Hajjah Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Majid lahir pada tahun 1952. Ia merupakan putri dari pasangan Hajjah Rahmatullah binti Hasan Jenggik dan Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang merupakan pendiri organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Wathan (NW) di Nusa Tenggara Barat.
Sebagian orang mengenalnya sebagai “pepadu” ( mujahidah/ jagoan) sebagaimana yang di informasikan oleh ayahandanya “Raihanun pepadungku dait pepadun amangku” (Raihanun merupakan jagoanku serta jagoan ayahku). Selaku putri dari ulama karismatik, ia tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarga yang penuh cinta serta kasih sayang namun sarat dengan nilai moralitas Islam.
Kedekatannya dengan sang ayahanda telah memberikannya uraian tentang seluk beluk perjuangan, khususnya dalam memperjuangkan organisasi NW sesuai dengan niat awal pendirinya. Raihanun tidak hanya berbekal pengalaman, tetapi juga menemukan pola perjuangan di bawah bimbingan serta arahan langsung dari sang ayahanda.
Baca juga: Begum Khaleda Zia : Celebrities in The World of Politicians
Ia menikah dengan seorang tokoh bangsawan yang sekaligus merupakan murid kesayangan ayahandanya, Drs. H. L. Gede Wirasentane serta dikaruniai 7 orang anak. Salah satunya merupakan Raden Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede Muhammad Zainuddin Atsani, Lc., M.Pd.I. Selain sebagai ibu rumah tangga, ia sempat juga aktif dalam beberapa organisasi kewanitaan termasuk dalam struktur birokrasi pemerintahan seperti wakil pimpinan PKK BKPMD Provinsi NTB.
Ia menempuh pendidikan dasarnya di SD Negeri 2 Pancor, setelah itu melanjutkan ke MTs dan MA Mu’alimat NW Pancor. Pada dasarnya Raihanun sudah memperoleh pendidikan khusus dari ibu dan bapaknya yang juga berperan sebagai murabbi-ruh serta murabbi-jasadnya.
Ia juga pernah tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negara (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang hingga semester 3. Kualifikasi pendidikan yang ditempuhnya jelas tidak sebanding dengan kualitas kepemimpinannya dalam menahkodai sebuah organisasi sosial keagamaan terbesar di NTB.
Karir Kepemimpinannya
Namanya tidak banyak diketahui di khalayak ramai. Tetapi dalam internal organisasi Nahdlatul Wathan, ia seperti matahari yang tanpa letih senantiasa membagikan sinarnya. Kiprahnya dalam perjuangan tidak dapat dipandang sebelah mata. Dalam kepemimpinan serta keulamaannya, ia merupakan sosok yang berani dalam mengambil keputusan sekaligus tipikal pemimpin yang ahli dalam bermusyawarah.
Melalui kiprah perjuangannya di Nahdlatul Wathan, Raihanun membuktikan bahwa kepemimpinan tidak hanya menjadi otoritas kaum laki-laki. Ia telah membuktikannya melalui karya nyata bahwa seorang perempuan juga cakap serta memiliki kompetensi menjadi seorang pemimpin.
Sosoknya tampil di tengah kultur sosial patriarkhi yang sangat kokoh mendistorsi kepemimpinan. Ia bukanlah seorang yang haus jabatan. Baginya Nahdlatul Wathan merupakan suatu amanah sekaligus nafas kehidupan yang wajib dirawat.
Karir perjuangannya diawali pada saat ia terpilih sebagai pimpinan tertinggi organisasi Nahdlatul Wathan pada tahun 1998 melalui forum Muktamar X di Praya, Lombok Tengah. Sebagian peserta muktamar menyangsikan keabsahannya menjadi pemimpin karena ia adalah seorang perempuan.
Mereka yang menolak, mendalilkan anggapannya pada nash-nash agama. Bagi mereka, perempuan akan membawa kehancuran dalam kepemimpinan. Organisasi tidak akan berjalan dengan baik apabila pemimpinnya seseorang perempuan.
Tidak hanya sampai di situ, para penolak bahkan membentuk pimpinan tandingan guna menyainginya. Berbagai jalur hukum ditempuh untuk menafikan kepemimpinannya. Hingga pada puncaknya terjadi kerusuhan di Desa Pancor, Lombok Timur yang mengakibatkan kerugian materi bahkan kerugian jiwa pada tahun itu.
Di tengah suasana serta keadaan yang kritis, Raihanun tampil sebagai sosok pemimpin yang bertanggung jawab demi kemaslahatan organisasi yang dipimpinnya. Ia mengambil sebuah keputusan yang sangat brilian untuk ukuran seseorang perempuan.
Baca juga: Tawakkul Karman: Sang Iron Women dari Yaman
Ia memerintahkan kepada segenap warga Nahdlatul Wathan serta pengikut setianya untuk berhijrah dari Desa Pancor menuju Desa Kalijaga. Hijrah ini, untuk menyelamatkan diri serta organisasi dari rongrongan orang- orang yang tidak bertanggung jawab.
Berawal dari hijrah ini, kemudian ia memulai babak baru dalam perjuangannya menegakkan ajaran-ajaran Islam melalui organisasi Nahdlatul Wathan. Dari Desa Kalijaga, beberapa bulan kemudian ia berhijrah lagi ke Desa Anjani. Sesuatu perjalanan panjang dengan dinamika sosial yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Namun, hal ini semakin membuktikan dirinya sebagai seorang ulama dan pemimpin umat yang baik.
Raihanun memiliki “manifesto” bahwa peristiwa hijrahnya Nahdlatul Wathan ini merupakan suatu perjalanan perjuangan yang berjalan di atas rasa rela yang sama dengan perjuangan baginda Rasulullah Muhammad saw.
Di saat dakwah Rasulullah saw ditolak bahkan hendak dibunuh oleh kafir Quraiys, Allah memberikan jalan keluar untuk menyelamatkan Nabinya serta agamanya. Sang Nabi diperintahkan keluar dari Kota Makkah, berhijrah ke Kota Madinah.
Sebelum Sang Nabi tiba di Madinah beliau tercatat pernah singgah di Kuba serta mendirikan salat Jum’ at pertamanya di sana. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Yastrib, Madinah. Di sinilah letak kesamaan itu, Kalijaga merupakan “Kuba” Nahdlatul Wathan sedangkan Anjani merupakan Madinahnya.
Di Desa Anjani, Raihanun mendirikan pondok pesantren Syaikh Zainuddin NW dan menetapkannya sebagai pusat sentral aktivitas organisasi Nahdlatul Wathan. Pondok pesantren inilah satu-satunya pondok pesantren yang tercatat didirikan oleh seorang perempuan di NTB. Melalui pondok pesantren ini, Raihanun melebarkan sayap-sayap perjuangan NW ke-18 provinsi di Indonesia, lengkap dengan pengurus wilayah masing-masing.
Begitu pula dengan perkembangan jumlah madrasah, baik madrasah NWDI maupun madrasah NBDI. Sampai saat ini, Nahdlatul Wathan telah menaungi lebih dari 1000 buah madrasah di seluruh Indonesia. Setiap ia melakukan kunjungan ke pelosok tanah air, selalu menghasilkan satu buah madrasah NW. Di tengah berkecamuknya dinamika yang terjadi di tubuh Nahdlatul Wathan, Raihanun membuktikan dirinya sebagai penerus ayahandanya dalam memperjuangkan organisasi.[]
Ilustrasi: Kompasiana.
Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram