sering muncul tatkala kita ingin membebaskan diri dari adanya intervensi yang kita rasakan akan mengganggu, yakni kemampuan memberikan alasan.

Kemampuan itu akan terasah tajam oleh karena kita jadikan sebagai landasan pembenaran atas sikap dan pendirian kita yang tidak bersedia menerima intervensi dari suatu keadaan tertentu.

Kemunculan kemampuan bawaan itu terkadang mengemuka tanpa proses berpikir dan tanpa perhitungan yang matang, karena kita akan menjelaskan kondisi dan posisi diri kita yang bertentangan dengan yang sebenarnya seketika itu juga.

Terbukti bahwa alasan itu diproduksi tanpa proses berpikir yang matang, terkadang beberapa material alasan harus terbantahkan kebenarannya oleh situasi yang tidak kita prediksi bakal terjadi, karena memang kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita sedetik kemudian, apalagi sehari kemudian.

Baca juga: Menjadi Diri Sendiri

Tidak sedikit dari orang-orang yang sudah membuat alasan untuk menolak komitmen kebaikan, tiba-tiba harus meminta maaf oleh karena alasannya terbantahkan oleh takdir yang datang belakangan. Karena bisa saja memproduksi alasan itu tatkala sedang berhadapan dengan pilihan yang sulit, atau tatkala kita sedang malas, dan bisa juga tatkala kita sedang tidak ingin jujur.

Penting bagi kita untuk berhati-hati dalam memberikan alasan-alasan, terutama dalam ranah kebaikan dan kebenaran, atau dalam kaitannya dengan perilaku dan sikap sosial, muamalah, dan urusan keagamaan. Bisa jadi alasan-alasan yang kita sengajakan itu akan mengantarkan kita kepada kebohongan, kepura-puraan, kezaliman, dan pengkhianatan.

Kebohongan misalnya, bisa saja dalam membuat alasan untuk membatalkan suatu komitmen, kita harus bohong—yang pasti kita berbohong pada diri sendiri, karena alasan yang kita berikan tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, kemudian juga pasti berbohong kepada orang lain, sehingga orang sangat yakin dengan alasan yang kita kemukakan.

Baca Juga  Janji: Tagihan atas Komitmen Diri

Kemudian dalam memproduksi alasan bisa jadi kita harus berpura-pura, berpura-pura sakit, berpura-pura sibuk, berpura-pura tidak sedang di tempat, dan sebagainya, seakan-akan apa yang kita tampakkan dan katakan adalah yang benar adanya, padahal tidak demikian. Berpura-pura itu lebih dekat dengan kemunafikan, karena kepura-puraan itu semakna dengan mengkhianati kepercayaan orang kepada kita.

Di samping itu juga, dengan membiasakan membuat-buat alasan padahal tidak sesuai, sama artinya menzalimi diri sendiri dan orang lain, karena pada kenyataannya kita bisa, kita dapat, dan kita punya waktu, namun kita membikin alasan mengatasnamakan tidak bisa, tidak dapat, dan tidak ada waktu, sehingga tidak dapat memenuhi hak diri dan hak orang lain yang semestinya dapat kita lakukan.

Itulah efek minimal dari kebiasaan membuat alasan semu, semata-mata hanya untuk pembenaran diri, untuk memerdekakan diri, dan untuk mengamankan diri.    

Kebiasaan membuat alasan lambat laun akan menggiring kita untuk enggan melakukan hal-hal yang baik padahal kita punya waktu, punya kesempatan, dan punya kekuatan. Jadi perlu berhati-hati dan perlu perenungan mendalam sebelum memproduksi alasan, agar peluang untuk mendapatkan nilai kebaikan tidak terkalahkan oleh alasan yang semu.

Dan ingatlah, bahwa waktu dan kesempatan itu biasanya  tidak datang dua kali, maka jika ada peluang untuk mendapatkan nilai kebaikan dari siapa saja, dari mana saja, dan dari apa saja, usahakan tidak menolaknya dengan alasan yang dibuat-buat.

Baca juga: Tak Perlu Takut Menuju Kematian

Jika ada ajakan kebaikan sebaiknya kita bersegera untuk melawan rasa tidak nyaman atau rasa malas dan mematikan kemampuan memproduksi alasan. Jika kita mencoba melawan kesempatan untuk mendapatkan nilai kebaikan dengan keengganan dan alasan yang dibuat-buat, bisa saja aktivitas itu akan mengkristal menjadi kepribadian dan bahkan karakter, sehingga kita akan terus menerus berdamai dengan produksi alasan-alasan semu.

Baca Juga  Mendikte Perilaku Saat Melayat

Dalam satu kisah di zaman Rasulullah saw, seorang sahabat bernama Ka’ab melanggar komitmen bersama Rasul, dia tidak ikut dalam Perang Tabuk dengan alasan yang dibuat-buat, lalu sepulangnya Rasul dan umat Islam dari medan peperangan, Ka’ab menghadap kepada Rasul dan mengemukakan penyesalannya. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Karena kamu sudah berlaku jujur, maka berdirilah sampai Allah Azza wa Jalla memberi keputusan tentangmu.”

Sejak saat itu, Rasululluh saw mulai melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan Ka’ab. Kondisi ini tentu membuat Ka’ab sedih dan tertekan. Semakin bertambah hari, semakin berat tekanan yang dirasakan. Ka’ab merasa terasing di Madinah dan hanya duduk di rumahnya sambil menyesali apa yang telah dilakukan.

Menyimak peristiwa di atas, dalam pandangan Rasul, sungguh betapa buruknya aktivitas membuat-buat alasan, di samping sanksi khusus dari Rasul, juga diberikan sanksi sosial di mana keberadaan kita di tengah-tengah komunitas dianggap tidak ada.

Boleh saja kita menghindar dari suatu kondisi dengan alasan-alasan yang sebenarnya, akan tetapi jangan pernah menghindar karena alasan yang dibuat-buat, sebab bisa jadi apa yang kita lakukan akan menjadi kebiasaan. Ingatlah bahwa penyesalan itu tidak datang di hulu suatu perbuatan, tetapi penyesalan itu datang di hilir.[]

 

 

1 komentar untuk “Ketika Alasan Dibuat-buat”

  1. Assalamualaikum wr wb..
    Bismillahirrahmanirrahim…
    Alhamdulillah..hikmah pagi ini
    Semoga dijauhkan dari sifat2 buruk yang mendatangkan mudorot untuk diri dan orang lain salah satu diantaranya ya kebiasaan mencari cari alasan ini, apalagi sampe mengantarkan kita kepada kebohongan, kepura-puraan, kezaliman, dan pengkhianatan…N@udzubillahi min dzalik 🤲

    Terimakasih ayahnda selalu membersamai kami, terimakasih doanya semoga sehat selalu berlimpah keberkahan,,aamin aamiin Yaa Allah, aamiin ya mujibassailin 🤲🤲🤲

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *