PROBLEM paling mengemuka dari umat beragama adalah mereka tidak menganggap keberagamaan (religiosity) sebagai bagian esensial dari kemanusiaan. Tidak heran jika dewasa ini kita menjumpai orang-orang yang mengklaim diri sebagai beriman, namun sangat tidak manusiawi.
Dalam Islam, contohnya, dijumpai orang-orang yang rajin shalat dan puasa, tapi tidak peduli pada ketidakadilan yang merajalela di masyarakatnya, tidak peduli pada sampah yang menumpuk di sekelilingnya, tidak peduli pada kelaparan tetangganya, tidak peduli pada penderitaan dan kekerasan yang dialami keluarganya, demikian seterusnya.
Akibatnya, agama gagal menjawab pelbagai masalah kemanusiaan yang krusial seperti ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, konsumerisme, hedonisme, kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), korupsi dan beragam penyakit sosial lainnya. Agama pun tidak mampu mengikis stigma, prasangka (prejudice) dan perilaku diskriminatif, khususnya terhadap kelompok marjinal, minoritas, dan tertindas. Ajaran tentang keadilan, kejujuran, solidaritas, kepeduliaan, dan kasih sayang hanya terukir indah dalam Kitab Suci, tapi sangat sulit dijumpai dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Semua agama dan kepercayaan seharusnya fokus membawa umat mereka kepada peningkatan kualitas spiritualitas diri yang terefleksi dalam aktivitas dan kerja-kerja konkret yang membebaskan manusia dari semua bentuk penyakit sosial tersebut.
Agama harus mampu mengubah umatnya menjadi lebih peka pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan lebih profesional dalam memberikan pelayanan kemanusiaan, khususnya terhadap kelompok rentan dan tertindas yang dalam terminologi Al-Qur’an disebut mustadh’afin.
Visi Islam mengenai penciptaan manusia adalah menjadi khalifah fil ardh (pemimpin dan pengelola kehidupan di bumi). Sebagai pemimpin, manusia diharapkan menjadi agen moral. Sebagai agen moral, manusia harus mampu menata dan mengelola kehidupan di bumi dengan sebaik-baiknya demi kemashlahatan semua manusia bahkan semua makhluk, dan hal itu harus dimulai dari menata diri sendiri, keluarga dan masyarakat luas.
Adapun misi utama penciptaan manusia adalah amar ma’ruf nahy munkar, yakni melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi demi kesejahteraan dan kemashlahatan manusia yang tentunya dimulai dari diri sendiri dan keluarga inti, kemudian masyarakat luas.
Sebagai khalifah di muka bumi, maka misi utama manusia adalah mewujudkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan lil-‘âlamîn). Syarat utama untuk menjalankan misi pokok tersebut adalah kesadaran tentang pentingnya menegakkan keadilan, kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak benar (amar ma’rûf nahy munkar).
Tugas ini tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis manusia, sementara satu jenis yang lain melakukan hal yang sebaliknya. Sebagai manusia yang sama-sama mengemban tugas kekhalifahan, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh Tuhan untuk saling bekerja sama, bahu-membahu dan saling mendukung dalam melakukan amar ma’ruf nahy munkar demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik, dan indah dalam ridha Allah.
Dalam ayat al-Qurán terdapat kata khalâ’if (bentuk jamak dari khalîfah) yang berarti pengelola atau pemimpin. Dalam tata bahasa Arab, kata khalifah tidak menunjuk pada jenis kelamin atau kelompok tertentu. Dengan demikian, perempuan dan laki-laki mempunyai fungsi yang sama dan akan mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di hadapan Allah swt.
Hanya satu kata kunci yang memungkinkan manusia bisa mempertanggungjawabkan segala peran dan fungsinya baik sebagai hamba maupun sebagai khalifah. Kata kunci itu adalah ketakwaan, bukan keutamaan nasab, bukan jenis kelamin tertentu, dan bukan pula kemuliaan suku. Konsep amar ma’rûf nahy munkar dalam kondisi kekinian kita dapat diinterpretasikan sebagai upaya-upaya transformasi dan humanisasi.
Yang pertama, upaya transformasi adalah sebuah komitmen mengubah diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik dan konstruktif. Di antaranya, melakukan aksi-aksi nyata untuk perbaikan dan peningkatan mutu sumber daya manusia, termasuk di dalamnya upaya pendidikan, advokasi dan publikasi. Upaya-upaya tersebut terutama ditujukan terhadap kelompok rentan dan marjinal (mustadh’afin).
Upaya transformasi juga mencakup kerja-kerja rekonstruksi budaya agar terbangun budaya yang lebih memanusiakan manusia. Selain itu, upaya revisi sejumlah kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan yang masih mengandung unsur diskriminatif terhadap kelompok minoritas karena alasan gender, agama, dan etnis harus masuk dalam kerja-kerja transformasi.
Selanjutnya, yang kedua adalah upaya humanisasi, yaitu mencakup semua upaya untuk menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi, termasuk diri sendiri. Upaya ini mencakup kegiatan edukasi, komunikasi, dan yang senada dengan itu demi menghindari kejahatan dan kemungkaran. Termasuk di dalamnya upaya perbaikan kualitas pendidikan di semua tingkatan sehingga mewujudkan masyarakat terdidik yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Itulah makna perintah amar ma’ruf nahy munkar bagi semua manusia tanpa kecuali. Karena itu, semua manusia tanpa ada sekat sedikit pun diharapkan mampu bekerjasama secara tulus dan dengan penuh kasih sayang, bahu-membahu, bergotong-royong mewujudkan masyarakat yang damai, bahagia dan sejahtera (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur), seperti diilustrasikan Al-Qur’an dalam surah Saba.[]
Ilustrasi: teman.psi.id

Profesor Riset bidang Lektur Agama, Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.