APA yang dapat diharapkan dari hasil kontestasi elektoral Pemilu 2024 yang baru saja usai? Yang indikasi problematiknya terjadi sejak dari hulu hingga hilir; sejak dari pelanggaran etik berat oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi–yang diketuai Anwar Usman ipar Presiden Joko Widodo–menyangkut persyaratan calon presiden; dua kali pelanggaran etik oleh Ketua KPU RI Hasyim Asyari hingga praktik politik uang yang terjadi secara terang-terangan dan massif di masyarakat bawah?
Prof. Edward Aspinal menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia mulai mengalami kemerosotan sejak 2015 yang ditandai dengan dua hal, yakni menguatnya politik identitas dan politik transaksional. Tetapi fenomena politik transaksional mencapai puncaknya pada Pemilu 2024 ini terutama dalam pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota).
Ketika ‘kapal’ Indonesia sedang terancam tenggelam oleh korupsi, virus ‘ordal’ (orang dalam), stunting, gizi buruk, kemiskinan akut dan lainnya para elite maupun rakyatnya justru berpesta pora menikmati kehancuran demokrasi yang sedang berlangsung
Jika pada Pemilu 2019 misalnya para caleg dan tim suksesnya yang secara diam-diam mencari calon pemilih untuk ‘dibeli’ suaranya, maka pada Pemilu 2024 ini terjadi sebaliknya: para pemilih yang justru berpetualang mencari dan menawarkan suaranya kepada caleg dengan tawaran tertinggi.
Sehingga seorang caleg sampai menyatakan bahwa pada Pemilu 2024 untuk kalah saja seorang caleg harus mengeluarkan belanja politik yang sangat mahal, apalagi untuk menang. Sebuah ungkapan untuk menggambarkan betapa absurdnya Pileg kali ini.
Akibatnya harapan publik terhadap tampilnya pemimpin yang mengusung politik gagasan atau politik kemaslahatan menjadi sia-sia. Yang terjadi justru aksi politisi yang (terpaksa) membeli suara dari pemilih (buying voters) demi meraih kemenangan. Penulis menyebut bahwa kerusakan demokrasi saat ini mirip seperti kutukan dalam film “Titanic” itu: saat kapal hendak karam dan para penumpang panik mencari keselamatan justru sekelompok kecil penumpang di dek belakang malah asyik berdansa dan bermain musik.
Ketika ‘kapal’ Indonesia sedang terancam tenggelam oleh korupsi, virus ‘ordal’ (orang dalam), stunting, gizi buruk, kemiskinan akut dan lainnya para elite maupun rakyatnya justru berpesta pora menikmati kehancuran demokrasi yang sedang berlangsung.
Melacak Akar Penyebab
Menurut penulis, setidaknya ada tiga penyebab terjadinya praktik politik uang yang berlangsung secara massif dalam Pemilu 14 Februari 2024 lalu.
Pertama, masih rendahnya tingkat pendidikan. Seperti diketahui hampir 80 persen pemilih tak tamat SMP/ sederajat, sedangkan warga yang berpendidikan sarjana (S3 sampai diploma) hanya sekitar 10 persen. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut tentu akan berpengaruh terhadap kesadaran warga termasuk dalam membuat keputusan memilih pemimpin politik.
Faktor pendidikan ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa pasangan Capres-Cawapres 01 Anies Baswedan-Muhamimin Iskandar yang mengusung gagasan perubahan hanya meraih suara sekitar 25 persen. Tentu sulit mengajak orang dengan isu perubahan di tengah tingkat pendidikan yang masih rendah.
Kedua, faktor kemiskinan ekonomi. Filosof Hannah Arendt menyebutkan bahwa salah satu syarat untuk membangun demokrasi adalah terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs). Di tengah kemiskinan ekonomi yang masih mendera maka pilihan untuk melaksanakan demokrasi langsung seperti saat ini tentu cukup berisiko.
Kemiskinan ekonomi pula yang kemudian dimanfaatkan oleh penguasa untuk mendapatkan efek elektoral. Puluhan triliunan dana bantuan sosial (bansos) yang digelontorkan Presiden Jokowi, terutama jelang Pemilu 2024, terbukti berhasil menimbulkan kedekatan psikologis warga untuk memilih bahkan memenangkan satu putaran untuk paslon 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (putra Joko Widodo).
Ketiga, jarak ingatan kolektif publik sangat pendek. Reformasi baru berusia 25 tahun saat bangsa ini baru saja melepaskan diri dari kepengapan politik rezim Orde Baru yang otoriter, militeristik bahkan totaliter. Di bawah kekuasaan Soeharto selama 32 tahun kebebasan dan kehidupan demokrasi diberangus. Momentum Reformasi 1998 seharusnya menjadi pengingat bagi seluruh elemen bangsa ini untuk secara konsisten merawat dan memperjuangkan demokrasi yang diperoleh dengan susah payah, air mata bahkan darah tersebut.
Faktanya, memori kolektif publik tidak cukup mampu mengingat penderitaan panjang di bawah rezim Orde Baru tersebut dengan cara merawat ‘bayi’ demokrasi tersebut. Bangsa ini seolah tiba-tiba mengalami amnesia sejarah secara kolektif. Tetapi menurut para ahli kemerosotan demokrasi ini tidak khas Indonesia tetapi fenomena umum di negara-negara Asia Tenggara, seperti yang terjadi di Filipina.
Sementara di sisi lain mengajak publik untuk menolak politik uang dalam situasi ini hampir sama sulitnya mengajak orang pindah agama. Opini publik juga digiring sengaja digiring untuk mempercayai mitos bahwa politik identitas adalah ancaman terbesar demokrasi kita
Praktik demokrasi di kawasan ini tengah jadi sorotan karena menunjukkan fenomena anomali: banyak pemimpin sipil yang terpilih secara demokratis tetapi justru bersikap dan menjalankan kebijakan yang antidemokrasi seperti membungkam oposisi dan kelompok kritis dalam masyarakat.
Akibat
Praktik politik transaksional dari hulu hingga hilir di atas tentu saja membawa dampak kurang menguntungkan bagi perkembangan dan masa depan demokrasi. Apa yang bisa kita lihat dari kerusakan demokrasi hari-hari ini adalah pembajakan dan kapitalisasi demokrasi; politik dinasti dan dinasti politik dimana kekuasaan hanya terpusat dan dikendalikan oleh klan-klan politik tertentu yang memiliki akses dan jaringan keuangan maupun politik tertentu.
Sementara di sisi lain mengajak publik untuk menolak politik uang dalam situasi ini hampir sama sulitnya mengajak orang pindah agama. Opini publik juga digiring sengaja digiring untuk mempercayai mitos bahwa politik identitas adalah ancaman terbesar demokrasi kita. Tetapi kenyataannya kita semua ditipu oleh elite politik karena ancaman terbesar demokrasi adalah politik dinasti.
Kebebasan dan kesetaraan adalah diantara nilai-nilai kebaikan yang dijanjikan oleh demokrasi sehingga bangsa ini memutuskan takdir politiknya memilih demokrasi sebagai cara hidup berbangsa dan demokrasi. Tetapi pembajakan demokrasi dan politik dinasti merusak tatanan tersebut serta menimbulkan ketidakpercayaan (detrust) terhadap demokrasi. Demokrasi dianggap mengkhianati janjinya sendiri.
Tentu saja, Pemilu (Pilpres maupun Pileg) yang dilakukan secara curang dan cacat akan kurang legitimated. Hal yang paling mudah terlihat adalah munculnya sikap pesimis bahkan apatis khususnya kalangan muda terhadap politik. Pada saatnya nanti Pemilu yang mengalami delegitimasi akan memengaruhi tingkat partisipasi publik dalam pembangunan. Jika itu terjadi maka demokrasi sejatinya sedang berjalan menuju tiang gantungan sejarah.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.