Budaya Kita, (Bukan) Korupsi

DEWASA ini berita tindak pidana korupsi kerap menghiasi lini masa media baik media sosial maupun media mainstream lainnya. Pelakunya pun beragam, mulai dari pejabat teras negara hingga pejabat teras kampung alias pejabat desa. Korupsi seakan-akan menjadi sebuah tindakan kriminal biasa seperti halnya pencurian atau kekerasan.

Sebetulnya apa yang melandasi maraknya korupsi di Indonesia? Mental manusia Indonesia atau iklim birokrasi yang mendorongnya? Penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Mochtar Lubis dalam pidatonya berjudul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban di Dewan Kesenian Jakarta tahun 1977, yang menyatakan bahwa karakter lemah manusia Indonesia adalah akar terjadinya korupsi di berbagai lini. Karakter lemah yang dimaksud adalah ketidakmampuan manusia dalam mengemban amanah untuk tidak melakukan korupsi.

Namun sekali lagi, penulis hanya setuju apabila pernyataan Mochtar Lubis tersebut berlaku secara personal, artinya hanya sebagian saja manusia-manusia Indonesia yang memiliki karakter lemah tersebut sebagai akar penyebab terjadinya korupsi. Sedangkan di sisi lain masih banyak manusia-manusia Indonesia yang memiliki karakter kuat yang mampu menahan diri dari segala tindakan yang berhubungan dengan korupsi.

Korupsi hari ini mungkin dapat dimaknai sebagai “mental” seseorang yang hobi mengambil sesuatu yang bukan haknya, korupsi bukan hanya tentang bupati yang suka mark-up anggaran, atau petugas pajak yang hobinya ngemplang pajak. Tindakan-tindakan sehari-hari yang terkadang tidak disadari pun merupakan tindakan korupsi, misalnya plagiasi tulisan karya ilmiah.

Penulis hanya setuju apabila korupsi dimaknai sebagai mental sebagian manusia Indonesia yang tentu saja bersifat personal dan tidak digeneralisir apalagi disebut sebagai budaya orang Indonesia yang tentunya berlaku secara luas. Menganggap korupsi sebagai budaya orang Indonesia merupakan kesalahan banyak orang dalam membaca sejarah dan kebudayaan, hal ini diakibatkan karena pembacaan sejarah yang parsial (sebagian), sedangkan sejarah harus dibaca secara holistik dan universal.

“Korupsi adalah budaya kita”, merupakan salah satu bukti berhasilnya kolonialisme di Indonesia merusak mental dan jati diri bangsa kita. Bangsa adikuasa sejak abad ke-7 hingga abad ke-15 dengan kerajaan-kerajaannya kemudian dengan mudahnya dihancurkan oleh hadirnya Verenidge Oost Indische Compagny (VOC). Bangsa kita sebelum abad 16 merupakan bangsa yang teguh dan kuat memegang dogma-dogma agama, selain itu mereka juga berpegang teguh pada kebudayaan asli yang tentu melarang segala perbuatan-perbuatan buruk, salah satunya korupsi.

Baca Juga  Islam dan Refleksi Kesetaraan Gender

Hadirnya VOC di Indonesia mampu menggeser semuanya, VOC berhasil menjadikan raja-raja di daerah sebagai alat propaganda mengajak bumiputera melakukan tanam paksa dengan upah yang tidak layak. Korupsi kemudian menjadi sebuah keumuman di kalangan raja-raja yang menjadi kaki tangan VOC. Sampai di sini kita sudah paham bahwa korupsi adalah mental yang dibawa penjajah pada abad 16 hingga selanjutnya, bukan budaya orang Indonesia.

Lalu apa yang menjadi budaya Indonesia (Nusantara)? Penulis berpendapat bahwa wajah asli budaya Nusantara adalah “pemberantasan korupsi”. Kita akan mundur dari rentang abad ke 15 hingga abad ke 7 untuk melihat hebatnya pemberantasan korupsi ala Nusantara.

Abad ke 15, di Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah terdapat Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam, dua serat ini merupakan kitab undang-undang yang disusun oleh dewan wali yang sekaligus menjadi Dewan Pertimbangan Agung Raden Fatah, di sisi lain juga sebagai hakim, namun khusus Sunan Giri diberi gelar “panatagama” karena bertindak sebagai penghulu. Sunan Giri dibantu oleh Sunan Kudus yang ahli dalam bidang tata negara dan perundang-undangan, menyusun serat yang berisikan ketentuan-ketentuan perdata dan pidana, termasuk tindak pidana korupsi.

Mundur ke abad 12 saat kemaharajaan Majapahit mencapai kejayaannya, sebuah kemaharajaan yang menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara ini juga punya kitab undang-undang yang mengatur perdata dan pidana kitab tersebut bernama “Kutaramanawa Dharmasastra”. Hukum perpajakan di zaman Majapahit sudah diatur berjenjang dan sangat rapi, namun mafia pajak dan koruptor juga bermunculan.

Majapahit tidak segan-segan menghukum koruptor atau petugas pajak meskipun dia punya jabatan tinggi atau bahkan punya kedekatan dengan raja. Pasal 6 Kutaramanawa Dharmasastra menegaskan bahwa “Hamba Raja, meski ia Menteri sekalipun, jika menjalankan dusta, supaya diperlakukan sebagai penjahat. Jika ia melakukan corah (pencurian), perbuatannya mengikuti perbuatan pencuri. Karena memang perbuatan dusta, tatayi dan Corah (pencurian) dikenakan pidana mati, demikianlah bunyi undang-undang yang dikeluarkan oleh raja yang berkuasa”.

Majapahit juga membebaskan pembunuh yang membunuh hamba raja atau aparatur kerajaan yang korupsi, hal ini menunjukkan bahwa Majapahit memiliki pandangan yang rendah terhadap korupsi. Dari sini harusnya bangsa Indonesia belajar, bahwa tidak ada korupsi yang dapat dimaklumi apalagi dimaklumi karena nominal yang dikorupsi hanyalah nominal yang kecil.

Baca Juga  Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (4)

Supremasi Majapahit dalam pemberantasan korupsi dapat dilihat dalam berbagai sumber sejarah yang menyebutkan Majapahit punya tiga cara menghukum mati terpidana koruptor. Pertama, dieksekusi mati oleh algojo di sebuah tempat khusus di tengah hutan. Kedua, ditenggelamkan ke dalam laut dengan keadaan kaki tangan diikat. Ketiga, Cineleng-celeng atau diburu seperti babi hutan, yaitu terpidana dilepas liarkan lalu diburu oleh masyarakat selayaknya babi hutan hingga meninggal.

Negara kita punya akar sejarah yang kuat mengenai pemberantasan korupsi, akan sangat naif apabila sendi-sendi penegakkan hukum terhadap pidana korupsi justru diperlemah bukan diperkuat. Majapahit yang memandang corah (termasuk didalamnya korupsi oleh hamba raja) sebagai perbuatan hina harusnya direfleksikan dalam penegakkan hukum bangsa Indonesia masa kini, minimal DPR-RI segera mengesahkan RUU Perampasan Aset Koruptor.

Bagaimanapun, Majapahit dan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara mampu mencapai titik kejayaannya ketika mereka mampu membuat sistem hukum dan menegakkannya. Hal ini yang harus diserap oleh manusia-manusia Indonesia hari ini dengan memperkuat karakter antikorupsi dan menumbuhkan rasa cukup dalam diri setiap insan.[]


Ilustrasi: Hukumonline.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *