Multidisipliner, Interdisipliner, dan Transdisipliner (MIT): “New Academic Mentality” dan Bedah Pemikiran Prof. Amin Abdullah

Adalah sebuah kehormatan bagi saya mendapatkan kesempatan membedah karya Prof. Amin Abdullah yang berjudul Multidisipliner, Interdisipliner, dan Transdisipliner (MIT): Metode Studi Islam di Era Kontemporer pada tanggal 25 Februari 2021. Kegiatan ini diadakan secara daring oleh PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta.

Kegiatan itu dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=uY5_pIpZSEo&t=3320s. Kegiatan itu menghadirkan juga Dr. Zamah Sari (Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta dan Dr. Fransiska Widyawati (Wakil Rektor Universitas Katolik Indonesia Santa Paulus, Ruteng, NTT). Prof Amin Abdullah sendiri sebagai penulis hadir dalam forum tersebut).

Saya memulai presentasi tersebut dengan menyampaikan identitas Prof. Amin Abdullah untuk memberikan konteks bagi pemikiran beliau. Juga saya menjelaskan bagaimana personal attachment saya pada argumen inti yang disampaikan oleh buku ini. Hal ini untuk menjelaskan bagaimana pemikiran beliau memang relate bagi seorang dosen seperti saya yang memang memerlukan pemahaman memadai terkait metode studi Islam dalam tugas-tugas akademik saya.

Prof. Amin Abdullah: Sang Begawan

Tentu saja tidak sulit untuk mencari informasi tentang beliau. Di Google, bejibun informasi tentang siapa beliau beserta karyanya. Bukti ketokohannya adalah beliau juga sudah muncul di Wikipedia. Sebagai intelektual publik yang pernah menjadi rektor dua periode pada UIN Yogyakarta, salah satu kampus terkemuka di Indonesia, juga pernah menjadi direktur pascasarjana pada kampus yang sama, menjadikan beliau sebagai tokoh intelektual yang populer. Tidak hanya pada level nasional tetapi juga internasional.

Prof. Amin Abdullah memiliki otoritas keilmuan agama yang mumpuni. Pendidikan menengah di Pesantren Gontor lalu dilanjutkan ke UIN Yogyakarta sebelum menuntut ilmu nun jauh ke Turki, menjadikan beliau sebagai salah seorang akademisi, ilmuwan-sekaligus cendekiawan yang mumpuni yang dimiliki Indonesia. Beliau juga praktisi dan birokrat pendidikan yang makan asam garam. Dalam posisinya inilah, beliau melihat ada masalah di dalam metode studi Islam

Beliau tidak hanya seorang dosen yang melakukan rutinitas mengajar (akademisi) tetapi juga ilmuwan yang membenamkan dirinya pada pemikiran dan pengembangan keilmuan serta metodologi studi Islam. Lebih dari itu, beliau juga cendekiawan yang tidak puas dengan menara gading kampus. Beliau terlibat langsung ke masyarakat menerjemahkan berbagai pemikirannya untuk melakukan rekayasa sosial.

Melalui organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah beliau menyuarakan pemikiran-pemikiran briliannya. Pemikiran-pemikiran yang banyak memengaruhi arah gerakan organisasi dan cara pandang anggota organisasi bagi kehidupan sosial keagamaan di Indonesia.

Dalam bukunya MIT ini, Prof. Amin Abdullah menunjukkan kayanya perspektif yang dipakai. Beliau meletakkan pemikirannya tersebut pada kerangka kegelisahan bersama para pemikir dan sarjana muslim di belahan dunia lain. Beliau misalnya menelusuri pemikiran Abdullah Saeed, Abdul karim Soroush, Jasser Audah.

Para pemikir ini sepakat bahwa Islam dan pendidikan Islam harus didekatkan dengan realitas kehidupan untuk memastikan fungsinya sebagai solusi zaman.  Prof. Amin Abdullah, meletakkan kegelisahan ini dalam konteks ke-Indonesia-an sekaligus keislaman. Sungguh tepat rasanya jika beliau disematkan karakter sebagai “begawan studi Islam”. 

Argumen Utama dan Pendukung Buku MIT

Argumen utama yang disampaikan oleh beliau dalam bukunya adalah bahwa “Studi Islam IS NOT Self-Sufficient” Bahwa studi agama tidak bisa berdiri sendiri karena ia tidak mampu mencukupi dirinya sendiri. Oleh karena itu, diperlukan mental akademik yang baru (new academic mentality) yaitu rezim monodisiplin perlu diakhiri dan beralih kepada MIT tersebut. Hal ini karena integrasi dan interkoneksi antara pengetahuan mutlak diperlukan.

Sepanjang buku ini, argumen di atas dielaborasi dengan detail sekaligus operasional. Buku ini menunjukkan bagaimana hubungan antara integrasi dan interkoneksi (I-Kon) dengan MIT itu sendiri. Secara khusus Prof. Amin Abdullah menyimpulkan supporting argumen bagi argumen utamanya tersebut di atas. Sebagaimana dapat dikutip di bawah ini:

“Linearitas ilmu dan pendekatan monodisiplin dalam rumpun ilmu agama akan mengakibatkan pemahaman dan penafsiran agama kehilangan kontak dengan realitas dan relevansi dengan kehidupan sekitar. Budaya berpikir baru yang secara mandiri mampu mendialogkan sisi subjektif (agama), objektif(sains) dan  intersubjektif (filsafat) dari keilmuan dan keberagamaan menjadi niscaya….” (hal: 97-98)

Baca Juga  Islam dan Pancasila: Perspektif Maqashid Syariah Prof. K.H. Yudian Wahyudi, Ph.D

MIT dapat terwujud jika I-Kon terlebih dahulu dilakukan. I-Kon yang dimaksud adalah terjadinya semi-permeability (saling menembus) dan terintegrasinya antara tiga entitas utama di dalam studi Islam yaitu sisi subjektivitas agama, objektivitas sains dan intersubjektivitas filsafat.

Ketiga hal ini adalah teman seperjuangan yang harus bergandengan untuk menghasilkan studi Islam yang lebih fresh dan flexible menghadapi problem keumatan. Jika ditarik lebih belakang lagi, argumen ini juga tampak pada konsep jaring laba-laba studi Islam yang sudah lama juga beliau cetuskan sebagai gambaran keterkaitan ilmu pengetahuan di dalam studi Islam di UIN Yogyakarta.

Keterkaitan antara ketiga hal tersebut yang lebih jauh dielaborasi sebagai jawaban dari dinamika dan problem sosial yang dihadapi oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Dinamika sosial yang tak terhindarkan ini menghasilkan  problem sosial yang serius karena adanya stagnasi metode keilmuan pendidikan Islam. Sebut saja misalnya problem konflik antar agama, kemiskinan, ketidakadilan, pelanggaran HAM yang tidak berkesudahan.

Trialogi nilai Subjektif, Objektif, dan Intersubjektif

Nilai subjektif yang dimaksud adalah agama khususnya textual normative (hadharah al nash). Sedangkan objektif tersebut adalah pengetahuan atau scince (hadharah al ilm). Intersubjektif disebut pula sebagai hadharah al falsafah atau social humanities.  

Pada level studi agama, ketiganya terwujud dalam bentuk Ulum  al Din (Religious Knowledge) yang berkutat pada teks al-Qur’an dan hadis serta turats.  Al Fikr al Islami (Islamic Thought) yang mengedepankan rasionalitas. Pada level ini teks dipahami secara dinamis sesuai dengan kemampuan akal memahami dan menerjemahkan.

Tetapi penerjemahan oleh akal ini tidak bisa terlepas dari aspek humanistik (pengalaman manusia). Hal inilah yang berwujud pada  Dirasat Islamiyah (Islamic Studies) yang kritis dan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan perubahan sosial.  Ketiganya adalah entitas yang menyatu  (integrated entities) yang tidak bisa ditinggalkan atau dilepaskan.

Pintu masuk bagi terintegrasinya pengetahuan agama, pemikiran keislaman, dan studi Islam tersebut adalah dengan mengimplementasikan tiga pra kondisi  yang  harus dilakukan yaitu semipermeable (saling memasuki), intersubjective-testability (mudah dikomunikasikan kepada individu yang beragam), dan creative imagination (imajinasi yang dinamis dan terarah). Menyatukan ketiga entitas itu dalam studi metodologi studi agama menghasilkan perspektif dan praktik  “keagamaan baru” yang holistik, rekonsiliatif, dan mediatif.

Lebih lanjut Prof.  Amin Abdullah menjelaskan bahwa integrasi ketiga hal tersebut adalah mengimplimentasikan bangunan epistemologi studi keislaman yang sesungguhya telah ada dalam khazanah keilmuan klasik yaitu trialektika bayani-burhani-‘irfani.  

Bayani merupakan perspective fiqhiyyah-legalistic dari pemeluk agama atau pemegang mazhab tertentu sebagai insider. Sedangkan dalam paham kegamaan yang mengandung objektivitas adalah burhani karena ia bersifat rasionalistic-scientific dan bersumber dari outsider yang memiliki jarak atau mengambil jarak dari subyektivitasnya terhadap keyakinan agama.

Sedangkan irfani atau epistemologi keilmuan intuitif (hati nurani) adalah menggabungkan kedua hal tersebut di atas. Ihsan sebagai basis kesalehan individu dan tasawuf sebagai basis kesalehan sosial menghasilkan pemahaman dan praktik keagamaan yang dibenarkan oleh atau mencerminkan aspek nurani (innermost voice of heart).  Studi Islam yang mengedepankan irfani ini akan menghasilkan muslim yang tidak sekedar alim tetapi juga arif.

Inilah simpul-simpul saraf yang perlu dimiliki oleh konsep multidisipliner, interdisipliner, dan transdisipliner (MIT) ala Prof Amin Abdullah. Dalam multidisipliner, hal yang dilakukan adalah menerima berbagai pengetahuan dan perspektif sebagai entitas yang memiliki level kebenaran yang sama. Agama dengan sains misalnya. Sedangkan pada level interdisipliner, pengetahuan dan perspektif didialogkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai transdisipliner yaitu mewujudkan jaringan ilmu pengetahuan yang berbeda itu untuk menuju public good atau maslahah al ‘ammah (kebaikan umum). 

Poin penting yang disampaikan oleh Prof Amin Abdullah dalam bukunya ini, nampaknya juga memberi wacana spiritualitas yang bersifat operasional yakni tentang 10 cara menjadi arif, yaitu: Perkuat literasi multikultural, kenali multiple identities diri dan orang lain, no prejudice, HOTS (High Order Thinking Skills) yes, LOTS (Low Order Thinking Skills) no!, scientific skills with humanistic thought, tajamkan hati nurani, religion with spirituality, Hubb allah wa al jaar, etika is on the top dan perkuat silaturahmi. Silaturahmi yang dimaksud juga dan terutama perjumpaan dan bahkan perkawinan akademik antara rumpun kelimuan yang berbeda.

Baca Juga  Antara Perlawanan dan Loyalitas Kaum Subsisten

Implementasi MIT pada Hukum Keluarga Islam:  My Personal Attachment

Buku ini tidak hanya memperkaya kognitif saya sebagai pembaca, tetapi juga menyentuh afeksi dan mendorong psikomotorik saya untuk banyak berbuat. Latar belakang keilmuan saya, Hukum Keluarga Islam sebagai salah satu disiplin keilmuan dalam rumpun ilmu studi Islam sangat relevan dengan pendekatan yang ditawarkan oleh Prof. Amin Abdullah baik melalui I-Kon maupun MIT-nya.

Banyak isu hukum keluarga yang berlaku di masyarakat muslim yang masih menyisakan berbagai problem. Hukum keluarga adalah salah satu hukum yang detail diatur oleh teks al-Qur’an maupun praktik Nabi. Paling tidak ada 70 ayat al-Qur’an yang menjelaskan secara detail terkait hukum ini. Hadis Nabi, terutama yang diriwayatkan oleh Aisyah, istrinya yang cerdas, berbicaraa banyak tentang praktik yang terjadi pada keluarga Nabi.

Nabi telah mencontohkan bagaimana hukum keluarga sebenarnya adalah hukum yang memperlakukan laki-laki dan perempuan pada posisi yang setara. Hanya saja praktik hukum keluarga memang dinamis sehingga diperlukan pengaturan yang terus diperbaharui.

Pada tahun 2000, saya mulai mengajar mata kuliah Hukum Keluarga Islam (waktu itu namanya Hukum Perdata Islam Indonesia) yang sumber rujukan utamanya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) Nomor 1/1991. Banyak temuan baru ahli hukum Islam yang diatur oleh hukum yang secara de facto menjadi pedoman bagi hakim agama menyelsaikan perkara-perkara hukum keluarga muslim Indonesia ini.

Sebut saja antara lain masalah pembatasan usia pernikahan dan pencatatan pernikahan yang memang tidak ditemukan teks normatifnya secara jelas. Aturan yang membatasi usia pernikahan dan mengharuskan mencatat pernikahan adalah ijtihad yang dilakukan untuk mewujudkan kemaslahatan.

Namun pemahaman teologis tentang pernikahan anak, misalnya masih bersandar pada teks normatif misalnya hadis yang mengisahkan pernikahan Aisyah dengan Nabi saw  di saat umurnya masih 9 tahun. Pemahaman normatif ini memberikan justifikasi akan sah dan tidak apa-apanya pernikahan anak yang masih berumur di bawah 19 tahun (menurut UU 16/2019  sebagai pembaharuan UU 1/1974 tentang perkawinan). Padahal secara empiris dengan di-support oleh objektifikasi sains, pernikahan anak menimbulkan berbagai problem turunan misalnya pada masalah ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. 

Ini adalah bukti bahwa bahwa metodologi studi hukum keluarga belum masuk pada aspek  kepada al fikr al Islami  yang bersifat burhani apalagi pada Dirasat Islamiyah yang menggunakan pendekatan intersubjectivity. Sehingga fakta sosial dan temuan pengetahuan apalagi hati nurani terkalahkan oleh cara pandang fiqhiyyah-legalistik yang subyektif secara monodisiplin.

Tidak salah menggunakan pendekatan fiqhiyaah-legalistik ini, tetapi menjadi salah kalau pendekatan ini dipandang sebagai self-sufficient. Problem pernikahan anak lalu terus menjadi momok yang sulit dicari solusinya karena sebegitu berakarnya monodisiplin keilmuan dalam studi hukum keluarga.

Perdebatan tentang poligami pun mengalami nasib yang sama. Biasanya diskusi menjadi deadlock karena pendekatan yang dipakai adalah pendekatan teks. Secara normatif baik pada teks al-Qur’an maupun hadis memang jelas ada precedence tentang poligami. Tetapi perspektif burhani atau scienntific-empiris yang membuktikan bahwa cukup sulit prinsip sakinah-mawaddah-warahmah diwujudkan dalam pernikahan poligami. Belum lagi jika epistemologi intuitif yang mengedepankan rasa dan hati nurani (irfani) menjadi pertimbangan.

Metodologi MIT ini sangat menjanjikan studi Hukum Keluarga Islam menjadi lebih holistik, rekonsiliatif, dan mediatif sebagaimana yang dihajatkan oleh metodologi ini sendiri. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak meminjamnya menjadi kerangka berpikir bagi studi, kajian, dan penelitian hukum keluarga.

Terima kasih Prof. Amin Abdullah.[]  

Ilustrasi: Indonesiana.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *