Keluarga sebagai unit sosial terkecil sekaligus terpenting memiliki karakteristik tertentu. Sebagian karakter itu memudahkan penelitian terhadap keluarga (poin 1-3), sedangkan yang lain justru menjadi tantangan (poin 4-6).
1. Pengalaman Semua Orang
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak mengalami hidup sebagai anggota keluarga dan oleh karenanya dia diatur oleh hukum keluarga. Bahkan anak yatim dan piatu sejak lahir juga menjadi kajian bagi hukum keluarga. Bagaimana perwaliannya, bagaimana hartanya, apa hak dan kewajibannya dalam relasi perwalian dan sebagainya.
Oleh karena itu, hukum keluarga sangat dekat dengan kehidupan semua manusia. Ahli hukum lain misalnya hukum pidana, belum tentu mengalami aturan-aturan pidana, beda dengan hukum keluarga yang baik ahli atau tidak tetap mengalaminya.
2. Rentang Waktu Tanpa Ujung
Scope dan fokus hukum keluarga terentang luas mencakup hal-hal yang terjadi bahkan sebelum kehidupan seseorang sampai setelah kematian. Hukum keluarga mengatur dengan aturan yang berkait dengan cara dan institusi yang legal bagi lahirnya keturunan misalnya syarat dan rukun perkawinan, hukum keluarga juga mengatur bagaimana harta seseorang dipergunakan dan dibagi setelah kematiannya misalnya terkait harta waris.
Hukum keluarga juga mengatur aspek-aspek yang terkait sepanjang kehidupan manusia, ketika menjadi anak, saudara, suami-istri, ayah-ibu, kakek-nenek. Jadi hukum keluarga mengatur berbagai aspek sepanjang, sebelum, maupun setelah kehidupan manusia.
3. Miniatur kehidupan Sosial
Keluarga memang biasanya berada di sebuah bangunan fisik bernama rumah atau ruang domestik yang tidak begitu luas dibandingkan dengan ruang publik. Namun dinamika yang terjadi di dalam keluarga sangat berkaitan atau bahkan representasi dari apa yang terjadi di luar sana.
Keluarga merupakan awal pembentukan nilai dan ujung dari berbagai permasalahan sosial di luar sana. Kehidupan keluarga memberikan pengaruh timbal balik bagi konteks sosial, budaya, ekonomi, politik, di luar sana. Tidak berlebihan jika keluarga dinamakan sebagai representasi dari fenomena sosial yang terjadi dan sebaliknya.
4. Ruang Privasi
Walaupun keluarga sudah banyak menjadi sumber inspirasi sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masih banyak ruang di dalam keluarga yang belum terjamah terutama bagi peneliti sebagai outsider baik karena isunya sensitif, kode etik penelitian, ketertutupan subyek penelitian, dan aksesibilitas peneliti terhadap itu semua yang terbatas.
Isu KDRT misalnya, tidak gampang dijadikan bahan penelitian terutama jika menggunakan pendekatan kualitatif berbentuk etnografi atau fenomenologi yang membutuhkan keterlibatan intens seorang peneliti di satu sisi dan kepercayaan penuh subyek yang diteliti di sisi lain untuk membagi kisahnya.
Hal-hal traumatik seperti perceraian dan akibatnya seperti konflik hak asuh anak, dan harta gono-gini relatif sulit diceritakan kepada orang lain. Di Indonesia, di mana bercerita mengenai hal-hal tabu seperti seksualitas dan kehidupan keluarga dianggap sebagai membuka aib memberikan tantangan tersendiri bagi peneliti kehidupan keluarga.
Padahal, data-data kualitatif seperti itu sangat dibutuhkan untuk menganalisis normativitas kehidupan keluarga maupun deskripsi empiris dinamika kehidupan keluarga. Biasanya para peneliti hukum keluarga kemudian menjadikan orang-orang terdekat mereka, apakah itu keluarga, atau sahabat untuk menjadi informan penelitian.
5. Bersifat Relasional
Sebenarnya, meneliti keluarga seharusnya juga meneliti semua anggota keluarga. Sebab, kehidupan keluarga yang bersifat relasional. Terutama terkait keluarga inti yaitu bapak-ibu-anak. Karena kehidupan keluarga dialami bersama maka perspektif mereka masing-masing sangat penting untuk menangkap secara utuh dinamika dalam keluarga baik konflik, resistensi, maupun resiliensi.
Dalam hal ini, peneliti hukum keluarga sering kali mengalami kesulitan untuk mendapatkan data dari semua pihak yang terlibat terutama jika berkaitan dengan hal-hal yang didefinisikan sebagai aib atau terjadi konflik di antara mereka.
Oleh karena itu, di dalam penelitian hukum keluarga penting untuk melakukan double unit analysis, yaitu gender analisis untuk melihat pengalaman berbeda antara suami dan istri, maupun inter-generational analysis untuk melihat relasi orang tua dan anak.
6. Minimnya Suara Perempuan dan Anak
Patut diakui bahwa dalam beberapa aspek kehidupan keluarga masih male-centred. Akibatnya, banyak penelitian keluarga yang menganggap suara laki-laki sebagai kepala keluarga adalah representasi dari keluarga itu sendiri. Akibatnya, pengalaman dan suara perempuan sebagai istri dan anak sering kali lirih bahkan terbungkam.
Pada beberapa aspek lain, justru laki-laki yang tidak banyak didengar, misalnya pada kasus KDRT, banyak penelitian yang mengungkap berbagai hal yang terkait dengan korban dalam hal ini mayoritas istri, tetapi tidak banyak yang melihat dari perspektif pelaku yang biasanya suami. Terjadilah apa yang dinamakan sebagai under-representation di satu sisi, dan over-generalization di sisi lain di dalam banyak studi hukum keluarga.
Pertanyaannya adalah bagaimana memanfaatkan keunikan hukum keluarga itu untuk terus mengembangkan epistemologi studi hukum keluarga di era kontemporer ini? Tulisan ini mengusulkan metode autoetnografi di dalam studi hukum keluarga. Metode ini akan memaksimalkan tiga karakter hukum keluarga di atas yaitu: experienced, timeless, dan social miniature. Dalam waktu yang bersamaan, tantangan yang terkandung pada ketiga karakter lainnya yaitu private, relational, and gendered dapat teratasi.
Autoetnografi: Metode Emansipatoris Studi Keluarga
Autoetnografi memiliki tiga aspek yang berkaitan dan seimbang yaitu: “refleksi, analisis, , dan interpretasi (Synder, 2015, p. 94). Refleksi artinya bersumber dari pengalaman peneliti sendiri. Analisis di sini artinya menghubungkan pengalaman individu tersebut (“I”) dan konteks sosial serta literatur yang terkait dengan pengalaman yang diceritakan (“other”).
Sedangkan interpretasi adalah sebuah narasi yang tersusun dari kombinasi dan hubungan timbal balik antara “I” dan “other” itu sebagai sebuah tawaran pengetahuan. Jadi autoetnografi bukan sekedar cerita yang narsistik, tetapi mengambil angle tertentu dalam kehidupan pribadi yang berkaitan dengan konteks dan fenomena sosial yang menjadi kegelisahan akademik sehingga narasi yang dihasilkan mengandung makna dan pengetahuan yang bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang.
Salah satu kritik yang banyak sekali diarahkan pada metode ini adalah terkait subyektifitasnya yang dikhawatirkan berlebihan. Ellis (2004) menjelaskan bahwa untuk meminimalisir subyektivitas ini, ukuran obyektivitas yang digunakan dalam ilmu pengetahuan positivis dapat dipinjam yaitu reliabilitas, validitas, dan dapat digeneralisasi.
Reliabilitas ini berhubungan dengan kredibilitas peneliti. Peneliti harus memastikan validitas cerita dengan memastikan bahwa pengalamannya adalah bukan fiksi melainkan sejarah hidup, yang berhubungan dengan konteks sosial dan berkonsultasi pada referensi terkini.
Sedangakan, dapat digeneralisir maksudnya adalah bahwa cerita itu hidup, dapat dipercaya, dan masuk akal sehingga pembaca merasa terhubung dengan cerita itu dengan pengalaman mereka sendiri. Jika ketiga hal ini dapat dilakukan maka tulisan autoetnografi dapat memberikan justifikasi, legitimasi, dan pengetahuan baru yang membantu orang lain untuk memahami dunia dan kehidupan mereka.
Metode ini sangat compatible digunakan di dalam penelitian atau studi hukum keluarga karena untuk memfasilitasi pengalaman yang teritegrasi tanpa batas dan privasi yang bersifat relasional dalam kehidupan keluarga menjadi sumber pengetahuan dan dasar epistimologis bagi pengembangan studi hukum keluarga.
Metode ini memberikan kesempatan bagi mereka yang mungkin tidak terjamah oleh peneliti outsider untuk secara sukarela membagi pengalamannya yang bersifat sangat pribadi sekalipun. Dengan demikian diharapkan problem under-representation dan over-generalization di mana ada pihak-pihak yang tertinggal untuk menyuarakan pengalamannya atau ruang-ruang privasi yang masih tidak terjamah dalam keluarga dapat terakomodir.
Di titik ini, karakter emansipatori-partisipatif hukum keluarga Islam dapat lebih lancar dan cepat diupayakan. Saya optimis, metode ini akan berkontribusi untuk memberikan berbagai analisis yang lebih seksama bagi studi hukum keluarga. Pada gilirannya berbagai analisis dan perspektif ini dapat menjadi dasar bagi reformasi hukum keluarga Islam sebagai hukum yang menghadirkan keadilan dan kesetaraan bagi semua orang.
Referensi:
Bowen, J. R. (1998). What is “Universal” and “Local” in Islam? Ethos, 26(2), 258–261. || Bowen, J. R. (2012). A New Anthropology of Islam. Cambridge University Press. || Ellis, C. (2004). The Ethnographic I: A methodological novel about autoethnography (Vol. 13). Rowman Altamira. || Fauzi, L. (2023) Aligning Religious Law and State Law: Negotiating Legal Muslim Marriage in Pasuruan, East Java, Brill Publication. || Hayano, D. M. (1979). Auto-Ethnography: Paradigms, Problems, and Prospects. Human Organization, 38(1), 99–104. || Maréchal, G. (2010). Autoethnography. In Albert J. Mills, Gabrielle Durepos, & Elden Wiebe (Eds.). || Encyclopaedia of Case Study Research (Vol. 2, pp. 43–45). SAGE Publications. || Salim GP, M. A. (2020). From Usul Fiqh to Legal Pluralism: An Autoethnography of Islamic Legal Thought. Mazahib, 19(1), 79–106. https://doi.org/10.21093/mj.v19i1.2414. || Snyder, M. M. (2015). Leaning Into Autoethnography: A Review of Heewon Chang’s Autoethnography As Method. The Qualitative Report, 20(2), 93-96.https://doi.org/10.46743/2160-3715/2015. 2099.[]
Ilustrasi: Buwana.
Direktur La Rimpu (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan), Peneliti Perempuan dan Perdamaian, dosen UIN Mataram.