SEBAGAI tradisi spiritual Islam (Sufism), Fitua memilik nilai-nilai ajaran filosofis sebagai pegangan hidup bagi masyarakat Bima (dou Mbojo) yang tertuang dalam beberapa teks, baik yang tertulis maupun dalam bentuk discourse (Malingi dan Sudirman: 2022). Sehingga tugas utama teori interpretasi (Wahid, 2015: vi) yang digunakan dalam pembacaan ini adalah untuk memahami teks dan wacana dalam tradisi spiritual Islam Fitua mengenai model dan konsep relasi gender, atau dengan ungkapan lain, memahami diskursus filosofis Fitua sebagai teks yang di dalamnya mengandungi model relasi gender. Sekilas tentang interpretasi menurut Paul Ricoeur: the work of thought which consists in deciphering the hidden meaning in the apparent meaning, in unfolding the levels of meaning implied in literal meaning…” [Proses berpikir yang teratur dalam menemukan makna yang tersembunyi pada makna yang muncul dalam lipatan taraf yang berada pada makna literal], (Ricoeur, 1974: 13).
Mengingat masyarakat Bima hidup dan berkembang melalui tradisi lisan yang cukup kuat, maka teks tradisi spiritual Islam Fitua Bima yang akan diinterpretasikan bukan hanya teks yang telah dibekukan atau ditulis oleh salah seorang pengarang, melainkan termasuk juga wacana yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat Bima sebagai living teks (Ware, 2014: 14) atau teks/wacana yang hidup. Ricoeur menegaskan bahwa, “a text is any discourse fixed by writing” atau “teks adalah sebagai diskursus apa pun yang dibakukan oleh tulisan” (Ricoeur, 2016: 107). Sementara di bukunya yang lain Ricoeur juga menyatakan, “writing is the full manifestation of language” [teks atau tulisan adalah manifestasi sepenuhnya dari wacana] (Ricoeur, 1976: 25-26), sehingga teks adalah sebuah karya dari diskursus (Wahid, 2015: 76). Berdasarkan definisi tersebut, maka teks dan wacana dalam tulisan ini tidak dibedakan sama sekali.
Masalah yang harus segera dipecahkan oleh pendekatan interpretasi adalah bahwa pada banyak teks (termasuk juga wacana) tradisi spiritual Bima, umumnya tampil secara filosofis; metafor, peribahasa, kode dan simbol yang samar-samar termasuk juga secara khusus teks-teks yang berkenaan mengenai relasi gender. Teks-teks sebagaimana yang dimaksud hanya dipamahami oleh kalangan tertentu saja, dan bahkan kerap salah diartikan sehingga menyebabkan teks-teks tersebut ditempatkan secara tidak tepat, (Wardatun dan Wahid: 2021). Beberapa teks-teks yang dimaksud yang menggambarkan kehidupan relasi gender di antaranya seperti “angi” (saling atau kesalingan), “dou di uma” (orang yang berada di rumah), “temba-boru” (sumur-timba), “inaku dana amaku langi” (ibu tanah bapakku langit), “kasama weki” (menyatukan diri) dan sebagainya yang masih dimaknai secara kurang tepat dan bias gender, (Wardatun dan Wahid, 2020: 4, 6, 13).
Penulis akan menunjukkan bagaimana cara kerja teori interpretasi dalam menjelaskan beberapa sample contoh teks tersebut. Menurut perspektif retorika tradisional, teks atau wacana metafora seperti “ina mpu’u weki marimpa (ibu sebagai pohon kehidupan) inaku dana amaku langi (ibu bumi bapak langit), Makakamba-Makakimbi (Tuhan yang Bercahaya sekaligus Menggetarkan) dan semacamnya dapat digolongkan sebagai, “as a trope” (sebuah kiasan) sekaligus gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam penggunaan kata yang oleh Ricoeur menyebutnya sebagai “proses denominasi” (procces of denomination); atau dengan kata lain metafora yang memiliki “permainan bahasa” (language games) yang menata penamaan sesuatu, (Recoeur, 1976: 47).
Dalam karya Aristoteles Poetics sebagaimana yang dikutip oleh Paul Recoeur bahwa sebuah metafora adalah “the application to a thing of a name that belongs to something else” yakni pengaplikasian sesuatu dari sebuah nama yang menjadi milik sesuatu yang lain (Recoeur, 1976: 47) atau menurut Cicero dan Quintilian sebagaimana yang juga dikutipnya, yakni sebuah “komparasi yang menjembatani, (Recoeur, 2014: 97). Sehingga Recoeur menyebut metafora adalah hasil dari ketegangan antara dua terma dalam sebuah ungkapan metaforis mengenai sesuatu yang baru tentang realitas, (Recoeur, 2014: 97, 101, 106).
Dalam teks “inaku dana amaku langi, bareka laillaha illalah bareka muhammadarasulullah” misalnya, terlihat aspek metafor dengan menggunakan istilah-istilah figuratif kosmologis, seperti langit-bumi sebagai simbol akan realitas. Penyimbolan kosmos (langit-bumi) di kalangan masyarakat Bima (suku Mbojo) menegaskan akan sesuatu yang sacred (suci), atau dalam ilmu hermeneutik disebut dengan hierophany yang menyebabkan simbol selalu memiliki makna ganda; yakni dimensi linguistik sekaligus non-linguistik, (Recoeur, 2014: 108; Wahid, 2015: vii). Dalam pemahaman spiritual Islam Fitua Bima, elemen kosmos (langit-bumi) merupakan manifestasi dari keberadaan Tuhan yang lahir dari pengalaman antropokosmik (manusia sebagai bagian dari alam) sehingga langit-bumi disimbolkan sebagai sosok ayah (laki-laki) dan ibu (perempuan).
Paul Recoeur juga menyinggung hal ini, khususnya pada bab Metafor dan Symbol, Recoeur menjelaskan: “…dari pelbagai ungkapkan pengalaman puitis… bahwa di alam semesta yang sakral, kapasitas untuk berbicara didasarkan pada kapasitas kosmos untuk menandakan. Oleh karena itu, logika makna berasal dari struktur alam semesta yang suci.. Hukumnya adalah hukum korespondensi, korespondensi antara penciptaan dalam illo tempore dan tatanan penampakan alam dan aktivitas manusia saat ini. Inilah sebabnya, misalnya, sebuah kuil selalu mengikuti model langit tertentu…. dan mengapa Hierogami bumi dan langit berhubungan dengan penyatuan antara laki-laki dan perempuan sebagai korespondensi antara makrokosmos dan mikrokosmos. Demikian pula ada korespondensi antara tanah yang bisa digarap dan organ kewanitaan, antara kesuburan bumi dan rahim ibu, antara matahari dan mata kita, air mani dan benih, penguburan dan penaburan biji-bijian, kelahiran dan kembalinya musim semi…” (Recoeur, 1976: 62).
Merujuk paradigma hermeneutik Recoeur, maka jelas bahwa teks “inaku dana amaku langi” memiliki makna secara literlik sekaligus makna secara figuratif sebagaimana teks-teks puitis semacamnya. Dalam teori metaphor (the theory Metaphor), Monroe Beardsley sebagaimana yang dikutip oleh Ricoeur bahwa ungkapan-ungkapan metafor sebagaimana yang disebutkan adalah “a poem in miniature” atau “sebuah puisi miniatur” (Beardsley, 1958: 134). Bila merujuk definisi ini, dengan begitu ungkap Ricoeur bahwa antara makna literlik dan makna figuratif dalam sebuah metafor adalah seperti sebuah “versi penjembantan” dalam sebuah kalimat tunggal dari harmonisasi signifikansi kompleks yang memberikan karakter pada karya literer sebagai sebuah keutuhan, (Recoeur, 1976: 46). Itulah mengapa terjadi penggabungan antara teks yang bernuasa lokal (inaku dana amaku langi) dengan teks yang bernuansa global (bareka laillaha illalah bareka muhammadarasulullah), atau antara teks dualitas Makakamba–Makakimbi yang di mana dalam teks-teks tersebut merupakan suatu keutuhan harmonis yang dapat ditarik maknanya.
Dari uraian ini penulis menangkap satu kesimpulan bahwa berbagai mantera-mantara metaphor sebagaimana yang disebutkan atas, tidak hanya menguraikan tentang makna, namun juga menujukkan satu peristiwa dialektika peradaban lokal dan global (Hendrawangsyah. 2023). Meski tulisan singkat ini tidak dalam usaha untuk mengungkapkan peristiwa melainkan mengungkapkan akan keseluruhan makna yang terkandung, namun makna peristiwa yang ditangkap berbagai wacana mantera metafora dalam tradisi spiritual Islam Bima tersebut secara lansung adalah makna itu sendiri. Ricoeur menyatakan, “it is not the event insofar as it is transient that we want to understand, but its meaning — the intertwining of noun and verb” [bukan pristiwa yang hendak dipahami namun makna]. Sebab menurutnya, “if all discourse actualized as an event, all discourse is understood as meaning” [bila kesemua wacana diaktualisasikan sebagai sebua peristiwa, maka kesemua wacana dapat dipahami sebagai makna] (Recoeur, 1976: 12). Dengan demikian, teks pada mantra metafora inaku dana amaku langi, ina mpu’u weki marimpa, Makakamba-Makakimbi dan seterusnya telah mendapati gambarannya, baik secara tekstual maupun kontekstual []
Bersambung….
Rujukan
- Ricoeur, Paul. (1974). The Conflict of Interpretation: Essays in Hermenutics. Ed. Don Ihde. Northwestern University Press.
- __________, (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. The Texas Christian University Press.
- __________, (2021). Hermeneutika dan Ilmu-Ilmu Humaniora. terj. Yudi Santoso, Yogyakarta: IRCiSoD.
- __________, (2014). Teori Interpretasi: Membela Makna dalam Anatomi Teks. Terj. Musnur Hery. Yogyakarta: IRCiSoD.
- Wahid, Masykur, (2015). Teori Interpretasi Paul Recoeur. Yogyakarta: LkiS.
- Ware, Rudolph, T, (2014). The Walking Qur’an: Islamic Education, Embodied Knowledge, and History in West Africa. Amerika: The University of North Carolina Press
- Wardatun, Atun, dkk., (2022). Heterarki Masyarakat Muslim Bima (Dan) Indonesia: Dari Quasi Hegemoni ke Kolektif Agensi. UIN MATARAM.
- __________, (2021). Perempuan dan Kearifan Lokal dalam Bina Damai: Pengalaman La Rimpu (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan) di Bima, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Studi Gender: IAIN Agama Islam Negeri Kudus, 14(2).
- __________, (2019). Kompromi dan Interseksionalitas Gender dalam Pemberian Mahar: Tradisi Ampa Coi Ndai Pada Suku Mbojo. Mataram: Ulumuna Jurnal.
- __________, (2016). Ampa Co’i Ndai: Local Understanding of Kafa’a in Marriage Among Eastern Indonesia Muslims. Al-Jami’ah: Jurnal Studi Islam, 54(2), 311-336.
- Beardsley, Monroe, (1958). Aesthetics. New York: Harcourt, Brace and World.
- Hendrawangsyah, dkk. (2023). The Comparison of Concepts between Futuwwah in The Discipline of Sufism with Fitua in Bima Sufism East Indonesia. SANGKéP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan, 5(2), 112–125. https://doi.org/10.20414/sangkep.v5i2.6463
- Malingi, Alan, (2022). Petuah Tanah Bima: Memutar Kembali Memori Saat Petuah Membumi di Tanah BIma. Bima: el-Sufi Publishing.
- Makka, Sudirman, H. (2022). Ndi’ Osu: Untuk Bekal. Yogyakarta: Zahir Publishing.
Mahasiswa Studi Agama-agama, Eksponen Kalikuma Mataram: Penyuka Musik dan Buku