Laki-Laki dan Konstruksi Surga dalam Rumah Tangga

PERNAH suatu ketika dalam ketidaksengajaan membuka reels instagram dan membaca suatu quote yang cukup berkesan dan monumental pada alam pikiran saya yang mengatakan, “jika kamu menginginkan istrimu bagai bidadari, maka bangunkanlah untuknya surga dalam rumahmu, karena bidadari tidak hidup dalam suasana seperti neraka”.

Quote yang serupa, “Baiti Jannati” yang berarti ‘rumahku, surgaku’ adalah ungkapan yang sangat familiar dalam kehidupan kita, ungkapan ini memiliki makna tersendiri yang cukup mendalam yang mengarah pada kondisi rumah tangga yang harmonis, penuh kasih sayang, menyenangkan, dan damai. Tentu saja, keadaan rumah tangga yang demikian menjadi dambaan setiap pasangan suami dan istri.

Dari ungkapan tersebut, penulis memaknai bahwa rumah adalah miniatur surga dunia yang semestinya diupayakan. Sebab konsep ‘rumahku, surgaku’ tidak selalu mengarah pada kondisi rumah yang mewah ataupun megah. Akan tetapi, bagaimana rumah yang ditinggali dapat membawa keberkahan dan kebahagiaan hingga kemudian mengantarkan penghuninya pada kebaikan dunia akhirat.

Selain menjadi kepala rumah tangga, otak  atau kapten yang sebagai juru arah dalam membawa rumah tangganya berlayar, kaum lelaki semestinya memahami peran dan fungsinya sehingga mampu men-desaign rumah tangganya menjadi surga bagi anggota keluarganya, menjadi tempat paling bahagia di muka bumi ini, tempat yang penuh kenyamanan, kedamaian, ketentraman bahkan rumah menjadi tempat yang selalu dirindukan oleh anggota keluarganya.

Sehingga seorang laki-laki harus mampu menjawab dari semua pertanyaan terhadap desain dan visi keluarga yang harus dirumuskan dan dipikirkan sebagai seorang desaigner tentang konsep yang sematang-matangnya. Misalnya, keluarga seperti apa? Keluarga yang bagaimana? Mengapa demikian? Dan seterusnya haruslah dengan kesadaran terhadap peran strategis yang dipikulnya layaknya kapten atau pilot yang bertanggung jawab penuh terhadap penumpangnya.

Seperti keselamatan sampai tujuan, kenyamanan dalam perjalanan, dan keramahan dengan tutur kata yang sejuk dan sopan santun dengan penuh rasa penghormatan dan penghargaan terhadap sesama. Demikian pula suasana yang harus diupayakan oleh semua pihak dalam keluarga terutama laki-laki yang memegang kendali, perumus visi dan misi dan yang memiliki tanggung jawab dan peran yang sangat strategis.

Namun dalam konteks kekinian, didapati kompleksitas persoalan keluarga terutama dalam pendidikan terhadap anak (generasi) maupun istri sebagai wadah dalam pendidikan anak oleh bapak.

Sebelum menyinggung langkah strategis menjadi desaigner dalam mendekor dan mendesain keluarganya layaknya surga, baiknya penulis mengulas terlebih dahulu tentang seperti apa laki-laki (suami atau bapak) dalam rumah tangga, menjadi pelindung, pengayom, dan coach serta programer dalam perjalan dan pencapaian visi keluarganya sehingga ungkapan ‘rumahku, surgaku’ dirasakan oleh semua anggota keluarganya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat an-Nisa ayat 34,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)….

Sebagai umat Islam, berpanduan pada perjalanan dan contoh yang diberikan oleh Rasululullah saw adalah suatu keharusan. Rasulullah selalu memperlakukan istri, anak-anak, hingga cucu-cucunya dengan sangat baik. Dengan mempelajarinya dari sejarah atau sirah nabawiyah. Rasulullah saw merupakan sebaik-baiknya laki-laki dalam memperlakukan istrinya. Rasulullah saw pernah bersabda yang artinya, Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR Tirmidzi)

Namun dalam konteks kekinian, didapati kompleksitas persoalan keluarga terutama dalam pendidikan terhadap anak (generasi) maupun istri sebagai wadah dalam pendidikan anak oleh bapak.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a, telah mentuahkan jauh hari tentang pendidikan ini sebagaimana yang diutarakannya, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Maka menjadi konsultan, panutan serta role model bagi anak,  seorang laki-laki yang menjadi suami dan ayah harus memiliki sensitifitas dan kepekaan terhadap kebutuhan dan tantangan dalam membawa keluarganya menjadi keluarga yang samawa (sakinah, mawaddah, dan rahmah) yang menjadikan suasana dalam keluarganya bak surga.

Mendesain diri sebagai suami dan ayah layaknya Ibrahim

Semua umat Islam tentu sangat familiar dengan ayat yang sekaligus menjadi doa kesehariannya yang diajarkan Nabi Ibrahim,

وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa QS. al-Furqān [25]: 74)

Keluarga Nabi Ibrahim a.s menjadi salah satu profil keluarga ideal yang dikisahkan dalam al-Qur’an sehingga layak untuk diteladani. Dari ayat di atas mengajarkan kepada kaum laki-laki (suami/ayah), jika ingin diteladani oleh anak istrinya, maka haruslah menjaga ketaatan kepada-Nya, bertanggung jawab, berkepribadian mulia, cinta keluarga, dan berperilaku sesuai tuntunan agama.

Baca Juga  Membincang Tradisi "Belis" di Manggarai

Nabi Ibrahim a.s tampil sebagai pendidik yang penuh kasih sayang, demokratis dan bahkan menjadi role model bagi anak-anaknya. Sebagaimana dikisahkan dialog dengan putranya dalam al-Qur’an.

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS Ash-Shaffat [37]: 102).

Dalam percakapan tersebut, terlihat Nabi Ibrahim sangat menyayangi anaknya dan bersifat demokratis. Sifat kasih sayang ini tergambar dari pilihan kata yang digunakan dalam memanggil anak, ‘ya bunayya (wahai anakku).

Penggunaan kata ya bunayya merupakan panggilan kasih sayang. Lalu, Nabi Ibrahim meminta pendapat kepada sang anak ketika diperintah untuk menyembelihnya. Tampak jiwa demokratis Nabi Ibrahim a.s sebelumnya telah menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada Ismail. Hal itu tidak terlepas dari doa, usaha, dan keteladanan yang dilakukannya.

Ayah dan Strategi Pendidikan Keluarga

Menjadikan rumah sebagai surga tentu menjadi visi seorang kepala rumah tangga. Surga dalam artian penuh kenyamanan dan ketentraman, bukan tersedianya segala kenikmatan sebagaimana surga yang diyakini oleh umat manusia.

Jikapun demikian, berbicara tentang kenikmatan, bukankah sebagai seorang yang beriman, kenikmatan yang hakiki adalah kemantaban iman dan ketaatan di dalamnya, sebagaimana kenyamanan, ketentraman dan kenikmatan akan kemantaban iman keluarga Ibrahim? Maka dalam mencapai standar surga dunia dalam rumah tersebut tentulah dengan sinergitas semua pihak dengan dominasi seoarang ayah sebagai desaigner yang merancang visi, misi dan strategi pendidikan dalam keluarganya.

Maka dalam keluarga pun demikian, seorang kepala keluarga bersama struktur dalam organisasi keluarganya, istri, anak dan atau anggota lain harus mampu mengekstrak visi misi dan mimpi keluarga menjadi GBHK (Garis Besar Haluan Keluarga) sehingga keluarga tersebut terarah, tersistematis dan memiliki roadmap dalam menjalankan kehidupan masing-masing anggota keluarga.

Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa pendidikan merupakan langkah survive dari segala persoalan, menjadi problem solving dari permasalahan yang ada. Dalam keluarga, pendidikan tidak hanya tentang anak bisa berbicara, namun bagaimana dalam ucapan anak tersebut terlontar kata-kata yang penuh makna, kesopanan, kesejukan.

Pendidikan juga bukan berarti tentang anak yang bisa merangkak, berjalan, dan berlari namun bagaimana agar dalam perjalanan yang ditempuh oleh anak tersebut yang dalam pijakannya mendatangkan keberkahan dan manfaat bagi semesta alam.

Oleh karena itu, dalam pendidikan, ada visi yang dirumusakan, ada misi-misi yang dijalankan dan ada mimpi-mimpi yang harus diwujudkan yang tentu semuanya semata-mata menciptakan rumah sebagai surga bagi anggota keluarga.

Jika dalam suatu negara memiliki GBHN (Garis Besar Haluan Negara) maka dalam keluarga pun demikian, seorang kepala keluarga bersama struktur dalam organisasi keluarganya, istri, anak, dan atau anggota lain harus mampu mengekstraksi visi, misi dan mimpi keluarga menjadi GBHK (Garis Besar Haluan Keluarga) sehingga keluarga tersebut terarah, tersistematis, dan memiliki roadmap dalam menjalankan kehidupan masing-masing anggota keluarga.

Tentang strategi pendidikan, mungkin penulis tidak bisa mendeskripsikan secara detail dan terperinci, namun akan penulis singgung secara implisit pada bagian selanjutnya.

Rumah dan Visi “Kuntum Khaira Ummah”

Seorang ayah harus mampu menjadi mentor dan pengkader bagi anak istrinya sebagaimana Ibrahim a.s, Muhammad saw, ataupun Luqmanul Hakim r.a dalam mengkader anak istrinya. Sehingga dari mereka akan terlahir pioneer-pioneer yang nantinya akan menciptapakan kedamaian dan peradaban yang tidak hanya bagi keluarganya namun bagi umat manusia seluruhnya dari generasi ke generasi.

Rumah adalah tempat yang paling efektif, dan ayah semestinya mampu melakukan pengkaderan dan penjabaran akan GBHK yang mencakup visi, misi dan mimpi keluarganya.

Pengkaderan tidak selamanya tentang organisasi perlawanan ataupun pergerakan. Jikapun kita sepakat mengartikan demikian, maka pengkaderan dalam rumah adalah tentang perlawanan terhadap hal negatif yang saban hari semakin pesat seiring dengan kemajuan zaman dan  teknologi. Pun halnya dengan pergerakan, maka pergerakan di sini berarti bergerak menuju dan menjadi ‘khaira ummah’. Semuanya sudah lengkap diterangkan Allas SWT dalam al-Qur’an.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

Baca Juga  Wadu Pa'a: Abadikan Potensi Abadi yang Diabaikan

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran [3]: 110)

Dari makna ayat di atas, jelas mengisyaratkan tentang usaha, upaya, dan langkah perjuangan yang salah satunya ditempuh melalui pengkaderan. Sebab, diksi yang dipakai Allah SWT adalah ‘kuntum khaira ummah’ yang bermakna, “kalian telah dijadikan umat yang terbaik, bukan dengan diksi. ‘antum khaira ummah’.

Dengan keterbatasan ilmu, penulis memaknai dari diksi  kuntum yang bermakna ‘kalian telah dijadikan’ sebagai spirit perjuangan, tanggung jawab yang harus dimanifestasikan sesuai dengan tuntunan ayat tersebut.

Dalam pengkaderan di rumah, maka seyognya ayah menciptakan sinergitas antar sesama, baik dengan istri, anak maupun dengan yang lainnya. Akan tetapi, seorang ayah harus mampu merumuskan dan memikirkan bagaimana GBHK dan atau roadmap organisasi yang dipimpinnya yaitu keluarga. Apakah istri boleh membantu? Tentu boleh! Namun tetap pertanggung jawaban berada di pihak laki-laki.

Kebanyakan seorang lelaki memahami tugasnya dalam rumah tangga adalah hanya sebagai pencari nafkah. Sehingga sebagian besar urusan dalam keluarganya diserahkan kepada istrinya. Kebanyakan kaum lelaki gagap memahami tanggung jawab dengan memberikan kewenangan kepada istrinya. Difahaminya bahwa dua kalimat itu sama, padahal tanggung jawab tidak bisa dilimpahklan, hanya saja yang diberikan adalah pelimpahan wewenang saja.

Bagaimanapun keluarganya, yang dimintai Allah SWT pertanggungjawaban adalah laki-laki sebagai seorang ayah dan suami. Sama halnya presiden, ketika menteri gagal dan melakukan kesalahan, maka yang dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat adalah presiden itu sendiri, bukan menteri. Dalam ungkapan kekinian, ‘delegating of authority, not delegating of resnponsibility’.

Sesibuk apapun seorang lelaki di luar rumah, ia harus mampu menjalankan tanggung jawabnya di rumah yakni mengontrol pendidikan anak, mengawasi pergaulan istri dan anak sampai memastikan kenyamanan, kebahagiaan serta keamanan rumah tangganya.

Sebenarnya seorang lelaki bisa mengatur, atau mendesain roda tanggung jawabnya dalam kehidupan keluarganya, seperti:

Pertama, ayah directing, bunda managing. Layaknya pada perusahaan, ayah hanya pemberi arahan, menyusun GBHK yang kemudian dieksekusi oleh sang bunda. Tentu ini adalah langkah dan strategi untuk selalu memastikan jalannya roda pengkaderan atau pendidikan dalam rumah bila seorang ayah sibuk dengan urusan pekerjaannya demi keberlangsungan keluarganya.

Kedua, ayah kepala sekolah dan bunda adalah guru. Sama halnya dengan yang dijelaskan di atas. Ayah merumuskan konsep, memantau atau berdiplomasi serta mencari informasi tentang tata cara pendidikan dan pengkaderan, sehingga nanti seorang istri atau ibu yang menjalankan arahan atau terjun langsung.

Karena teknik mendidik serta interaksi seorang ibu lebih bisa diterima anak. Satu keharusan bagi ayah sebagai kepala sekolah kepada ibu sebagai dewan guru adalah dengan mem-briefing serta memfasilitasi kebutuhan dalam menunjang pendidikan tersebut.

Ketiga, ayah menjadi konsultan bunda. Suatu ucapan terima kasih seorang lelaki kepada pasangannya adalah dengan selalu bersedia ada, baik menjadi mitra, sahabat, tempat curhat dan mengeluarkan keluh kesah, tempat bersandar ketika penat dengan mengurus segala problem rumah dan anak yang dibebankan kepadanya.

Seorang ayah harus mampu menjadi penasihat, penghibur, dan penyemangat serta mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi seorang bunda baik dalam mengurus rumah maupun mengurus anak-anak.

Setiap masalah dan cobaan pasti akan menerpa setiap keluarga. Pasti! Itu adalah ujian dan sunnatullah. Namun setiap insan terutama lelaki harus mampu berdiri, mempertahankan serta menjadi desaigner rumah tangganya, yaitu seperti surga yang penuh kenyamanan, ketenangan, kebahagiaan, yang selalu menghadirkan kerinduan serta perasaan yang positif lainnya.

Sebagaimana keluarga Ibrahim yang harus dijadikan imam dalam membangun keluarga. Tak terlepas dari itu, pendidikan dan pengkaderan juga adalah langkah yang harus ditempuh untuk mendidik dan menciptakan suasana surga dalam rumah.

Sehingga perumusan visi, misi, dan strateginya adalah tanggung jawab semua pihak yang pada konteks ini lebih dibebankan kepada seorang lelaki yang menjadi suami dan ayah (kepala keluarga) yang tidak hanya tentang kepuasan perut saja tapi kepuasan yang dirasakan dalam hati. Karena kebahagiaan itu adanya di hati, bukan di perut.[]



Ilustrasi: ayosemarang

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *