Milad Reformasi Indonesia: Apa Kabar Reformasi Birokrasi?

SEKITAR jam 09.30 WIB Soeharto meletakkan jabatan Presiden dan sesuai konstitusi jabatan presiden beralih ke Prof. Dr. B.J. Habibie. Dengan begitu, tanggal 21 Mei 2023 merupakan milad reformasi Indonesia yang ke-25.

Beberapa agenda reformasi telah terasa hasilnya, yang lain masih berjalan terseok-seok, sementara beberapa yang lain belum tampak. Tulisan ini mengambil tajuk diskusi dengan pertanyaan apa kabar reformasi birokrasi?

Mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Prof. Dr. Eko Prasojo dalam karyanya tahun 2020 lalu berjudul Memimpin Reformasi Birokrasi menyatakan bahwa “kalangan sarjana Administrasi Publik hingga meyakini bahwa sistem administrasi publik sebuah negara yang dikenal dengan nama birokrasi merupakan pilar sekaligus faktor penting dalam keberhasilan pembangunan suatu negara”.

Berpijak pada pandangan tersebut, penulis berpandangan pemimpin politik yang disahkan melalui pemilu demokratis tidak menjadi jaminan terwujudnya kesejahteraan rakyat.  Justru tantangan selanjutnya adalah seberapa besar komitmen dan kemampuan pemimpin politik terpilih menghadirkan birokrasi profesional dan berintegritas dalam pelayanan publik.

Menilik potret 25 tahun masa reformasi, perlu diingatkan kembali bahwa Indonesia telah memiliki Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, meliputi: periode 2014 berfokus pada rule based bureaucracy, periode 2019 berfokus pada performance based bureaucracy, dan periode 2024 berfokus pada dynamic governance.

 Nampaknya grand design di atas hanyalah merupakan dokumen tertulis yang sistematis dalam naskah Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 dan tersimpan baik di meja para pemegang kekuasaan. Faktanya, Indonesia mengalami resesi (kemunduran) dalam reformasi birokrasi.

Sistem multi-partai (multy-party system) ditambah pemilihan langsung oleh rakyat untuk pengisian jabatan presiden, gubernur, bupati dan walikota sungguh berdampak buruk bagi birokrasi dalam pelaksanaan fungsi pelayanan publik, bahkan harga diri para pegawai birokrasi tercabik-cabik, hilangnya kenyamanan kerja, hingga stres kerja menjadi pengalaman keseharian para pegawai setiap hari.

Birokrasi akhirnya bukan tempat kerja yang sehat di Indonesia. Sementara gaji pegawai birokrasi belum memadai sebagaimana negara-negara lainnya.

Baca Juga  Smart City, Impian Kita Semua

Tidak sedikit birokrasi dipaksa oleh kekuatan politik dalam mendistribusikan alokasi pelayanan publik hanya untuk memenuhi kepuasan tim pemenangan gubernur, bupati, dan walikota, bukan atas dasar kebutuhan publik yang dilayani.

Tidak sedikit pula pegawai birokrasi berkompetensi, profesional, dan memiliki integritas kuat, tidak mendapatkan jabatan hanya karena tidak memilih gubernur, bupati, dan walikota pada waktu pemilu berlangsung, atau hanya karena kurangnya “layanan” kepada tim pemenangan.

Fakta bahwa pejabat-pejabat menengah seperti Kepala Bidang, Kepala Bagian, dan yang sederajat dengannya lebih takut kepada tim pemenangan daripada Kepala Dinas dan jabatan diatasnya, hal tersebut bukan fenomena baru di daerah.    

Pegawai birokrasi publik yang lemah iman, akhirnya memilih mengkhianati publik daripada membangkang pada kuasa politik, perintah “haram” pejabat politik atau tekanan tim pemenangan. Sumpah sebagai ASN yang mereka ucapkan pada waktu pelantikan begitu mudah dilupakan karena dihadapkan pada pilihan “ikut bergabung atau keluar dari barisan”.

Keluar dari barisan sudah barang tentu memiliki konsekuensi. Sikap otoritarianisme kuasa politik yang demikian mempolarisasikan perilaku birokrasi berbudaya parokial-kaula dan tak berdaya. Budaya organisasi birokrasi dalam sistem politik yang demikian menyebabkan banyak jabatan birokrasi dipegang oleh orang yang bukan ahlinya, namun berbasis “beriman pada kekuasaan”. Disinilah bermulanya kegagalan reformasi birokrasi Indonesia. 

Deskripsi di atas menggambarkan kondisi nyata birokrasi Indonesia saat ini. Apabila tidak ada komitmen penguasa, kondisi tersebut akan terus berlangsung dan menggagalkan capaian arah reformasi birokrasi yang sudah disepakati bangsa ini.

Hanya melalui  kepemimpinan reformasi birokrasi yang kuat, semua agenda reformasi birokrasi di atas akan dapat terlaksana dengan sukses. Saatnya, publik memilih partai politik, calon presiden, dan kepala daerah yang memiliki visi jelas terhadap reformasi birokrasi.

Namun sayangnya, hingga saat ini elite politik abai bicara visi reformasi birokrasi, mereka hanya sibuk bersiasat tentang cara memenangkan Pemilu bukan beradu visi tentang cara menggapai kehidupan rakyat yang lebih baik.[]  

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *