“Iya deh si paling yang mengedepankan berbahasa Bima’’ mungkin kalimat ini yang akan dilontarkan kepada saya setelah membaca tulisan ini, tapi tunggu dulu. Mari kita coba refleksikan kembali kok bisa ya bahasa Bima jarang digunakan oleh anak-anak muda Bima?
Sebagai manusia yang lahir di Bima dengan segala macam dinamika kebudayaannya, saya merasa pertumbuhan dunia digital mengesampingkan dialog antara manusia dengan manusia yang terjadi adalah dialog antara manusia dengan gadget (Tiktok). Hampir seluruh anak muda Bima menggunakan aplikasi tiktok untuk sarana belajar atau sekedar tidak ingin kehilangan berita. Dari seringnya mendengarkan ocehan konten kreator di Tiktok berimbas pada pengalihan dialek berbahasa yang sungguh masif, hal ini bisa kita rasakan bagaimana tergerusnya nggahi Mbojo dalam dialek keseharian dou Mbojo.
Seiring masifnya teknologi digital nggahi Mbojo tergerus sedikit demi sedikit, anak muda Bima sekarang sangat fasih dalam berbahasa Indonesia, jika penggunaan bahasa Indonesia di ruang lingkup kelas itu sangat wajar dan diharuskan, namun apa jadinya jika Anda mendengar anak muda Bima yang nongkrong di pinggir pantai sambil menatap senja dan menghisap rokok dalam-dalam yang hampir seluruhnya anak muda disitu menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek ‘loe-gue’? Dialek ‘loe-gue’ bagi masyarakat daerah mengandung sifat keangkuhan, respons masyarakat daerah selalu mengandung satire bagi para penutur ‘loe-gue’.
Dari dulu kekakuan anak muda Bima dalam berbahasa Indonesia itu sangat kentara dan memiliki keunikan. Poin uniknya yaitu intonasi bicara dan dialek kedaerahan yang melekat. Penggunanaan imbuhan kata de, tu, ni, dan re. Penggunaan kata ini, muncul di awal, tengah dan akhir kalimat. Dialek ini sangat berciri khas dan beridentitas dou Mbojo, seharusnya penggunaan dialek ini perlu dipertahankan bukan sebaliknya dan menganggap sebagai suatu dosa dalam berkomunikasi di ruang publik, justru hal ini menambah keunikan dalam ragam kebudayaan yang luas, setidaknya melalui bahasa Indonesia yang berdialek dou Mbojo secara eksplisit menambah pengetahuan masyarakat luas tentang tata letak suatu wilayah dan keberagaman budaya suku bangsa di Indonesia bahwa di belahan sana ada daerah yang bernama Bima. Justru dengan keunikan itulah, kebanggaan itu dapat disemai.
Mungkin bagi sebagian orang yang pernah berkuliah di luar daerah akan merasa asing di daerah orang lain, dan bukan sebaliknya merasa asing di daerah sendiri, mungkin ketika itu saya salah tempat tongkrongan, bisa jadi. Bagi sebagian orang pun pasti pernah berada di situasi ketika di daerah perantauan melihat dan menyaksikan anak muda suku Jawa berdiskusi, berdialog dengan bahasa ibunya yaitu bahasa Jawa, ada beberapa anak muda Jawa yang berusaha menggunakan loe-gue tapi terkesan dipaksakan dan tidak cocok dengan lidah gudheg-nya. Keheranan saya berlanjut ketika dengan sangat sadar anak-anak muda daerah Timur, Nusa Tenggara Timur, Papua di perantauan, berbahasa dan berdialek dengan nuansa budaya keadaerahannya tanpa ada rasa malu dan kekahwatiran ditertawakan.
Hal ini berbanding terbalik dengan anak muda Bima yang bahkan di ruang-ruang orgnanisasi daerah di perantauan yang menggunakan kata ikatan, kelurga yang menunjukkan rasa persaudaraan, persatuan dan keakraban, namun dalam kesehariannya bahasa dalam organisasi daerah memiliki kecenderungan berbahasa Indonesia bahkan dalam suasana rapat keorganisasian, hal ini terasa aneh karena pada dasarnya berada di suatu daerah perantauan dan bertemu kembali dengan masyarakat yang sama dalam kesatuan bahasa dan budaya yang sama akan terasa nilai ikatan, persaudaraan dan keakraban yang dikhayalkan itu apabila menggunakan dialek nggahi Mbojo, toh arah pembicaraan dirapat organisasi itu tidak lepas dari nilai kesenian dan kebudayaan Bima. Organisasi daerah Bima di perantauan menjadi wadah untuk menggembleng mental kebudayaan setiap anak muda Bima, bagaimana anak muda Bima secara sadar dan riang gembira berbahasa Indonesia dengan dialek nggahi Mbojo tanpa khawatir ditertawakan, bercermin pada anak muda dari daerah lain yang berbangga hati menunjukkan kecirikhasan dalam berdialog dengan masyarakat luas.
Menurut hemat saya, anak muda Bima tidak memiliki mental budaya yang kuat, bukan kuat dalam artian membawa cerita kesakralan, gagah, dan beraninya masyarakat Bima atau tentang dahsyatnya “cila mboko”. Tapi tentang bagaimana anak muda Bima memiliki kesadaran penuh untuk berdialek nggahi Mbojo di perantauan dan di kandang sendiri, seyogyanya anak muda Bima mampu membangkitkan niat untuk tetap nggahi Mbojo di ruang-ruang romantisme di warung kopi, ruang-ruang diskusi organisasi daerah.
Nggahi Mbojo tidak seharusnya diletakkan pada ruang-ruang sempit rumah tangga atau urusan tua dan muda, melainkan dengan bangga dan gembira menuturkan nggahi Mbojo di setiap aktivitas sosial masyarakat, nggahi Mbojo merupakan suatu aset kebudayaan yang patut dibanggakan dan tidak perlu takut untuk dipertontonkan, dengan mental kebudayaan yang pede tentu secara sadar kita mempertahankan dengan keragaman kebudayaan.
Tentu hal ini juga menjadi perkejaan rumah tangga bagi para sejarahwan dan tokoh budayawan Bima untuk menggeliatkan kerja-kerja kebudayaan di ruang lingkup anak muda, membawa diskusi-diskusi itu ke warung-warung kopi agar kehidupan sejarah dan kebudayaan tetap hidup lestari di ruang-ruang sempit pojok tongkrongan kaum muda.[]
Ilustrasi: kompasiana
Founder Mbojo Itoe Boekoe dan Tenaga Pengajar di Pondok Pesantren Darul Hikmah Kota Bima