BAGI yang mempelajari feminisme, tentu tidak asing lagi dengan tokoh pejuang perempuan yang bernama Nawal el Saadawi, ia adalah seorang dokter, aktivis, psikiater, penulis sekaligus tokoh feminis dari Mesir. Ia dilahirkan di sebuah pedesaan bernama Kafr Tahla di tepian sungai Nil yang subur, di Provinsi Al Qoyubiyah pada 22 Oktober 1931 M .
Ia dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang berpendidikan dan berpengaruh pada waktu itu, ayahnya bernama Sayyid Afandi al-Saadawiy, seorang guru di Kementerian Pendidikan Umum, sedangkan ibunya bernama Zainab Hanim Syukra, anak dari tuan Mahmud bin Syukra yang merupakan kepala pasukan militer. Nawal El Saadawi memperoleh gelar sarjana pertama kali pada tahun 1955 di Fakultas Kedokteran Cairo University dan mendapatkan gelar magister kedokteran dari Colombia University, New York pada tahun 1965 M.
Baca juga: Nawal El Saadawi; Dari Kekejaman Rezim hingga Perempuan di Titik Nol
Ia memulai praktiknya sebagai dokter pertama kali setelah lulus dari kuliah kedokteran di daerah pedesaan, kemudian di berbagai rumah sakit di kota Kairo dan diberikan amanah menjadi Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir serta menjadi pimpinan Redaksi Majalah Health. Namun, pada tahun 1972, ia dibebastugaskan dari seluruh jabatannya akibat diterbitkannya buku nonfiksinya yang pertama yang berjudul Women and Sex yang berisi tentang khitan bagi anak perempuan.
Buku tersebut sekaligus mempertegas kalau dia merupakan dokter pertama yang menolak khitan anak perempuan di bawah umur (sirkumsisi) di bawah dominasi agama-budaya. Karena pada waktu itu pendidikan dan pemahaman masyarakat Mesir tentang kesehatan dan seks masih rendah.
Latar belakang yang mendorong Nawal el Saadawi memperjuangkan hak-hak perempuan muncul ketika ia menjadi dokter di daerah-daerah pedesaan. Di sana, ia sering menangani gadis-gadis belia yang datang ke klinik karena pendarahan setelah melakukan operasi penyunatan.
Bahkan, beberapa dari mereka kehilangan nyawanya, akibat cara-cara primitif dan tidak manusiawi dalam melakukan operasi sirkumsisi. Selain itu, terjadi infeksi pada kelamin perempuan akibat praktik sunat yang tidak manusiawi tadi. Sebagian dari mereka juga menjadi korban kelainan mental dan seksual sebagai akibat pengalaman “hitam” tersebut.
Ketika melakukan penelitian di Sudan, Nawal merasa prihatin ketika mendengar penjelasan para perempuan Sudan tentang praktik penyunatan yang mereka alami, di mana mereka menjalani operasi penyunatan yang sepuluh kali lebih kejam dibandingkan di Mesir. Praktik penyunatan di Mesir, hanya klitoris yang dipotong dan biasanya tidak seluruhnya. Tetapi, di Sudan, praktik penyunatan termasuk memindahkan semua organ kelamin luar. Mereka memotong klitoris, dua bibir luar (labia mayora), dan dua bibir dalam (labia minora). Atas dasar inilah, Nawal mati-matian menolak khitan untuk anak perempuan.
Corak pemikiran feminisme Nawal El Saadawi juga muncul berangkat dari budaya arab, khusunya Mesir yang masih kental sekali menganut budaya patriarki. Nuansa patriarkhi di Mesir pada waktu itu begitu kuat, baik secara struktur dan kultur masyarakat yang masih menomorduakan perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Dalam teori penindasan gender, praktik di atas, termasuk penindasan struktural dengan mengakui bahwa penindasan berasal dari fakta bahwa beberapa kelompok orang mengambil manfaat langsung dengan menindas kelompok lainnya.
Selain itu, fakta-fakta yang ditemukan Nawal el Saadawi ketika ia melihat teman sebayanya yang menikah muda, hal ini mendorong keprihatinan dan kepekaan sosial Nawal pada perempuan. Mereka harus menikah dengan seorang laki-laki tua hanya karena memiliki sebidang tanah.
Praktik lain ialah ketika ia memperhatikan guru-gurunya yang selalu menuliskan nama ayahnya di buku-buku catatan dan tidak pernah menulis nama ibunya. Kejadian ini membuat Nawal kecil bertanya kepada ibunya kenapa demikian. Ibunya menjawab: “memang begitu”.
Baca juga: Malala Yousafzai: Perempuan Pemberani dari Negeri Seribu Cahaya
Kemudian ayahnya menjelaskan bahwa anak-anak dinamai setelah nama ayahnya dan bila ia berusaha mengetahui alasannya, ia mengulangi kalimat yang sudah ayahnya sebutkan: ”memang begitu”. Dan dengan penuh keberanian dan penasaran, ia berkata pada ayahnya,”mengapa begitu?”. Ini menandakan bahwa budaya patriarkhi pada masa itu sangatlah kental dan Nawal el Saadawi dengan tekad yang kuat dan nalar kritisnya ingin terbebas dari belenggu ketidakadilan gender tersebut.
Nawal El Saadawi adalah seorang penulis yang dijuluki “pejuang pena”, karena lewat tulisannya, ia memperjuangkan hak-hak perempuan yang termarginalkan pada waktu itu. Dari pengalaman dan sentuhan nalar kritis, ia tuangkan lewat tulisan dan buku-buku karyanya di antaranya novelnya yang berjudul “Wowen and Sex”, “The Hidden Face of Eve”, dan “Wowen at Point Zero”.
Atas karyanya itulah, Nawal el Saadawi mendapat penghargaan oleh sebagian pengamat sastra dengan menyebutnya “Simone De Beauvoir dunia Arab”, meskipun ia merasa tidak setuju karena bukan hanya perempuan di jazirah Arab saja yang harus diperjuangkan, melainkan harkat martabat wanita seluruh dunia.
Melalui karya sastra inilah dia mampu membuka mata dunia bahwa perempuan tidak semestinya dipandang sebelah mata dan mampu bersaing dengan laki-laki dengan mendapatkan jabatan dalam hal politik, sosial, dan ekonomi.[]
Ilustrasi: suara.com
Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram