Ramadan: Menyelentik Hidup Minimalis

ADA banyak macam dorongan dan rayuan yang melatari aksi kita dalam membeli atau memiliki sesuatu, dan jenis mana yang kita pilih dari beberapa dorongan dan rayuan itu sangat bergantung kepada pribadi masing-masing.

Paling tidak, ada empat macam dorongan dan rayuan yang memaksa kita harus membeli atau memiliki sesuatu, yakni karena kebutuhan, keinginan, kesenangan, dan ketertarikan.

Dorongan kebutuhan yakni membeli atau memiliki sesuatu yang memang diperlukan dan sesuai dengan kegunaannya yang berdampak secara langsung kepada kehidupan. Sementara keinginan hanyalah tuntutan yang tidak bersifat mengikat dan tidak memiliki keharusan untuk segera dipenuhi, namun merupakan tambahan dari kebutuhan pokok yang sudah terpenuhi.

Ada pun dorongan kesenangan adalah membeli atau memiliki sesuatu yang tidak dibutuhkan dan tidak diinginkan, akan tetapi dibeli karena ada rasa senang jika memilikinya, karena bentuknya indah, rupanya menarik, atau tampilannya menyenangkan. Sementara dorongan ketertarikan merupakan sesuatu yang membuat kita harus memiliki sesuatu karena ada  iming-iming, sponsor atau iklan keunggulan.

Keempat dorongan ini yang kadang tidak mampu kita kontrol, yang membuat kita menjadi konsumtif, kalap dan tidak mengindahkan skala prioritas. Dan keempat dorongan tersebut bukan hanya berlaku pada kepemilikan barang, akan tetapi berlaku pula pada semua tuntutan keperluan hidup.

Maka syariat puasa dihadirkan Tuhan dalam kehidupan kita selama satu bulan dalam setahun dalam rangka  membentuk kepribadian yang minimalis, yakni memenuhi keperluan hidup hanya sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan, kesenangan, dan ketertarikan.

Indikasi syariat puasa membentuk pribadi minimalis dapat kita rasakan saat kondisi berpuasa di siang hari, biasanya muncul keinginan yang meluap-luap menuntut untuk membeli aneka kebutuhan berbuka, seperti membeli kue, membeli es, membeli dawet, dan membeli aneka lauk. Begitu tiba waktu berbuka, mengonsumsi satu butir kurma dengan satu gelas air putih atau teh hangat saja, ternyata mampu menghilangkan rasa lapar dan haus yang kita rasakan seharian secara seketika.

Baca Juga  Jangan Dibiasakan Menipu Tuhan

Maka aneka keperluan berbuka yang telah kita beli di siang harinya, ternyata pembeliannya bukan didasari kebutuhan, akan tetapi karena keinginan, kesenangan, dan ketertarikan oleh aroma dan tampilan saat merasakan lapar dan haus.

Baca juga: Ramadan: Balas Dendam Ketakwaan

Belajar dari kondisi di atas, maka sungguh Tuhan sangat peduli dengan hamba-Nya yang serba melampaui batas dalam segala hal, sehingga disyariatkan puasa untuk mengerem hasrat yang ada dan memberi pelajaran agar membiasakan hidup minimalis.

Gaya hidup minimalis adalah gaya hidup sederhana yang bisa menciptakan ketenangan dan membuat seseorang lebih nyaman dan bahagia. Seseorang dengan konsep hidup minimalis akan mampu memanfaatkan kondisi yang cenderung apa adanya dan tidak berlebih-lebihan (baca: Mubazir). 

Dalam istilah ekonomi, dikenal dengan prinsip trade-off yakni situasi di mana seseorang harus membuat keputusan terhadap dua hal atau lebih, mengorbankan atau kehilangan suatu aspek dengan alasan tertentu untuk memperoleh aspek lain dengan kualitas yang berbeda sebagai pilihan yang diambil.

Jadi dalam syariat puasa sesungguhnya Tuhan memperlihatkan adanya praktik prinsip  trade-off  yang merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas atau aspek tertentu dengan mengurangi kualitas atau aspek dari sesuatu yang lain, agar manusia bisa belajar untuk mengetahui berbagai kemungkinan atau pilihan yang ada, dan dapat membuat keputusan yang tepat dan lebih baik, tentunya pilihan yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Puasa tidak hanya menuntun para shaimin (orang yang berpuasa) pada keperluan makan yang sifatnya fisik, namun juga memberikan pendidikan minimalis bagi jiwa pelaku puasa, agar tidak gamang.

Pelaku puasa dibatasi dari terlalu banyak berbicara, karena biasanya pembicaraan dengan kuantitas yang banyak akan sulit terkontrol dari kecenderungan mengghibah, memfitnah, hasad, dan dengki yang dapat mencederai kesempurnaan ibadah puasa.

Kemudian pelaku puasa dibatasi dari terlalu banyak merespon tindakan, omongan, dan perilaku yang tidak terlalu penting, karena akan mengganggu kedamaian hati dan ketenangan dalam beribadah.

Baca Juga  Roadmap Perjalanan Hidup Manusia

Juga pelaku puasa dibatasi agar tidak melayani situasi yang memancing emosi, karena akan mencederai kesucian hati dan pikiran selama berpuasa.      

 Kaitannya dengan keharusan untuk medidik jiwa agar minimalis telah disampaikan Nabi saw dalam sabdanya: “Waiza kaana yaumuhu shaumi ahadikum falaa yarfus, walaa yas hab, fain saabbahu ahadun au qaatalahu, fal yaqul inni shaaim”. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah berkata-kata kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa. (HR. Bukhari)

Baca juga: Marhaban Ya Ramadan

Kemudian gaya hidup minimalis juga dilatih dalam Ramadan agar pelaku puasa membiasakan kepemilikan minimalis melalui kesadaran untuk berbagi kepada yang membutuhkan. Kesadaran ini akan melatih kita untuk tidak rakus, tidak serakah, dan mengambil yang bukan hak kita yang bertentangan dengan konsep minimalis.

Orang yang terbiasa berbagi akan merasa sumpek hidupnya dengan kepemilikan yang berlebihan, dan akan merasa nyaman hatinya setelah dapat berbagi dari kelebihan yang dia miliki kepada orang yang membutuhkan.

Wa fī amwālihim ḥaqqul lis-sā`ili wal-maḥrụm”. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (adz-Dzariat: 19)

Dengan melatih diri membiasakan gaya hidup minimalis kaitannya dengan jiwa dan tuntutan keperluan hidup di bulan Ramadan, maka janji Tuhan berupa ketakwaan dan janji Nabi saw berupa kondisi sehat jasmani dan rohani, akan dapat diraih oleh para pelaku puasa.[] 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *