Menganak: Apresiasi dan Manifestasi Penghambaan Masyarakat Sasak kepada Yang Maha Kuasa

SEBAGAIMANA sistematika narasi beberapa artikel sebelumnya, edisi ini, berikut dua edisi nanti setelahnya merupakan penjabaran singkat dari edisi sebelumnya: “Tiga Unsur Dasar Ritus dan Situs Spiritual Sasak”.
Pertama
, menganak “prosesi perkembangan untuk manusia”.

Kedua, mentioq “propsesi perkembangan untuk tumbuh-tumbuhan dan tanaman”. Ketiga, menteloq “prosesi perkembangan untuk hewan dan binatang ternak”.  Ketiga hal ini menjadi sumber, dasar, rujukan, motif atau apapun namanya dan menjadi dasar seluruh situs dan dan ritus yang ada di Sasak-Lombok.

Edisi ini akan membahas tentang unsur yang pertama “menganak” beberapa situs dan ritus yang dijalankan masyarakat Sasak-Lombok sebagai manifestasi ungkapan syukur atas anugerah berupa kelahiran, perkembangan, dan perencanaan kelahiran berikutnya sebelum kembali keharibaan Yang Maha Segalanya.

Perlu dijelaskan secara etimologi, bahwa “menganak” dalam bahasa Indonesia berarti melahirkan/proses kelahiran. Namun yang dimaksudkan termmenganak” sebagai salah satu istilah untuk memaknai motivasi dan inspirasi ritual dalam spiritual masyarakat Sasak-Lombok dalam narasi ini yakni “menganak” dimaknai dalam arti yang lebih luas.

Jadi “menganak”, selain dimaknai sebagai salah satu dari tiga hal perantara awal kehidupan di dunia, juga mencakup bagaimana hidup dengan baik, berkembang, mempersiapkan kehidupan atau generasi berikutnya, hingga pada bagaimana persiapan untuk menghadap-Nya ketika tiba masa dan waktu menyongsong panggilan-Nya. Semua hal tersebut oleh masyarakat Sasak-Lombok dimaknai dalam satu mata rantai yang diistilahkan “menganak”.

Tidak terhitung bilangan situs di seantero Lombok yang disakralkan, dan dikeramatkan, yang dijadikan media oleh masyarakat Sasak-Lombok, untuk mengekspresikan ungkapan syukur kepada-Nya atas peristiwa “menganak” tersebut.

Situs-situs tersebut biasanya berbentuk gunung, perbukitan, sumber mata air, atau lautan lepas sebagai simbol anugerah Yang Maha Kuasa, yang sudah memberikan garansi berbentuk sumber daya alam melimpah yang menjamin prosesi “menganak”.

Situs-situs ini juga bisa berupa petilasan atau makam dan kediaman leluhur ataupun orang yang berilmu yang diyakini berperan penting dalam menunjang prosesi tersebut baik dengan tenaga, fisik, kekuasaan, kekayaan maupun ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Situs-situs tersebut biasanya dikunjungi untuk mendapatkan dukungan semesta dan ketenangan batin atas apa yang sudah dilalui, yang sedang dijalankan, atau yang akan dijalankan nanti. Namun jangan salah, masyarakat Sasak-Lombok, bukanlah penganut faham dan aliran panteisme, yang kemudian menganggap situs-situs tersebut adalah manifestasi keberadaan dan perwujudan Yang Maha Kuasa.

Karena masyakat Sasak-Lombok tidak pernah memuja kepada selain Yang Maha Kuasa, ini mengingatkan pada Lombok dengan Pulau Seribu Masjid-nya. Maaf, seperti misalnya di beberapa daerah ditemukan pemujaan terhadap penguasa laut, penguasa gunung, penguasa sungai dan lain sebagainya. Realitas sejenis dan seperti ini tidak dijumpai di masyarakat Sasak-Lombok.

Baca Juga  Sesenggaq: Kebijaksanaan Metodis Pendidikan Sasak

Dalam perspektif fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) atau Martin Heidegger (1889-1976), kunjungan dan ritual dalam nuansa spiritual yang dijalankan ketika berkunjung pada situs-situs tersebut, lebih merupakan manifestasi dari ungkapan syukur, dan sekaligus bentuk dialog masyarakat Sasak-Lombok dengan lingkungannya, sekaligus menata dukungan semesta.

Karena setelah kunjungan ke salah satu atau beberapa situs tersebut, lazim dan bahkan selalu disertai dengan acara “rowah” dalam berbagai skala mulai dari yang sederhana, sedang, hingga pada acara besar dan meriah. Pada akhir acara selalu ada ramah-tamah dan berbagi makanan atau hasil yang sudah diperoleh untuk dimakan bersama maupun disalurkan kepada yang lebih membutuhkan seperti fakir miskin dan anak-anak yatim.

Jadi hal ini semakin mempertegas bahwa masyarakat Sasak-Lombok, bukan penganut panteisme. Bukankah QS. Ibrahim ayat 7 dan ayat 34 menjelaskan seyogyanya bersyukur, karena dijanjikan dengan bersyukur akan memperoleh kebajikan dan kebaikan berlipat-lipat.

Sementara dalam perspektif Pendidikan Islam, tata-cara bersyukur merupakan persoalan muamalah, yang dalam kaidah ushul fikih-nya “seluruh bentuk muamalah itu adalah boleh, kecuali ada dalil dan larangan yang jelas melarangnya”.

Apakah masyarakat Sasak-Lombok menyimpang dari akidah? Dengan tegas penulis menyatakan “masyarakat Sasak-Lombok” sesuai arti kata lombo’ hingga sekarang masih tetap lurus dan memiliki ketauhidan yang murni dan jernih.

Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukan baik dalam praktik maupun literatur, yang menunjukan bahwa masyarakat Sasak-Lombok melakukan peribadatan atau memiliki sandaran ibadah kepada selain Yang Maha Kuasa, sebagaimana yang dapat ditemukan di beberapa daerah lainnya. Situs-situs ini juga merupakan situs yang menunjang dua unsur yang lainnya yaitu “mentiok” dan “mentelok”.

Adapun terkait ritus, banyak sekali dijumpai dalam tradisi “menganak” yang kemudian dilakoni dan menjadi penguat spiritual masyarakat Sasak-Lombok dalam menghadirkan Yang Maha Pencipta dalam kebersamaan langkahnya. Beberapa ritus tersebut secara umum dibagi menjadi tiga: pra kelahiran dan proses kelahiran, pasca kelahiran, dan kematian.

Baca Juga  Tiga Dasar Ritus dan Situs Spiritual Sasak

Ritus-ritus yang berhubungan dengan pra kelahiran dan proses kelahiran itu sendiri seperti: acara selemet tian, acara tiga atau tujuh bulanan mengandung, acara pedak api atau ngaranan, ngurisan, dan lain sebagainya.

Sementara ritus pasca kelahiran ini, mulai dari acara anak sudah aqil baligh, nyunatan bagi laki-laki dan bekikir bagi perempuan, merarik, dan beragam bentuk selametan lainnya atas kesuksesan dan kinerja. Adapun ritus kematian juga tergolong tidak sedikit mulai dari selamet gumi, nelong, mituk, nyiwak hingga pada begawe mate.

Semua situs dan ritus tersebut tidak mungkin untuk dijabarkan dalam narasi singkat ini, semoga dalam edisi dan kesempatan lainnya penulis akan mencoba membahasnya tuntas.

Sebagai akhir narasi, penulis menegaskan bahwa sebagai orang Sasak, patut bersyukur dengan beragam situs dan ritus yang terwariskan, yang menjadi salah satu wahana untuk merasakan kehadiran Yang Maha Kuasa.

Kata pepatah, “banyak jalan menuju roma” sedangkan Nurcholish Madjid mengatakan “banyak pintu menuju Tuhan”.

Sebagai penutup, tulisan ini ditutup dengan sebuah Hadits Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim bab “Fadhail al-‘Amal” (keutamaan-keutamaan amal) yang artinya: “Dari Abu Hamzah Anas bin Malik bin Nadr Al-Khazraji dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa mengajarkan suatu sunnah yang baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala orang yang mengamalkannya itu. Dan barang siapa mengajarkan suatu sunnah yang buruk dalam Islam, maka dia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa orang yang mengamalkannya itu.” (HR. Muslim)[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *