Dalil Kebolehan Wali Nikah Perempuan dalam Islam

KETENTUAN tentang perwalian dalam perkawinan masih menjadi perdebatan dalam kalangan para ahli fikih. Ada ulama yang mewajibkan adanya wali, dan ada pula yang membolehkan tanpa wali. Husein Muhammad (2007) dalam bukunya Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender menyebutkan bahwa Imam Hanafi, Abu Yusuf, Zufar, Al-Awza’I, dan Malik bin Anas menyatakan dalam suatu riwayat bahwasanya wali tidak memiliki otoritas untuk mengawinkan (memaksakan perkawinan) anak perempuannya, baik gadis dewasa maupun janda. Gadis dewasa dimaknai bagi perempuan yang sudah akil baligh.

Mukhsin Nyak Umar dan Rini Purnama (2018) dalam artikel Persyaratan Perkawinan Menurut Mazhab Hanafi, bahwasanya Imam Abu Hanifah menyebutkan dalam kitabnya yang berjudul al-mabsudh bahwa seorang perempuan yang sudah baligh dan berakal baik janda maupun gadis boleh melangsungkan pernikahannya sendiri atas akad pernikahannya, baik itu menikah dengan laki-laki yang sekufu maupun tidak sekufu, dan wali boleh menggugat apabila tidak sekufu atau maharnya yang tidak patut. Namun akad pernikahannya dianggap sah.

Imam Hanafi bukan saja membolehkan perempuan menikah tanpa wali, tetapi beliau juga membolehkan perempuan menjadi wali nikah perempuan lainnya. Kebolehan perempuan menjadi wali juga dijelaskan dalam hadis dari Abu Hurairah r.a yang terdapat dalam Shahih Bukhari nomor hadits 4.843 dan Shahih Muslim nomor hadis 1419, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:

لَا تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ اْلبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوْا يَارَسُوْلُ الله وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ

Artinya: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan, hingga dimintai persetujuannya. Dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan, hingga diminta izinnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya?” Beliau bersabda, “Diamnya (adalah izinnya)”.

Hadis di atas menjelaskan bahwa Islam memberikan hak penuh kepada seorang janda untuk menikah dengan seorang laki-laki yang ia inginkan tanpa memerlukan persetujuan dari wali. Adapun bagi perempuan gadis, ia perlu dimintai persetujuannya. Artinya, izin dari wali bukanlah menjadi satu keharusan atau syarat sah bagi perkawinan tersebut, karena yang menjadi suatu keharusan adalah keridhaan/kerelaan pengantin wanita. Bahkan dalam hadis lain dikatakan, perempuan boleh menolak jika dinikahkan dengan laki-laki yang tidak ia sukai

Baca Juga  Budaya Baca-Tulis dalam Isyarat Al-Qur’an

Hal senada juga disampaikan oleh Khoiruddin Nasution (2009) dalam bukunya yang berjudul Wali Nikah Menurut Perspektif Hadits bahwasanya secara umum, para ulama masih menghendaki keterlibatan dan kehadiran wali dalam prosesi akad nikah, tetapi mayoritas ulama tidak menyetujui ada hak ijbar wali. Demikian juga para intelektual menghendaki kebebasan kedua mempelai untuk menentukan pasangan dan pernikahannya dan mengecam pemaksaan perkawinan, baik yang dilakukan oleh ayah, ibu, tokoh adat, dan siapa pun itu.

Hadis lain juga disebutkan dalam kitab Al-Muwath’tha karangan Imam Malik. Faqihuddin Abdul Kodir (2022) dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik mengutip dari Kitab Imam Malik yang merujuk kisah Aisyah r.a yang pernah menjadi wali nikah anak beliau, yaitu Hafshah binti Rasulullah saw.

“Dari Abdurrahman bin al-Qasim, dari ayahnya al-Qasim bin Abi Bakr al-Shiddiq r.a., bahwa Aisyah r.a. menikahkan Hafshah bint Abdurrahman dengan seorang laki-laki bernama al-Mundzir bin al-Zubair.

Saat itu, Abdurrahman (ayah Hafshah) sedang tidak ada, karena berada di Syam. Ketika ia datang dari Syam, ia mengeluh, “orang sepertiku ia perlakukan seperti ini? Orang sepertiku ia langkahi untuknya begitu saja?” Lalu Aisyah r.a. berbicara dengan al-Mundzir bin al-Zubair, dan al-Mundzir kemudian berkata, “semua ini (keputusannya berada) di tangan Abdurrahman.” Abdurrahman menjawab, “saya tidak bermaksud membatalkan akad yang telah kamu langsungkan, (wahai Aisyah).” Hafshah pun tetap hidup serumah bersama al-Mundzir. (Muwaththa’, no. 1167).

Ketentuan Wali Nikah dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Ketentuan tentang wali nikah tidak dijelaskan secara spesifik dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Tetapi dijelaskan secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam. Pasal 19 KHI menyebutkan bahwa salah satu rukun nikah adalah wali. Lebih lanjut dalam pasal 20 disebutkan bahwa yang berhak menjadi wali nikah adalah seorang laki-laki. Dengan demikian, ketentuan perkawinan di Indonesia belum menyediakan ruang untuk posisi perwalian dalam perkawinan untuk perempuan.

Saya melihat bahwa sudah saatnya Indonesia merevisi aturan perkawinan di Indonesia. Direvisi ke arah yang lebih humanis dan berkeadilan. Ahmad Azhar Basyir (2019) dalam buku Hukum Perkawinan Islam mengutip pendapat Imam Abu Hanifah, bahwasanya bagi wali yang paling prioritas bukanlah jenis kelamin laki-laki akan tetapi kepandaiannya memilihkan jodoh yang tepat bagi perempuan yang di bawah perwaliannya. Hal tersebut semata-mata demi terwujudnya kemaslahatan dalam pernikahan anaknya kemudian hari.

Baca Juga  Teologi Membilas Politik Dinasti Perspektif Hasan Hanafi

Pada seorang ayah yang telah menelantarkan anaknya bertahun-tahun, maka perlu dipertanyakan tanggung jawab perwaliannya. Al-Qur’an sendiri  sudah mewanti-wanti dan sangat mengecam keras hal tersebut, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S an-Nisa (4): 9:

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Artinya: “Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya)”.

Apakah hikmah perwalian yang diharapkan Islam akan tetap terwujud jika ayah seperti itu tetap menjadi wali? Jika pun ia tetap memiliki hak perwalian, tetapi mengapa tidak jika Undang-Undang memberi ruang untuk memprioritaskan atau minimal memberi kesempatan seorang ibu untuk menjadi wali anak perempuannya. Karena dari sisi kecakapan, kemampuan ibu tentu sudah tidak perlu diragukan lagi. Kekuatannya bertahun-tahun untuk mengasuh dan melindungi putrinya tentu sudah cukup menjadi bukti.

Penulis akan menutup tulisan singkat ini dengan salah satu kisah dialog antara seorang anak dengan sang ayah. Seorang anak bertanya pada ayahnya: “apa arti seorang pria?” Ayahnya menjawab, “pria adalah orang yang kuat dan bertanggung jawab atas anak-anaknya; mengurus mereka dan bergerak untuk kenyamanan mereka. Dengan lugu anak itu kemudian berkata, “jika demikian, aku berharap aku bisa menjadi pria seperti ibuku.”[]

Wallahu a’lam


Ilustrasi: suara.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *