Dahlan sebagai satu dari sekian punggawa penegak jalan lain untuk keberpihakan pada isu-isu marginal barang kali alpa diteladani dengan ajeg dan welas asih.
***
Jalan Dahlan,
Tak bisa dipungkiri bahwa ruh dan ide awal Muhammadiyah adalah bagaimana menjadi benteng untuk mempertahankan umat dari misi dan zending zaman Belanda. Kita semua paham bahwa wajah lain negeri ini pasca-Islamisasi adalah gejolak baru “alih ruang” dengan segala ikutannya. Kemiskinan, sialnya selalu menjadi ruang-ruang baru jika menelisik sebagian memilih “keluar dari akidah Islamiyah” pada zaman itu. Urusan-urusan takhayul, khurafat dan bid’ah hanya pelengkap barang kali.
Muhammadiyah awal adalah gerakan Islam yang menelisik bahwa isu-isu keberpihakan kepada umat ialah varian isu paling penting dari gerakan organisasi ini yang di tahun 2024 adalah satu dari sekian organisasi (Islam) terkaya di Nusantara ini.
Menjadi Muhammadiyah dengan ajeg dan asketik barang kali adalah sebuah enigma akhir bahwa gerakan ini adalah sebuah gerakan yang pijakannya itu-itu saja. Keberpihakan terhadap kalangan marginal. Kaum “mustadh’afin” dengan segala urusannya adalah penjewantahan surat al-Maun pada segala lelaku manusia-manusianya.
Muhammad, adalah ruh-Illah yang pada periode awalnya hanyalah diikuti oleh kaum marginal, para budak, kaum papa dan segala orang-orang miskin itu. Ruh inilah yang menjadi pijakan bagaimana asas Muhammadiyah ini terbentuk hingga singgungan zamannya adalah segala urusan kemanusiaan dan umat.
Bagaimana mendaku “Muhammadiyah” jika di kepalamu hanyalah ujud lain kabilah-kabilah Makkah jahiliyah dengan segala amok, perangai buruk penuh dendam itu?
***
Tapi lazimnya segala urusan-urusan sebuah rumah penuh dengan penghuninya, organisasi ini tak ayal juga dipenuhi tidak semua orang-orang yang paham akan ruh dan entitas cum cara hidupnya.
Pseudo-Muhammadiyah sialnya juga menjadi varian lain. Tengoklah bagaimana klausal-klausal kekinian rumah ini dipenuhi oleh mereka yang gagal paham akan entah sejarah, pijakan, cara pandang serta arah ikutannya di masa depan.
Bagaimana menjelaskan sebuah terminologi bahwa asas semua tukang klaim ini sejatinya satu dan sama?
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah jangan cari hidup di Muhammadiyah.”
Adagium ini adalah adagium wajib bagi siapa pun di luar sana yang entah bersinggungan secara personal, lahir dan mati dengan nilai-nilai ini atau mendarah daging dengan segala tata nilai yang dimaksud.
Maka adalah miris jika dikemudian hari kita menemukan segala mereka yang mendaku “Mohammadnism” ini gagal paham akan segala urusan lain. Entah menjadi kriminil, nir-etik dan lebih-lebih segala ruh kesehariannya gagal akan menjadi pribadi santun, relasi gagal, pegiat dehumanisasi dan megalomanik dengan varian-varian lainnya itu.
“Engkau bertanya bagaimana perasaanmu melihat kaum “mustadh’afin” tapi tidak jua bergidik moralmu adalah gagal segagal-gagalnya menjadi pengikut Muhammad.”
Persyarikatan kita bukanlah sekelompok manusia yang entah karena jabatan, kekayaan pribadi dan ikutannya menjadikan diri adalah pribadi sombong dan alpa akan nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi dan marginal itu sendiri.
Tapi bisa apa?
Tidak semua orang layak menjadi “pengikut Muhammad” dengan varian terminologi ini. Dipikir-pikir toh persyarikatan kita bukanlah bentuk lain “Feodalisme Relijius” dengan banyak pola dan sarat kepentingan itu. Apalah hanya kebetulan entah bapak atau ibu atau kakek-kakekmu mengabdikan hidup dan hartanya dalam nama umat dan persyarikatan. Sebuah proses adalah sebuah proses yang mana ia juga memerlukan penempaaan, dedikasi dan relasi-relasi lain.
Atau kita semua hanyalah “Muhammadiyah-Muhammadiyah Palsu zaman ini?”
Saudara, se-Muhammadiyah apa?[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Kader Muhammadiyah NTB