ISLAM dibangun di atas tiga pilar yakni pilar iman, pilar Islam dan pilar ihsan. Ketiga pilar ini menjadi inti dari ajaran Islam. Dasar dari ketiga pilar ini adalah berdasarkan hadis ketika Jibril mendatangi Nabi dan menanyakan ketiga pilar itu, dan ketiganya dijawab oleh oleh Nabi.
Dan itulah yang menjadi dasar oleh para ulama dalam menetapkan rukun iman, rukun Islam dan rukun ihsan. Penamaan rukun iman, rukun Islam itu bukanlah penamaan dari Nabi tetapi merupakan hasil kreasi dari para ulama, dalam mencoba merumuskan atau mempermudah dalam memahami agama. Nabi hanya memberikan garis besar ajaran Islam melalui pertanyaan pertanyaan dari Jibril.
Ajaran segi tiga Islam ini yang merupakan hasil elaborasi antara Jibril dan Nabi, itulah yang menjadi cikal bakal dari ajaran Islam. Para sahabat, tabi’in dan para ulama baik salaf maupun khalaf itulah yang melakukan pengembangan terhadap ajaran Islam. Penafsiran penafsiran terhadap ketiga trilogi ajaran Islam itu akan memperkaya khazanah peradaban Islam. Karya karya ulama dulu maupun karya karya ulama sekarang itu tidak terlepas dari ketiga ajaran trilogi ajaran Islam.
Ada kitab-kitab yang membahas tentang tauhid atau teologi Islam itu masuk dalam ranah iman, ada kitab kitab mengupas tentang hukum, tafsir, sejarah peradaban Islam itu masuk dalam ranah Islam dan yang terkait dengan akhlak itu masuk dalam ranah ihsan.
Dalam menginstimbatkan suatu produk hukum pendekatan yang harus dipakai bukanlah pendekatan qauli tetapi pendekatan manhaji. Antara nas dan waqiiyyun atau realitas masyarakat hendaklah didialogkan sehingga menghasilkan produk hukum yang dinamis atau illat suatu produk hukum yang dikedepankan.
Penafsiran Islam atau syariat akan melahirkan produk ijtihad, seperti yang telah dilakukan imam mazhab itu adalah hasil olah ijtihad yang di lakukan terhadap kedua ajaran pokok ajaran Islam yakni Qur’an dan hadis. Imam mazhab ini telah melakukan interpretasi interpretasi terhadap nas sehingga melahirkan produk intelektual yakni mazhab, mazhab itu berasal dari kata “dzahaba” artinya pergi, dari kata itu muncul kata “mazhab” yang artinya tempat pergi.
Dari situlah bisa diartikan tempat berasal atau produk, sehingga mazhab Syafi’i adalah produk pemikiran Imam Syafi’i, mazhab hanafi tempat atau produk pemikiran Imam Abu Hanifah dan seterusnya. Jadi perbedaan mazhab adalah suatu keniscayaan dalam kegiatan keilmuan perbedaan latar belakang dalam menafsirkan suatu teks.
Dalam intern mazhab itu bisa terjadi perubahan penafsiran karena perbedaan tempat atau kondisi ketika akan menafsirkan suatu teks. Imam Syafi’i berubah ijtihadnya karena perbedaan tempat, pendapatnya sewaktu berada di Baghdad berbeda ketika berada di Mesir, yang terkenal dengan istilah dengan qaul qadim dengan qaul jadid, pendapat lama dan pendapat yang baru. Di dalam istilah fikih disebutkan “Alhukmu yaduuru ma’a illatihi “, bahwa hukum itu tergantung dari illat-nya. Perubahan suatu produk hukum itu bisa berubah karena perubahan illat dari hukum tersebut. Sehingga produk itu dinamis, mengalami perkembangan, tidak statis.
Dalam menginstimbatkan suatu produk hukum pendekatan yang harus dipakai bukanlah pendekatan qauli tetapi pendekatan manhaji. Antara nas dan waqiiyyun atau realitas masyarakat hendaklah didialogkan sehingga menghasilkan produk hukum yang dinamis atau illat suatu produk hukum yang dikedepankan. Menarik apa yang disampaikan oleh Wasekjen MUI pusat bidang fatwa, KH. Shalahuddin Al Ayubi, bahwa ada pendapat bahwa kepiting itu diharamkan karena hidup di dua tempat yakni di laut dan di darat, illat-nya adalah karena hidup di dua tampat.
Ada penemuan illat baru tentang kepiting, bahwa kepiting itu cuma dapat hidup di air saja, karena kepiting punya penyimpanan air dalam dirinya sebagai bekal hidup di darat, dan kepiting bisa mati kalau bekal air yang tersimpan sudah habis. Jadi illat-nya berubah, sehingga kepiting dihalalkan untuk dimakan. Jadi perubahan illat adalah berpengaruh terhadap perubahan suatu produk hukum, begitupun perubahan kondisi suatu daerah juga berpengaruh terhadap suatu produk hukum, seperti yang dialami oleh Imam Syafi’i ketika berada di Mesir yang memperbaharui pendapatnya ketika masih berada di Baghdad.
Inilah yang dimaksud dengan pendekatan manhaji, atau dari qauli ke manhaji. Atau dari pendekatan tekstual ke kontekstual. Itulah yang harus dimiliki oleh seorang ulama dalam menciptakan suatu produk hukum atau fatwa. Hukum Islam itu bukanlah hukum yang kaku. Kemajuannya ilmu dan teknologi sekarang ini adalah tantangan yang sangat besar bagi para ulama untuk mencoba menjawab berbagai permasalahan dengan menggunakan metode manhaji dalam meramu jawaban jawaban dari berbagai permasalahan yang muncul. Jika kita masih menggunakan metode klasik yang kaku, hukum Islam ini akan kaku dan tergilas oleh perkembangan zaman.
Oleh sebab itu peran ulama ke depan sebagai tempat umat untuk mengadukan berbagai permasalahan keumatan semakin dibutuhkan, ulama haruslah tampil di garda terdepan dalam menjawab berbagai persoalan keumatan yang semakin rumit. Seorang ulama harus punya kapasitas intelektual yang mumpuni, kapasitas keilmuan dan integritas harus seiring dan sejalan. Keilmuan dan integritas dua hal yang harus menyatu dalam diri seorang ulama yang akan memberikan pencerahan terhadap umat.
Dengan demikianlah seorang ulama dengan mudah melakukan perannya untuk melindungi umat dari berbagai permasalahan permasalahan akidah yang menyimpang atau pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Dapat menjaga umat untuk tidak mengonsumsi hal hal yang diharamkan oleh agama, dapat menjaga umat dari proses dalam bermuamalah yang lebih baik dan yang lebih penting adalah menjaga tauhidul umah. Itulah peran peran bagi seorang ulama dalam ikut memberikan kontribusi yang berharga terhadap terhadap kemajuan suatu peradaban umat.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat