“Manusia itu lahir tidak membawa apa-apa,” dikatakan demikian lantaran pada kenyataannya manusia membutuhkan segalanya untuk ia menjalani kehidupan. Perhatian, perlakuan halus semasa pertumbuhan, ilmu pengetahuan, harta benda bahkan berikutnya kedudukan untuk mendukung eksistensinya sebagai manusia.
Kebutuhan ini sering kali diterjemahkan sebagai kekurangan untuk dipenuhi, maka dia disebut kebutuhan. Itu semua dilekatkan dengan manusia.
Sejatinya, teori perkembangan berupa berupa proses menuju atau proses menjadi atau juga proses berubah tidak menjadikan kekurangan sebagai termin awal. Proses diartikan sebagai alur yang terjadi, atau mengalir secara begitu saja.
Tidak ada bentuk pemenuhan katakanlah kebutuhan. Terdapat jarak antara pemenuhan dengan kebutuhan. Maka arti kekurangan dalam teori ini hal tersebut tidak ada atau setidaknya berbeda sama sekali.
Kembali kepada pengertian posisi manusia sebagai yang papa, menjadi mengherankan tatkala apa yang disebut kebutuhan menjelma magnet yang seolah tidak henti menjadikan manusia melekat dengan itu sampai tidak bisa melepaskan diri darinya.
Terlebih semata perhiasan berupa harta, anak-anak, dan istri begitu ditinggalkan maka tidak ada yang akan dibawa selain menjelma bekal berupa ganjaran pahala atau sebaliknya.
Ada lagi, dalam proses menjalani hidup di dunia ini, manusia kemudian mengatakan, apa yang saya dapati atau nikmati adalah hasil usaha saya. Saya berhasil meraih cita-cita berkat usaha dan kerja keras. Ini fakta selanjutnya, fakta ini menjadi menjadi unik tatkala dicerminkan dengan kenyataan masa lalunya. Manusia sejatinya adalah makhluk papa, yang berarti bukan dan tidak memiliki apa-apa.
Sosial, kekayaan, kedudukan merupakan bagian dari tujuan, perjalanan, perubahan. Menjadi pengusaha kaya, penulis terkenal, sosok yang mampu membawa pengaruh (influence) sudah tidak logis jika disandingkan dengan perjuangan menujunya. Semua dalam kerangka kejadiannya.
Apabila dikatakan lelah dalam berjuang, maka penting mengingat kembali, atau menoleh ke masa lalu dengan melihat prosesnya secara keseluruhan. Perjuangan sesungguhnya akan nyata setara mengujinya dengan keadaan manusia sesungguhnya.
Tidak ada istilah persoalan kejiwaan atau psikologi, materi bahkan beban moral sebagai masalah. Semuanya seolah menjadi lenyap begitu saja. Sehingga manusia menjadi sadar apa sebenarnya yang selama ini ia perjuangkan dan apa yang harus diperjuangkan dalan hidup ke depannya.
Ketiadaan berjuang menjadi, menuju, berubah adalah teruji dengan keadaan manusia yang sesungguhnya, hingga didapat makna perjuangan manusia sesungguhnya.
Maka harusnya sudah ditemukan alasan syukur yang sejatinya senantiasa dipanjatkan; mengapa harus sabar, dan apa tujuan ibadah yang diperintah kepada manusia.[]
Ilustrasi: i’m ghofur dzulhikam
Penulis lepas, tinggal di Yogyakarta