RANGKAIAN Festival Hanta U’a Pua di Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat tanggal 27-28 Oktober 2023 mulai digelar dengan semarak dan khidmat. Selain warga Bima sendiri, juga warga Bima asal daerah lain turut serta meramaikan acara tersebut.
Hanta U’a Pua tahun ini sedikit lebih akbar dari sebelumnya, karena melibatkan banyak komunitas, paguyuban, dan lembaga formal dan non formal yang berafiliasi ke kesenian, akademik, kebudayaan, konservasi, literasi, dan lain-lain.
Kesenian suku lain menjadi bagian dalam rundown acara. Perlu diingat, bahwa kesenian tersebut tidak khusus di datangkan dari daerah asalnya, akan tetapi dilakoni oleh warga Bima (KTP Bima) yang berasal dari daerah asal kesenian tersebut. Mereka yang menetap, mengabdi, dan memberi kontribusi untuk Bima dari lintas sektor; ASN, Polri, TNI, pegawai pabrik, karyawan, pengusaha, pedagang kecil, atau mereka yang menetap di Bima karena pernikahan.
Semisal, Reog Ponorogo, Jaranan Sunda, kesenian dari Flobamora (Flores, Sumba, Timor dan Alor), tari Minang, kesenian Madura, Bugis, tari Bali dan tidak ketinggalan tarian, tabuhan gendang beleq dari Suku Sasak Lombok yang mengiringi atraksi peresean/beladukan.
Olahraga kebanggaan NTB berupa peresean ini masih kurang maksimal karena tidak dikemas khusus agar semua hadirin bisa menonton bahkan terlibat dalam memacu adrenalin sebagai pepadu/petarung, padahal para penonton sangat terhibur dan penasan mencoba. Panitia dari Majelis Adat Kesultanan Bima, sudah memastikan acara peresean ini aman, bisa memupuk sportivitas, rasa kekeluargaan antar suku di Bima dan membangkitkan rasa cinta terhadap budaya Nusantara khususnya kebudayaan Bima.
Untuk parade musik gendang beleq saja membutuhkan 25 sampai 30 orang personil dan sudah tampil di prime time acara pukul 04.00 bakda sholat ashar. Pemain musik gendang beleq sangat antusias dan sangat unik karena sekahe/pemain musiknya sebagiannya adalah anggota Polri sekitar 15 orang, yang bertugas di Bima.
Briptu Lalu Sutami Ardiantara, SH., yang digelari Arya Juruh Suttara, tampil sebagai penari soloist bernama tari panembrame atau tari penghormatan. Tari eksotis kreasi suku Sasak sejak zaman kerajaan dulu masih lestasi hingga kini, tari ini umumnya dipersembahkan untuk tamu kehormatan, baik para sultan maupun duta besar kerajaan lain yang dihelat saat pertemuan petinggi kerajaan.
Keseluruhan penampilan tersebut imbuh Lalu Sukarsana, ketua Kerukunan Keluarga Lombok Bima (KKLB) sudah dipersiapkan sejak dua bulan lalu. Sanggar seni KKLB sudah latihan gendang beleq hampir setiap hari, dipadatkan menjadi tiga sampai lima kali kali sepekan.
Musyawarah terkait undangan upacara adat Hanta U’a Pua ini semakin diintenskan melalui grup WhatsApp dan musyawarah langsung yang biasanya diadakan di halaman Polres Bima Kota atau di halaman perpustakaan Kota Bima.
Hasil musyawarah yang di gawangi Lalu Sukarsana ini mendorong ratusan anggota Kerukunan Keluarga Lombok Bima (KKLB) di bawah koordinasi beliau untuk terlibat menyukseskan upacara adat Hanta U’a Pua.
“Sebuah kehormatan besar, pihak Majelis Adat Kesultanan Bima telah menginisiasi kesenian daerah lain dan melibatkan kami (kesenian sanggar KKLB) di acara besar adat Bima ini.” Tutur Lalu Sukarsana.
Semua suku yang terlibat di upacara adat Hanta U’a Pua ini seolah mendapat pengakuan dan penghargaan tinggi atas eksistensi dan kontribusi mereka untuk Bima. Adapun partisipasi sekaligus bukti cinta budaya dan ajang silaturrahim warga Lombok di rantauan (KKLB) sejujurnya di wadahi dengan upacara agung ini, lanjutnya.
Lebih jauh ke belakang, festival ini tidak sebatas Hanta U’a Pua atau panjat pinang seperti dalam bayangan. Malainkan satu tagline yang menyeret banyak hal filosofis di dalamnya. Mendiang Alan Malingi beberapa pekan sebelum wafat ditemui berpendapat:
Festival Hanta U’a Pua ini lebih pada menjalankan amanat para sultan dan orang tua sejak pertama kali diadakan. Sirih Puang (sebelum bernama Hanta U’a Pua) diadakan pada bulan maulid, bahkan dilangsungkan selama setengah bulan. Festival ini digagas oleh Datuk Maharajalelo, para Datuk lainnya dan Sultan Abdul Khair Sirajuddin masa kesultanan tahun 1840-1682.
“Sejarah Bima tertuilis di kitab Bo. Bahkan pemerhati budaya, Lalu Massir (Q Abdullah) juga menulis buku terkait kitab Bo ini. (Mengenal Bo Catatan Kuno Daerah Bima).” Ungkap mendiang Alan Malingi.
Fahrurizki, penulis buku Historiografi Bima sekaligus pemerhati sejarah Bima, mengungkapkan peristiwa penting seperti ini juga disinggung dalam kitab Bo Qadli dan ditulis khusus dalam naskah Sirih Puan, yang kaitannya dengan keagamaan dan syiar Islam. Sebab Islam mulai banyak dikenal di Bima, yakni melalui momentum maulid Nabi Muhammad dengan pagelaran festival ini. Tujuan selain itu tentu saja agar nilai keislaman masyarakat Bima semakin kuat dan membawa dampak sosial yang baik.
“Pakem kegiatan Hanta Ka’pua ini harus di bulan maulid, kalau diselenggarakan di luar konteks bulan itu, namanya festival simulasi saja. Semoga kedepan, penyelenggaraannya makin baik.” Tegas Fahrurizki.
Rangkaian acara Hanta Ka’pua, lanjut Fahrurizki itu banyak. Salah satunya disimulasikan simbolisasi serah terima mushaf al-Qur’an kepada sultan, dengan harapan agar nilai-nilainya disebarkan pada seluruh masyarakat Bima. Dalam tata cara komunikasi penerimaan mushaf Qur’an tersebut, sang penghulu mengeluarkan kata-kata sumpah.
Ini merupakan komitmen serius agar menjadi tonggak rekonstruksi penyebaran Islam di Bima. Tidak hanya memperingati hari lahir Nabi Muhammad, tapi juga hari lahirnya Bima (15 Rabiul Awwal) dalam pelukan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Tentu saja dengan upacara adat Hanta U’a Pua ini, diharapkan mampu membuka mata dunia agar menjadikan Bima sebagai destinasi wisata, baik wisata budaya, wisata alam yang tidak kalah dengan tempat lain. Terutama wisata sejarah, mengingat kontribusi dan jalinan Bima dengan daerah-daerah luar tidak bisa dilupakan begitu saja. Di Bima terjadi banyak peristiwa sejarah. Dalam hal ini bandar pelayaran diplomatis dan perdagangan dari para penjelajah Nusantara.
Buat apa digelar acara adat ini? Tentu saja untuk membentuk karakter masyarakat Bima yang sudah kuat menjadi lebih baik dengan religiusitas, keamanan, kemajuan, sikap amanah dan handal (RAMAH). Terimplementasi pada ramah terhadap suku bangsa manapun, ramah anak, ramah investasi, ramah lingkungan, ramah budaya lain (kolaboratif) dan tentu saja ramah tata kelola pemerintahannya (good governance) yang partisipatif dari seluruh masyarakat. Agar Bima yang sudah Bangkit dan Setara menjadi Bima Gemilang, sesuai semboyan.[]
Ilustrasi & Foto: Pesona Bimaku
Penulis kelahiran Lombok Tengah ini menikah dan berdomisili di kawasan Sila Kabupaten Bima. Pegiat literasi dan lingkungan hidup yang mengelola Bank Sampah di Kecamatan Bolo dan Madapangga.