Bahasa, Keakraban, dan Kepentingan Ekonomi

INI tentang sedikit rasa ingin tahu (curiosity) dan sekedar jawabannya tentang sebuah budaya, tepatnya komunikasi antarbudaya yang bernilai praktis. Tentang bagaimana budaya dipertukarkan, atau menjadi alat tukar atau nilai tambah. Lalu bagaimana hal itu mendatangkan keuntungan, baik sosial-budaya maupun ekonomi.

Dalam perjalanan saya ke Mekkah dan Madinah, ada satu hal yang sangat menarik perhatian saya. Banyak orang Mekkah dan Madinah sudah pandai berbahasa Indonesia. Sebelumnya saya pernah mendengar dari cerita-cerita orang tentang hal ini, namun saya tidak menyangka memang sepandai itu. Bahkan sebelum kami sampai di kota Sang Nabi, ketika turun di bandar udara Jeddah kami disambut petugas-petugas Arab yang berbahasa Indonesia.

Di Madinah, saya penasaran dan terkejut sejak hari pertama mengnjakkan kaki di sana. Malamnya kami berjalan sekitar hotel untuk menghirup udara segar dan melihat-lihat denyut kehidupan Madinah pada malam hari. Saya memasuki salah satu toko yang menjual jubah dan menanyai harga dengan bahasa Arab terbata-bata. Alangkah terkejutnya saya ketika si pemilik toko membalas dengan bahasa Indonesia sempurna meski dengan aksen Arab yang kental.

Ada dua kemungkinan, satu, ia orang Arab tulen yang memang pandai berbahasa Indonesia. Atau dua, ia orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Arab sehingga aksennya pun menjadi kearab-araban. Namun melihat hidung mancungnya dan mata tajamnya yang berwarna coklat almond saya rasa yang pertamalah yang benar.

Mungkin itulah sebab mengapa di dalam al-Quran indera pendengaran (al-sam’a) selalu disebut lebih dahulu dari yang lain. Karena pada dasarnya manusia pertama mengenal dunia melalui pendengaran.

“Indonesia?” pemilik toko menanyai saya. “Silakan, silakan dipilih, pilih”. Lalu ia membawa kami berkeliling toko dan merekomendasikan beli jubah ini itu, juga dengan bahasa Indonesia sempurna. Lebih lagi dia langsung mengetahui negara asal saya. Padahal masih ada kemungkinan saya berkewarganegaraan Malaysia atau bahkan Filipina.

Baca Juga  Potensi Filantropi Tenaga di Indonesia

Mungkin pengalamannya sudah sangat jauh hingga dia bahkan bisa membedakan antara orang Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Saya sendiri masih kesulitan membedakan antara orang Cina, Jepang, dan Korea.

“Bapak sudah pernah ke Indonesia?” saya menanyainya. Saya pikir tidak mungkin ia dapat sepandai itu berbahasa Indonesia jika tidak pernah tinggal di Indonesia. “Tidak, saya bisa bahasa Indonesia karena mendengarkan orang Indonesia berbicara,” ia menjawab. Ternganga saya dibuatnya. Sulit membayangkan dapat mempelajari sebuah bahasa hanya dengan mendengar.

Namun bukankah begitu cara manusia dapat berbahasa. Sejak dilahirkan, manusia selalu mendengar orang-orang di sekitar mereka bebricara dan berinteraksi. Otak kecil bayi lalu merangkai apa yang didengarnya menjadi pola pola yang beraturan. Lalu tanpa ada yang mengajarinya tiba-tiba bayi tersebut dapat berbicara. Mungkin itulah sebab mengapa di dalam al-Quran indera pendengaran (al-sam’a) selalu disebut lebih dahulu dari yang lain. Karena pada dasarnya manusia pertama mengenal dunia melalui pendengaran.

Usai membeli jubah dan beberapa helai surban di toko tersebut saya mengucapkan salam perpisahan dengan si pemilik toko. Saya kembali berjalan-jalan sekitar hotel menghirup udara sejuk Madinah dan melihat-lihat toko lainnya. Ada satu persamaan yang dimiliki oleh semua toko, yaitu pemilik toko pasti bisa berbahasa Indonesia.

Saya rasa kualifikasi untuk menjadi pedagang di Madinah adalah pandai berbahasa Indonesia. Sebab jika pandai berbahasa Indonesia maka larislah dagangannya. Bagaimana tidak? Orang Indonesia sangat senang terhadap apapun yang berbau Indonesia di luar negeri. Mungkin dengan itu mereka merasa menjadi akrab dan nyaman berada lama-lama di dalam toko. Tanpa sadar sebenarnya mereka sedang menjadi “mangsa”.  

Lihat saja di media sosial, ketika nama ‘Indonesia’ disebut maka ramailah kolom komentarnya dengan orang Indonesia yang membangga-banggakan negerinya. Beberapa menyebutnya kampungan, beberapa lagi menyebutnya nasionalisme. Namun, itulah cara orang Indonesia mengkespresikan diri keluar.

Baca Juga  Perjuangan Kelas dan Menguatnya Identitas dalam Sinetron Para Pencari Tuhan

Dalam perjalanan pulang ke hotel, saya berpikir lagi. Mungkinkah bukan hanya bahasa Indonesia yang telah dikuasai kaum pedagang Madinah? Mungkinkah mereka juga telah menguasai bahasa Korea? Atau bahkan bahasa yang lebih rumit seperti bahasa Rusia?

Atau mungkin hal ini hukum budaya bagi orang Indonesia yang suka berbelanja. Mereka diakrabi karena ada uang (udang?) di (balik) kantong mereka yang harus segera berpindah tangan.[]



Ilustrasi: Kalikuma Studio

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *