PENCUCIAN uang atau dikenal dengan istilah money laundering adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau dana ataupun harta kekayaan yang bersumber dari hasil kebohongan melalui berbagai transaksi keuangan, agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah atau legal.
Pada umumnya, pelaku pencucian uang berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindakan manipulasi dengan berbagai cara, agar harta kekayaan hasil kejahatannya itu sulit terdeteksi keharamannya oleh siapa pun, sehingga dengan leluasa memanfaatkannya baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah.
Memahami ulasan singkat tentang tindakan pencucian uang di atas, sepertinya aktivitas tercela itu tidak hanya terjadi dalam ranah birokrasi atau ranah transaksi keuangan di ruang-ruang rahasia, akan tetapi jika ditelusuri dengan jujur, hal itu terjadi juga dalam ranah praktik keagamaan.
Jangan kira semua praktik-praktik yang terkait dengan pengelolaan harta kekayaan dan keuangan pada orang-orang yang beragama semuanya murni menjadi transaksi halal dan legal, di balik tindakan religius dan sopan santun itu terkadang banyak oknum yang menggunakan ruang-ruang praktik keagamaan sebagai tameng untuk bertransaksi money laundering dalam upaya membersihkan uang atau harta kekayaan yang diperolehnya.
Barangkali pernah terlintas dalam pendengaran kita bahwa ada beberapa oknum orang beragama yang melakukan transaksi tak jujur dalam memperoleh kekayaan, lalu hasil transaksi itu ingin dibersihkan, ia membelanjakannya melalui praktik ibadah, katakan saja pendapatan tak wajar itu digunakannya untuk berumrah atau berhaji, dengan landasan pembenaran bahwa menggunakan dana yang tak wajar pada aktivitas keagamaan yang wajar akan mendapatkan nilai kesucian dari pendapatan yang dirasa tidak memenuhi syarat halal yang jelas.
Atau, ada oknum yang membelanjakan sebagian dari harta yang didapat melalui jalan tak wajar untuk menyantuni fakir msikin dan anak yatim dengan harapan bahwa apa yang didapatkan dengan cara tak wajar dapat dibijaksanai Tuhan, jika sebagian harta tersebut telah diberikan kepada anak yatim dan fakir miskin, maka ia beranggapan bahwa aksi itu akan dapat mensucikan seluruh harta yang didapat secara tak wajar menjadi harta yang legal.
Ada juga oknum yang menggunakan capaian materi yang diperoleh secara tak wajar dengan mendirikan bangunan untuk lembaga pendidikan dan sosial, seperti masjid, panti asuhan, diniyah, madrasah, dan lembaga sosial lainnya, dengan hajatan bahwa perolehan yang tadinya tak wajar menjadi legal dan dia meyakinkan dirinya bahwa hasil dari pengelolaan lembaga itu akan menjadi capaian yang bersih dan suci.
Perlu untuk kita berhati-hati dan sekaligus bersikap yang serius bahwa bentuk praktik-praktik seperti yang diuraikan di atas itu tidak ada jaminan kebenaran dan kesuciannya dari syariat agama, dan sesungguhnya praktik itu bagian dari money laundering yang tak disadari dari perolehan harta kekayaan yang tak wajar, sebagaimana kejahatan yang terjadi di ruang-ruang transaksi keuangan dan birokrasi. Hanya saja menjadi tidak nampak sebagai tindakan kejahatan oleh karena dibungkus dengan kedok praktik beragama, yang sebenarnya tindakan itu hanyalah menghibur diri sendiri.
Penting bagi kita untuk memperhatikan perolehan pendapatan atau upah kita masing-masing, tidak saja terjamin kesucian jalan keluar dari harta dan kekayaan yang kita miliki, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah menjamin kesucian dari jalan masuknya, yakni sedapat mungkin untuk kita pastikan bahwa apa yang kita peroleh dari pendapatan atau upah telah melalui jalan yang wajar dan halal.
Dalam meraup capaian materi terkadang kita sering kali abai dari kewajaran sumber masuknya, padahal syariat agama telah memberikan kita pemahaman yang cukup tentang perolehan rezeki, pastikan kewajarannya—dari mana sumbernya dan membelanjakannya untuk apa dan dengan cara bagaimana? Konsep ini sangat standar untuk menjaga kita dari melakukan praktik tak wajar dalam ranah perolehan dan pemanfaatan pendapatan.
Pemerolehan harta dan pembelanjaannya yang dilakukan dengan cara tak wajar dan tak legal oleh ulama salaf memberikan perumpamaan: “bagai mendirikan bangunan di atas ombak yang ganas”, tidak saja terombang ambing, akan tetapi juga tidak memiliki kekuatan untuk bertahan.
Perumpamaan di atas dapat kita temukan pada karya Syekh Muhammad bin Ahmad Romli dalam kitab Ghayatul Bayan fi Syarhi Zubad Ibni Ruslan, beliau mengatakan, perbuatan ibadah seperti salat, puasa, haji, dan ibadah lainnya dari orang yang memakan, meminum, dan mengenakan pakaian haram—padahal ia mengerti keharaman sumbernya—bagaikan meletakkan bangunan di atas ombak yang ganas.
Tuhan memilih diksi yang berbeda sebagai simbol larangan yang keras terhadap praktik tak wajar dari usaha seorang hamba dalam memperoleh dan memanfaatkan hasil pendapatannya, sebagaimana tertuang di dalam surah an-Nisa’ ayat 29:
“Yā ayyuhallażīna āmanụ lā ta`kulū amwālakum bainakum bil-bāṭili illā an takụna tijāratan ‘an tarāḍim mingkum, wa lā taqtulū anfusakum, innallāha kāna bikum raḥīmā”. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Tuhan adalah maha penyayang kepadamu.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Menarik untuk direnungkan. Trm ksh.
…sesungguhnya Tuhan maha penyayang kepadamu. (…an-Nisa’/3: 29).
Kalimat akhir di ayat 29 an-Nisa’ ini sungguh luar biasa. Bahwa karena kasih sayangnya, Tuhan tidak memberikan hamba-Nya untuk bebas dan lepas kontrol dari apa yang diusahakan. Sebagai hamba yang sadar akan kasih sayang Tuhan, kita patut bersyukur dalam penjagaan itu. Bukan pengekangan, karena sesungguhnya rizki itu berasal dari-Nya. Maka miliki dan manfaatkan sesuai petunjuk-Nya agar kita tidak masuk dalam gerbong yang terombang ambing di atas gelombang. Ngeri.
Wassalam