Ada beberapa pengertian dari para ahli mengenai demokrasi, di antaranya ialah, menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Government Of The People, By The People, And For The People).
Menurut H. Harris Soche, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan rakyat. Dengan kata lain, rakyat merupakan pemegang kekuasaan dalam pemerintahan yang memiliki hak untuk mengatur, mempertahankan, serta melindungi diri mereka dari adanya paksaan dari wakil-wakil mereka.
Dalam perjalanan peradaban politik, demokrasi hadir sebagai bentuk ideal untuk membuat semua kalangan mempunyai akses yang sama di depan kekuasaan, namun dalam perkembangannya terjadi polarisasi terhadap permainan politik, yaitu apa yang sering kita dengar sebagai “dinasti politik”.
Sebagai negara yang meganut sistem pemerintahan demokrasi, Indonesia tidak mengenal sistem pemerintah yang mewariskan kepemimpinan berdasarkan pada garis keturunan (monarki), karena Indonesia sendiri tidak mengatur tentang dinasti politik, hal ini dapat dilihat dari konstitusi Indonesia yang menjunjung tinggi hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.
Hadirnya dinasti politik – sebagaimana fenomena akhir-akhir ini – sungguh suatu pertanda mulai hancurnya sistem demokrasi, karena politik dinasti akan memperkuat akar dari feodalisme dan menumbuhkan tradisi tirani yang memungkinkan lahirnya kekuasaan absolut dan berimplikasi pada penyalahgunaan kekuasaan yang semakin besar.
Baca juga: Pers, Distrupsi Informasi dan Mudarat Demokrasi
Hal semacam ini yang akan merusak esensi demokrasi yang berpegang pada kekuasaan rakyat. Dinasti politik tidak hanya masuk kedalam sistem pemerintahan, melainkan masuk dari berbagai arah. Salah satunya partai politik, partai politik yang seharusnya mempersiapkan kader yang berkualitas guna diusung untuk mengikuti penyelenggaraan pemilihan umum dalam kenyataannya jauh panggang dari api.
Sebaliknya, partai politik lebih mementingkan orang- orang yang berpengaruh (populer), para pemegang kekuasaan, para pemilik modal, dan elit politik “yang sudah jadi” untuk diusung dan didukung dalam pemilihan umum.
Praktik semacam ini kelak akan melahirkan calon pemimpin yang berpikiran pragmatis tanpa dibekali oleh pendidikan politik, membuat kebijakan yang akan menguntungkan keluarga oligarkinya, dan menyengsarakan rakyat. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi pendapat Montesquieu dalam The Spirit Of Law, Montesquieu menjelaskan terdapat tiga kecendrungan kekuasaan. Pertama, kecendrungan untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecendrungan memperbasar kekuasaan. Ketiga, kecendrungan untuk memanfaatkan kekuasaan.
Menguatnya jaringan politik yang dibangun oleh dinasti politik menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-orang di luar dinasti, hal ini membuat ruang dan gerak masyarakat menjadi terbatas, sehingga setiap warga negara yang ingin menggunakan hak politiknya dimonopoli oleh sekumpulan oligarki yang ingin melanggengkan kekuasaan melalui permainan dinasti politik.
Seharusnya, iklim politik Indonesia harus melahirkan pemimpin yang cerdas, memiliki kapasitas, dan berkualitas, sehingga mampu menyelesaikan persoalan ekonomi, hukum, kesejahteraan masyarakat dan berbagai macam persoalan yang menjadi hambatan untuk kemajuan negara.
Pada tahun 2014, Indonesia pernah dihebohkan dengan ditangkapnya Ratu Atut Chosiyah saat itu menjabat Gubernur Banten, yang tersandung kasus suap penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak. Setelah diselidiki lebih dalam, ternyata Ratu Atut dan sejumlah kerabatnya menjabat di berbagai macam lini strategis di provinsi Banten. Selain itu pada tahun 2014, ada sekitar 57 kepala daerah atau wakil kepala daerah, mempunyai hubungan keluarga atau kerabat pejabat lain.
Baca juga: Menguji Gagasan Demokrasi Takwa Buya Hamka
Mereka tersebar di 15 daerah provinsi, serperti: Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, dan mungkin saja daerah kelahiran kamu: Nusa Tenggara Barat.
Perhelatan demokrasi yang resmi dilakukan tahun tanggal 9 desember 2020, Nagara Institute mencatat setidaknya ada sebanyak 124 calon kepala daerah terpapar dinasti politik tahun ini, mereka merupakan istri, anak, atau kerabat dekat dari kepala daerah. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fenomena serupa dalam pilkada sepanjang tahun 2015-2018, yakni hanya 86 calon yang terpapar dinasti politik.
Paradigma Alternatif
Untuk mencegah adanya kekuasaan yang bersifat absolut pada suatu negara demokrasi dan kesewenangan yang dilakukan oleh penguasa, maka tidak heran jika Montesquieu seorang pemikir politik asal Perancis mengemukakan ajaran trias politika, teori pemisahan kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mencegah adanya kekuasaan yang semena-mena, dan mampu bekerja secara maksimal sehingga mampu mengontrol satu sama lain.
Tetapi dengan tumbuh berkembangnya dinasti politik, yang menempatkan sanak keluarganya pada lembaga-lembaga terkait, memungkinkan munculnya hal-hal yang tidak demokratis seperti penyalahgunaan kekuasaan, kemalasan, ketidaktransparanan, ketidaktegasan, kualitas kompetensi yang tidak baik, pelanggaran aturan, dan pengingkaran janji.
Politik dinasti juga berdampak pada hal-hal negatif seperti tindak pidana korupsi, kolusi, nepotisme, penggerogotan demokrasi, dan rusaknya tatanan di lembaga pemerintahan dan masyarakat. Praktik-praktik tersebut akan menyebabkan persepsi negatif masyarakat terhadap politik dinasti, hal itu berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat kepada pejabat publik.
Seharusnya, dalam paham demokrasi, penentuan kekuasaan melalui suatu mekanisme demokratis dan partisipatif. Nilai-nilai dan semangat egalitarian akan menghapus cara pandang yang feodal, makna kedaulatan rakyat akan terjamin dalam mekanisme dan prosedur demokrasi, termasuk dalam proses politik dan penyelenggaraan suatu pemilihan umum, emansipasi politik merupakan penanda adanya penentangan yang serius terhadap politik dinasti.
Sejatinya, sasaran dan substansi pemilu merupakan suatu kesempatan memberi dan memperoleh legitimasi politik agar wajah demokrasi dan kepemimpinan benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat dalam wujud penampilan dan substansi politik yang sehat.
Jika dikulik lebih jauh tentang jalannya pemerintahan negara yang ideal, atau negara utopis. Pendeknya Plato menjelaskan bahwa negara hendaknya diperintah oleh para filosof.
Sang suami memfilmkan istrinya di kamera tersembunyi, dan inilah yang dia lihat: dia mendasarkan penjelasanya ini pada susunan tubuh manusia. Menurut Plato, tubuh manusia terdiri tiga bagian : kepala, dada, dan perut. Untuk setiap bagian ini ada bagian jiwa yang terkait. Akal terletak di kepala, kehendak terletak di dada, dan nafsu terletak di perut. Masing-masing dari bagian jiwa ini memiliki cita-cita, atau “kebajikan”.
Akal mencita-citakan kebijaksanaan, kehendak menciptakan keberanian, dan nafsu dikekang sehingga kesopanan dapat ditegakkan. Jika ketiga bagian itu berfungsi bersama sebagai suatu kesatuan, kita dapat menjadi indvidu yang selaras atau berbudi luhur. Di sekolah seorang anak pertama-tama harus belajar mengendalikan nafsu mereka, lalu ia harus mengembangkan keberanian dan akhirnya akal akan menuntunnya menuju kebijaksanaan.
Di sini Plato secara jelas menggunakan ilmu pengobatan Yunani sebagai model. Sebagaimana manusia yang sehat dan selaras mempertahankan keseimbangan dan kesederhanaan, begitu pula negara yang baik ditandai dengan adanya kesadaran setiap orang akan tempat mereka dalam keseluruhan gambar itu.
Seperti setiap aspek dari filsafat Plato, filsafat politiknya ditandai dengan rasionalisme. Terciptanya negara yang baik apakah nnegara itu diperintahkan oleh akal.[]
Ilustrasi: SerikatNews.com
Eksponen Kalikuma Reborn