ISU child-free sedang menjadi pembicaraan hangat di jagad medsos. Hal ini dipicu oleh pendapat seorang selebritis yang mengatakan tidak memiliki anak sebagai resep ia awet muda. Ia dengan suaminya konon memilih secara sadar untuk tidak memiliki anak.
Lalu, apa sebenarnya child-free? Apakah memilihnya adalah pelanggaran petunjuk agama dan nilai budaya? Adakah ruang, besar atau sempit, bagi pilihan child-free untuk exist di tengah kompleksitas hidup yang semakin kompleks ini, khususnya bagi masyarakat Muslim di Indonesia?
Prinsip dasar pernikahan dalam Islam adalah salah satunya sebagai media yang menghalalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Di luar pernikahan, hubungan seksual mutlak haram. Hubungan tanpa nikah dinamakan zina yang mendapatkan hukuman yang sungguh berat, didera seratus kali bagi mereka yang belum menikah. Dirajam sampai mati bagi mereka yang selingkuh dengan orang lain padahal sedang dalam ikatan perkawinan yang sah.
Hubungan seksual di dalam pernikahan ini ada yang menghasilkan anak dengan mudah, ada yang melalui proses yang sulit, bahkan ada yang tidak menghasilkan sama sekali. Artinya tidak semua orang yang menikah pasti memiliki anak.
Ilmu pengetahuan telah banyak membantu kesulitan untuk memiliki anak, misalnya dengan terapi, obat-obatan, bahkan melalui program bayi tabung. Sayangnya, ada pasangan yang sudah berikhtiar menempuh jalan itu semua namun tidak kunjung memiliki anak.
Sebagian pasangan lalu memutuskan untuk adopsi, atau mengangkat anak. Sebagian lain justru menyalurkan potensi “keorangtuaannya” kepada anak anak lain, baik yang masih ada hubungan keluarga maupun mereka yang tidak beruntung lainnya. Tetapi tidak dengan komitmen yang formal.
Bahkan, ada yang sama sekali tidak mau berpikir tentang anak dan menerima takdir mereka untuk menjadi child-less, hidup tanpa anak. Mereka berpikir itulah nasib yang harus mereka jalani. Hal terakhir ini bisa dikategorikan sebagai child-free jenis pertama di mana antara pilihan dan takdir saling bertemu.
Child-free jenis selanjutnya adalah ketika pasangan benar-benar memilih untuk tidak memiliki anak walaupun secara seksual mereka tidak memiliki masalah. Artinya sebenarnya mereka bisa menjalankan tanggung jawab reproduksi.
Namun, dengan sadar mereka mencegah itu terjadi. Mereka merubah nasib dengan berbagai cara, terutama bantuan medis dan kontrasepsi. Pilihan ini bisa sementara dan juga selamanya. Tentu saja pilihan ini berdasarkan pertimbangan. Pertimbangan yang mungkin personal, juga sosial, ekonomi, bahkan politik. Kok bisa?
Baca juga: Predator Anak di Sekitar Kita
Personal mungkin berhubungan dengan penyakit. Ada indikasi dan diagnosa misalnya yang menunjukkan bahwa salah seorang pasangan tidak berumur panjang. Seorang teman yang istrinya terdiagnosa kanker dan baru tahu setelah empat bulan menikah, memutuskan untuk tidak memiliki anak. Demikian juga ada pasangan yang pernah mendapatkan rezeki kehamilan tetapi pada usia sekian kehamilan ditemukan anak itu cacat. Mereka ingin mempertahankan, tetapi qadarullah mereka gagal. Pasangan ini keguguran. Ternyata setelah diperiksa ada masalah kelainan gen yang memang tidak bisa dihindari.
Diagnosa lanjutan memprediksi bahwa calon janin mereka berikutnya akan mengalami masalah yang sama. Akhirnya mereka tidak berani mengambil risiko. Pilihan child-free bisa juga karena masalah trauma yang masih belum terobati, mengalami kekerasan yang berkepanjangan dari orang tua, dan ia khawatir ini akan berimbas pada anaknya. Dan berbagai alasan personal yang lain.
Pilihan tersebut juga dapat dipengaruhi konteks sosial. Banyak kasus anak-anak terlantar. Baik secara ekonomi maupun emosional. Hal ini menurut pandangan mereka, sebenarnya karena orang tua belum mampu dan belum siap untuk menerima tanggung jawab yang lebih berat.
Melahirkan anak beriring dengan kewajiban mendidik, mendampingi, mengarahkan, mengantar, dan menjadikan mereka sebagai generasi yang bertanggungjawab. Ini memerlukan kesiapan ekonomi maupun emosional. Dan tidak semua orang merasa atau sebenarnya mampu untuk tugas berat itu.
Bahkan melahirkan atau tidak melahirkan erat kaitannya dengan masalah politik. Jika melahirkan banyak anak berdasarkan keinginan memperbanyak umat, keputusan tidak melahirkan juga muncul karena visi ke depan yang menekankan kualitas dibandingkan kuantitas ummat. Pilihannya justru fokus pada pekerjaan untuk memperbaiki generasi yang sekarang sudah ada walaupun bukan dari anak yang lahir dari rahim dan keluarga mereka sendiri.
Baca juga: Pelecehan Seksual Pada Anak dalam Perspektif HAM dan Syariah
Di titik ini, bisa dipahami bahwa child-free atau pilihan untuk tidak memiliki anak atau bebas dari anak bukan hal yang berdiri sendiri. Ada latar belakang yang panjang, beragam, dan kompleks.
Bukankah memutuskan tidak memiliki anak tidak sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan budaya ketimuran?
Ajaran al-Qur’an maupun hadits memang menyinggung permasalahan kepemilikan anak ini. Firman Allah dalam surah an-Nahl (16) ayat 72, yang artinya: “Dan Dia menjadikan untuk kalian melalui istri-istri kalian, berupa anak-anak dan cucu-cucu.” Ayat ini menurut para ulama’ tidak menunjukkan perintah yang jelas bahwa memiliki anak wajib. Hanya berbentuk khabar (informasi).
Hanya saja, ada perintah yang lebih jelas berdasarkan hadits Nabi yang artinya: “Nikahilah wanita-wanita yang kalian cintai dan (wanita-wanita tersebut) berpotensi untuk memiliki banyak anak. Karena sesungguhnya aku (akan merasa bahagia) karena banyaknya umatku dibandingkan umat-umat lainnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam an-Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam at-Thabarani, dan sejumlah periwayat hadis lainnya yang dikenal adil dan dhabit.
Tetapi, ada juga ayat lain yang menjelaskan tentang posisi anak dalam keluarga. Surat at Taghabun (64) ayat 14; menyebut anak bisa menjadi musuh sedangkan ayat 15 surat yang sama mengatakan bahwa harta dan anak bisa menjadi fitnah. Oleh karena itu al-Qur’an dalam surat Furqan (25) ayat 72 pun merekam doa yang harus dibaca oleh kaum Muslim untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan anak yang dilahirkan sebagai kurrata a’yun (penyejuk mata).
Lebih jauh lagi, di surat al Kahfi (68) ayat 46, Allah membandingkan antara harta dan anak di satu sisi dengan amal yang saleh di sisi lain. Ayat tersebut mengatakan anak sebagai perhiasan dunia. Ayat tersebut secara lengkap berbunyi “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Menurut pandangan para mufassir, ayat di atas menjelaskan bahwa harta dan anak memang bisa memberikan kesenangan tetapi hanya berhenti bagi kesenangan dunia dibandingkan dengan melakukan perbuatan baik (amal saleh) yang berdimensi akhirat.
Namun, amal saleh sangat banyak macamnya. Bisa juga dalam bentuk mendidik anak dengan sebaik-baik pendidikan agar menjadi pertolongan kelak di akhirat. Ibarat harta yang dinafkahkan di jalan Allah, akan menjadi amal yang akan menolong kemudian. Hadits Nabi mengidentifikasi bahwa doa anak yang saleh sebagai hasil didikan yang baik adalah satu dari tiga amal jariyah di samping sedekah dan ilmu yang bermanfaat.
Dalil-dalil normatif di atas menunjukkan bahwa perkara memiliki anak tidak hitam putih. Al-Qur’an menggambarkan nilai positif (menjadi penyejuk mata dan perhiasan dunia) juga negatif (menjadi musuh dan juga fitnah) yang bisa ditimbulkan oleh anak. Ya, adalah penting untuk memiliki anak karena Nabi senang melihat umatnya banyak.
Tetapi, jauh lebih penting memikirkan dan mempersiapkan diri untuk memastikan implikasi positif dari keberadaan anak itu. Hal yang sering kali dilupakan. Bahkan banyak fakta menunjukkan anak justru sebagai korban dari keegoisan orang tua yang ingin dianggap memiliki hidup yang sempurna. Anak malah menjadi musuh dan fitnah bagi kehidupannya.
Al-Qur’an lebih menekankan bahwa generasi yang dihasilkan harus menjadi umat yang berdaya dan berkualitas. Di surat an Nisa’ (4) ayat 9, umat Islam diingatkan “dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)-nya.”
Jadi, memiliki anak adalah tanggung jawab seumur hidup yang seharusnya implikasi positifnya dimulai di dunia dan berlaku jauh sampai di akhirat. Menjadikan anak yang berdaya dan sejahtera di segala sisi, baik fisik, mental, spiritual, ekonomi, dan sosial adalah perjalanan yang penuh liku dan memerlukan kesungguhan.
Kenyataannya, pilihan untuk memiliki keluarga child-free menunjukkan trend yang lebih jelas terekspresi walaupun umumnya masih dianggap tabu. Hal ini seiring dengan semakin tingginya social pressure (tekanan sosial) terhadap keluarga. Keluarga sekarang semakin terindividualisasi, bergerak dari keluarga besar menjadi hanya keluarga inti. Keluarga inti ini semakin tertutup dari kontribusi dan kontrol masyarakat di dalam melakukan tanggung jawab dan fungsinya.
Tetapi, pada saat yang sama, keluarga dituntut untuk bekerja keras menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik. Hanya saja gaya hidup child-free ini masih mendapatkan kritik yang tajam di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang menganggap “relasi keluarga” baru bermakna jika dilengkapi kehadiran anak.
Akan tetapi, menurut saya, pilihan ini juga tidak harus dihukumi dengan sebuah pelanggaran tanpa kita mau memahami latar belakang mengapa pilihan itu ada. Benar bahwa kita tidak boleh berputus asa dari nikmat Allah dan tidak sepantasnya khawatir untuk jatuh miskin dengan memiliki anak.
Tetapi, pertimbangan child-free tidak semata-mata bersifat material. Jika keputusan untuk child-free ini untuk menghindari hal yang merugikan yang lebih besar, maka kaidah fikih yang mengatakan “menolak mafsadat harus lebih diutamakan dari mengambil manfaat”.
Jadi apakah child-free itu pilihan yang melanggar? Tunggu! kesimpulannya tidak sesederhana itu. Intinya, pilihan memiliki anak harus disertai dengan kemauan dan tanggung jawab penuh untuk menjadikan anak itu sebagai perhiasan di dunia, sekaligus “investasi” bagi akhirat. Dan itu tidak mudah!
Apakah kecenderungan child-free ini akan membawa kita pada terhentinya pertumbuhan generasi? Sebagaimana yang terjadi di Jepang yang konon banyak sekolah dasar ditutup karena semakin minimnya generasi usia itu? Hal ini mungkin saja terjadi jika pilihan child-free menjadi kampanye yang masif digerakkan.
Tetapi, saya meyakini bahwa keinginan memiliki anak sebagai sumber kebahagian dan “investasi” untuk menjalani kehidupan yang meaningful dan purposeful di dunia dan di akhirat masih menjadi kecenderungan umum bagi masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia menganggap keturunan adalah bukti bahwa mereka ada. Eksistensi diri ditentukan oleh ada atau tidak adanya anak. Kualitas diri dilihat dari keberhasilan orang tua mendidik anak. Lihat saja aneka bullyi-an dan penolakan di medsos terkait cuitan selebriti tersebut. Saya optimis, bahwa child-free tidak akan menjadi gaya hidup yang umum dianut oleh masyarakat (Muslim) Indonesia.[]
Ilustrasi: Pinterest.
Direktur La Rimpu (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan), Peneliti Perempuan dan Perdamaian, dosen UIN Mataram.