Quo Vadis Islam Modernis?

PERHELATAN Pemilu 2024 semakin menarik untuk dilihat perkembangannya. Mulai dari patgulipat sistem SIREKAP yang diklaim banyak menimbulkan “omon-omon” di tengah masyarakat sampai cawe-cawe yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Namun, mau bagaimanapun prosedur dan jalannya, hasil akhir dari KPU menjadi tolok ukur untuk Pemilu.

Keadaan yang sama juga dirasakan di berbagai penjuru tanah air. Salah satunya di Kota Bima. Hasil Pemilu legislatif menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu masyarakat. Walaupun isu politik kian berhembus kencang di desa-desa. Tak tanggung-tanggung, angka gopek menjadi prasyarat “satu kepala satu suara”, plus foto copy KTP untuk tim sukses bergerilya di tengah kampung.

Politik biaya mahal seperti ini menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial. Dari ucapan yang dimulai dengan kata “selamat” hingga lolongan tim sukses caleg yang meminta uang kembali mewarnai beranda media sosial kita. Untuk hal itu, “palu sidang” saya serahkan kepada panitia Pemilu dan masyarakat untuk menilainya.

PKB dan PPP

Oke, mari kita geser sedikit perspektif kita melihat hasil Pemilu legislatif 2024 di Kota Bima. Tahun ini, kemungkinan besar PKB dan PPP tidak berhasil mengirim satu pun wakilnya di DPRD Kota Bima (Detikbali/1/3/2024). Dua partai yang dikenal lahir dari rahim Islam tradisionalis ini kurang mendapat simpati rakyat Kota Bima. Atau memang, calon wakil rakyat yang didelegasikan oleh kedua partai tersebut masih belum mampu meraih mandat rakyat.

Hal ini menjadi fenomena baru, di mana, pada periode sebelumnya – walau medioker – kedua partai tersebut selalu mengirim wakilnya. Kekalahan di tahun ini menjadi catatan penting untuk PKB dan PPP di Kota Bima agar nafas panjang perjuangan tetap dilanjutkan dan menjadi pemain penting dalam Pilkada Serentak 2024 yang tinggal menghitung bulan.

Hal kebalikannya diraih oleh partai-partai yang diklaim lahir dari Islam modernis. Kemenangan besar diraih oleh PAN dengan mengirim lima wakilnya duduk di gedung parlemen jalan Soekarno-Hatta tersebut. Sedangkan PKS tiga kursi dan PBB satu kursi.

Hasil ini, kian membuktikan tesis heterarki dari Abdul Wahid dan Atun Wardatun bahwa di Bima (Kota-Kabupaten) tidak ada fragmentasi otoritas yang kaku dan mengental pada satu entitas tunggal. Dan ini berlaku juga untuk partai politik dan perilaku pemilih.

Jelas, banyak faktor yang mempengaruhi gagalnya PKB dan PPP mengirim wakilnya. Namun, yang jelas hasil Pemilu ini semakin membuktikan bahwa pembelahan masyarakat melalui klaim Islam tradisional, modernis, puritan tidak terlalu banyak berpengaruh dalam membentuk massa pendukung militan dan energi untuk menarik simpati masyarakat.

Baca Juga  NU di Antara Kiai, Nyai, Akademisi dan Politisi

Kecenderungan di daerah, memang masyarakat mendasarkan pilihannya pada sosok calon yang diusung oleh partai bukan pada partai apa atau dari sejarah mana partai tersebut berasal. Hal inilah yang mungkin saja tidak banyak diperhatikan oleh kedua partai tersebut. Untuk selanjutnya, biarlah pengurus partai-partai tersebut untuk mengerjakan PR-nya masing-masing untuk kompetisi selanjutnya.

Di sisi lain, kecenderungan masyarakat terus tertuju pada sosok-sosok yang diusung lewat partai-partai nasionalis dan Islam modernis. Bahkan, tahun ini Golkar, Nasdem, dan Demokrat sedang menikmati durian runtuh tersebut dengan total mengirimkan selusin wakilnya. Hasil ini, kian membuktikan tesis heterarki dari Abdul Wahid dan Atun Wardatun bahwa di Bima (Kota-Kabupaten) tidak ada fragmentasi otoritas yang kaku dan mengental pada satu entitas tunggal. Dan ini berlaku juga untuk partai politik dan perilaku pemilih.

 Akhirnya, jika fenomena ini dilihat dari kacamata pembagian ideologi politik Islam Indonesia, pertanyaan yang muncul untuk kasus Kota Bima, quo vadis Islam modernis? Dan sampai kapan itu terjadi?

Elite Lama dan Elite Baru

Jika ditilik lebih jauh, kemenangan caleg di Kota Bima 2024 ini, dari dua puluh lima wakil rakyat ada sebelas wajah baru yang akan menghiasi perpolitikan Kota Bima lima tahun ke depan. Dari sebelas wajah baru tersebut dan digabung dengan petahana akan terlihat komposisi seperti ini. Pertama, ada suami-istri. Kedua, bapak-anak. Ketiga, adik-kakak kandung. Keempat, perseorangan, artinya tidak memiliki hubungan kekerabatan langsung dengan elite lama.

Kasus-kasus hubungan kekerabatan langsung tersebut bukan hal baru di Indonesia dan di Bima. Fenomena tersebut menjadi hal lumrah, bagaimana hubungan elite lama merangkul elite baru yang masih memiliki hubungan darah, apalagi dalam politik. Pembaca, Anda harus mulai terbiasa melihat satu keluarga ada dalam satu kantor pemerintahan. Tak usah kaget.

Baca Juga  Dari Cinta berujung Benci

Mungkin saja, gagalnya PKB dan PPP mengirim wakil di parlemen Kota Bima ini juga karena kekalahan calon-calon kedua partai tersebut dengan munculnya elite baru tersebut. Sialnya, elite baru dengan hubungan darah tersebut banyak ditelurkan dari partai-partai nasionalis: Golkar, PAN, Demokrat, dan Nasdem.

Selain itu, mungkin masyarakat juga menginginkan pembaruan wajah-wajah baru yang lebih segar yang berhasil dimaksimalkan oleh ke empat partai tersebut dengan tidak menghilangkan peran elite lama dalam mempengaruhi pemilih. Yang jelas, fenomena seperti di atas, akan kita lihat semakin marak ke depannya dengan berbagai pola dan aksi.

Kota yang Berubah?

Kemenangan partai-partai dari rahim Islam modernis di Kota Bima ini, sedikit banyak membuktikan bahwa Kota Bima sedang mengalami perubahan ke arah yang lebih modern. Menurut saya, jika PAN, PKS, dan PBB selama ini mendulang suara masyarakat Islam perkotaan hal ini juga menjadi preseden bahwa masyarakat Kota Bima sudah mulai mengalami modernisasi.

Lebih jauh, jika dilihat basis suara dari ke tiga partai tersebut ialah muslim kelas menengah. Dengan premis demikian, apakah juga Kota Bima sedang mengalami proses pertumbuhan kelas menengah dengan jumlah suara signifikan? Atau durian runtuh yang didapatkan oleh ketiga partai tersebut hanya dikarenakan pengaruh politik uang seperti pembuka tulisan ini. Jika demikian, menjadi sahih kegagalan yang dialami oleh PKB dan PPP yang selama ini dikenal sebagai partai kaum santri, petani, dan masyarakat udik di desa pinggiran kota.

Perilaku pemilih memang unik dan menarik. Membaca realitas politik di Kota Bima juga tidak segampang membalikkan telapak tangan. Tapi bumi maja labo dahu selalu menyimpan fenomena yang tak terduga. Dus, walau dalam hal-hal politik.[]

Ilustrasi: Kalikuma Studio

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *