Sinisme Publik Pada Perempuan yang Selingkuh

FENOMENA perselingkuhan di antara pasangan yang sudah menikah semakin menggeliat akhir-akhir ini. Kemajuan teknologi, tidak lagi sekadar membuat hal ini dikonsumsi oleh tetangga-tetangga kompleks terdekat dan kolega para pelaku perselingkuhan yang saling mengenal. Akan tetapi, hal ini juga menjadi konsumsi tetangga dari belahan dunia lain dan bahkan tidak satu sama lain yang tidak saling kenal. Informasi tersebut tiba-tiba “nongol” di beranda-beranda sosial media.

Yang menarik, di antara banyak kasus, posisi perempuan selalu diidentikan sebagai penggoda, sehingga aksi penggerebakan oleh istri sah pelaku justru banyak ditujukan terhadap perempuan lain, bukan kepada lelaki atau suami (pelaku) yang berpengaruh besar dalam kekisruhan ini.

Baca juga: Nawal El Saadawi; Dari Kekejaman Rezim hingga Perempuan di Titik Nol

Tidak hanya itu,  dalam penyelaman saya pada salah satu  beranda sosial media, lagi-lagi vonis dijatuhkan pada pihak perempuan yang seakan-akan bertindak sebagai aktor intelektual dalam kejahatan ini. Yang mencengangkan sebagian besar penghakiman itu dilakukan oleh sesama perempuan.

“Itu ngapain di lerai”, “biarkan saja perempuan itu berlumur darah dulu”, “kalo gatal sini saya garuk pake parutan kelapa”, “seandainya dia ketemu dengan saya, saya injak perutnya sampai dia muntah
”.  Kira-kira begitulah hasil karya komentar-komentar netizen yang saya dapati. Lalu  Pertanyaan yang muncul, apakah hubungan gelap ini terjadi, berkembang, dan tumbuh subur hanya karena sebab datang dari pihak perempuaan?

Jika mengacu pada definisi perselingkuhan, maka dapat dijelaskan bahwa perselingkuhan adalah  perbuatan tidak terus terang, tidak jujur, menyembunyikan sesuatu.

Perselingkuhan juga dapat diartikan bahwa adanya kedekatan yang kuat dengan orang lain baik secara fisik maupun emosional, sexual intercauce secara sukarela antara seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Atau perselingkuhan dalam perkawinan berarti suami atau istri memiliki hubungan lain di luar perkawinannya.

Faktanya, bahwa perselingkuhan tidak hanya terjadi berdasarkan jenis kelamin, atau pihak perempuan saja, tapi karena adanya ketidakjujuran, curang, serong, ingin mempunyai kedekatan fisik maupun emosional, memenuhi kebutuhan afeksi seksualitas terhadap orang lain yang bukan pasangannya.

jika ditilik lebih jauh, penyebab perselingkuhan dapat ditemui dalam beberapa hal seperti, ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan, adanya kekosongan emosional dalam perkawinan, problem pribadi di masa lalu, kebutuhan untuk mencari variasi dalam kehidupan seksual, sulit menahan godaan, seringnya hidup berpisah lokasi, dan sebagainya.

Beberapa poin di atas yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan tidak serta-merta dapat dialamatkan pada pihak perempuan saja, karena baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi pelaku potensional untuk melakukan hal-hal tersebut karena sifat dasar manusia yang tidak pernah merasa puas dalam kehidupan.

Baca Juga  Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (1)

Perselingkuhan memang dapat dilakukan secara sadar dan tidak sadar (agak aneh) oleh siapa saja, baik perempuan atau laki-laki, sehingga keutamaan-keutamaan untuk menghakimi pihak perempuan dengan istilah pelakor menjadi keliru.

Baca juga: Gerwani, Seksualitas, dan Penundukan Perempuan

Sehebat-hebatnya godaan datang, jika seorang lelaki telah merasa suci dalam ikatan perkawinan dengan pasangannya tidak akan berpengaruh apa-apa. Justru yang terpenting, keputusan perempuan dalam hal ini ialah bagaimana sebelum memutuskan untuk menjalin perkawinan dengan soerang lelaki haruslah diselidiki lebih jauh bibit, bebet, dan bobot seseorang yang akan menjadi pasangan hidup.

Sebab pernikahan bukan tentang cinta-cintaan ala remaja dalam akun Instagram: Jakarta Keras. Tapi jauh dari itu melibatkan emosi, akal, serta keterkaitan batin antara pasangan. Erich Fromm mengatakan “dua orang yang bertemu dan bersepakat merobohkan dinding kesendirian, jika dinding itu roboh, maka mereka menemukan arti cinta“. Erich fromm ingin mengajak kita agar supaya kita memenangkan cinta.

Untuk menutup tulisan ini saya ingin mengatakan, pertama  kepada ibu saya, dan kedua kepada calon anak perempuan saya,  bahwa “putra-putrimu tidak dapat memilih ayah yang baik untuk mereka, namun perempuan selalu punya kesempatan memilih pria seperti apa yang layak dan kompeten menjadi ayah bagi mereka”.


Ilustrasi: Tribun.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *