Senjakala Artikel Cetak: Sebuah Refleksi Pribadi

DI INDONESIA awal tahun 2000-an  tidak saja menandai transisi demokrasi politik dari era Orde Baru ke Orde Reformasi 1998  tapi juga dimulainya peralihan dari media cetak ke media elektronik. Pada masa ini berbagai media pers di Tanah Air secara bertahap beralih dari edisi cetak ke media online.

 Kini hampir semua media nasional (koran, tabloid dan majalah) sudah tidak menerbitkan versi cetak tetapi sudah menyediakan  layanan  media online kepada para pembacanya, termasuk bagi para pelanggannya. Transisi ini merupakan bagian dari revolusi teknologi informasi global yang terus berlangsung.

Bagi generasi baru  yang tidak mengalami atau terlibat dalam dua era tersebut, mungkin tidak memiliki memori apalagi menghayati sensasi masa kejayaan  era media cetak. Tetapi bagi generasi sebelumnya media cetak memiliki kenangan tersendiri. Dapatkah Anda membayangkan preseden historis, memori, dan kenangan era kejayaan media cetak tersebut?

Ketika akses terhadap media massa sangat terbatas, apalagi industri media juga harus tiarap dari berbagai ancaman politik rezim otoriter  Orde Baru di bawah Soeharto, maka kesempatan membaca terlebih  menulis di media massa jelas sebuah kemewahan di zaman itu.

Bagi mahasiswa kere seperti saya dan teman-teman maka keputusan atau nekad membeli koran atau majalah berarti merelakan  jatah uang makan siang di warung terpaksa direnggut paksa. Pilihan sulit tersebut mesti diambil demi mengobati dahaga intelektual (curiosity) yang menggebu-gebu.

Meski hidup di bawah bayang-bayang kekejaman Orde Baru tetapi siapa pun sepakat bahwa atmosfer akademik dan dinamika intelektual di era ini berkembang cukup subur, termasuk tradisi polemik berkelas di kalangan intelektual dan cendekiawan.

Di sisi lain, menulis di media massa, karenanya, merupakan sebuah kemewahan tersendiri khususnya bagi kalangan mahasiswa seperti kami. Oleh karena itu berikut ini saya akan merefleksikan kembali tentang proses kreatif, isu aktual maupun setting artikel yang pernah saya tulis sejak zaman mahasiswa 1993 hingga  berakhirnya era kejayaan media cetak pada 2000-an.

Berawal dari Surat Pembaca

Saya sendiri memulai  hobi menulis dari aktivitas menulis surat pembaca kepada media massa dan dimuat. Surat Pembaca adalah ruang atau rubrik yang disediakan oleh media sebagai sarana urun rembuk untuk menyampaikan keluh kesah, pendapat atau komentar atas satu isu yang sedang ramai diperbincangkan.

Dapat dikatakan Surat Pembaca, Pembaca Menulis atau sejenisnya adalah semacam ruang demokrasi bagi pembaca untuk menjalankan fungsi kontrol sosial terkait dengan kinerja aparat pemerintahan  serta masalah sosial lainnya.

Pertama-tama, saya menulis Surat Pembaca di Harian Fajar (Makassar) dan paling fenomenal adalah Surat Pembaca saya di majalah Panji Masyarakat (Panjimas), sebuah media nasional warisan Buya Hamka yang berbasis di Jakarta.

Baca Juga  Membincang Tradisi Intelektual di Kalangan NU

Surat Pembaca saya berjudul “Islam Kemodernan, Sebuah Obsesi Nurcholish Madjid” (Panjimas, 21-31 Januari 1993) merupakan respons saya terhadap heboh intelektual usai Nurcholish Madjid menyampaikan Pidato Kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada akhir 1992.

Meski begitu gelora semangat para jurnalis muda membuat kami seolah lupa dengan berbagai keterbatasan tersebut, termasuk di awal terpaksa melakukan rapat redaksi di bawah pohon karena belum punya sekretariat di kampus maupun honor sekadar uang bensin.

Saya juga tercatat dua kali menulis surat pembaca di majalah Suara Hidayatullah (Syahid), yang terbit di Surabaya. Kebiasaan menulis pembaca tersebut menumbuhkan rasa percaya diri saya untuk memberanikan diri mengirimkan artikel opini ke beberapa media.

Hasrat tersebut juga bersamaan dengan keaktifan saya di media mahasiswa “Washilah” IAIN (kini UIN) Alauddin Makassar, kampus tempat saya kuliah tahun 1991. Kesempatan menjadi reporter dan pengelola media mahasiswa ini memberikan ruang lebih luas kepada saya untuk mengasah kemampuan menulis. Selain artikel saya juga harus menulis kolom, editorial, resensi buku dan berita untuk kebutuhan penerbitan tersebut.

 Karena keterbatasan anggaran, seingat saya media mahasiswa ini hanya terbit perempat bulan atau per semester. Meski begitu gelora semangat para jurnalis muda membuat kami seolah lupa dengan berbagai keterbatasan tersebut, termasuk di awal terpaksa melakukan rapat redaksi di bawah pohon karena belum punya sekretariat di kampus maupun honor sekadar uang bensin.

Demikianlah saya kemudian memberanikan diri menulis artikel dan dimuat di media nasional harian Pelita (Jakarta), Fajar (Makassar), Pedoman Rakyat (Makassar), majalah Panjimas dan Syahid, Lombok Post (Mataram), hingga Inti Rakyat (Dompu).

 Di Pelita (16/6/1994) artikel pertama saya berjudul “Kontribusi Perenial Dalam Pluralisme Agama” berhasil lolos. Sesuai karakter media massa maka topik-topik artikel yang saya tulis tergantung isu  yang sedang aktual di masyarakat.

Karena itu saya menulis seputar  isu agama (pluralisme, konflik agama, teologi sosial), politik (kelas menengah, demokrasi, dan masyarakat madani), dan gender. Sekian lama kemudian saya baru tersadar karena tak pernah sekalipun menulis isu pendidikan (Islam), meski saya mahasiswa fakultas Tarbiyah.

Faktanya di kamar kos saya malah tidak memiliki  koleksi buku-buku pendidikan. Hal itu tampaknya banyak dipengaruhi oleh hasil bacaan maupun interaksi saya dengan beberapa forum diskusi terutama di lingkungan HMI, meski saya bukanlah kader inti di organisasi mahasiswa Islam tertua  ini.

Tiga Artikel Spesial

Dari puluhan artikel yang terpublikasi  saya memiliki kesan mendalam terhadap tiga tulisan berikut. Pertama, adalah artikel berjudul “Islam dan Gender Dalam Perspektif Teologi Feminisme” (Fajar, 13/6/1996). Secara subjektif saya  menulis artikel ini dalam kondisi terbaik dan powerfull, sehingga saya menganggapnya sebagai karya ‘magnum opus’.

Baca Juga  Tirakat dengan Al-Qur'an: Pengalaman Seorang Santri

Kedua, artikel “Agama dan Tantangan Universal” (Suara Hidayatullah, Desember 1995). Artikel ini agak spesial barangkali bukan karena “mutu”nya melainkan karena berhasil lolos dari meja redaksi. Selain ini  artikel pertama saya yang berhasil dimuat di majalah Islam berideologi ‘ketat’ tersebut tapi juga karena isinya yang ‘liberal’ sehingga sangat mengejutkan saya.

Betapapun Sahid– yang diterbitkan oleh Pondok Pesantren Hidayatullah sebagai salah satu jaringan ponpes dan ormas Islam terbesar di Indonesia—merupakan simbol dari gerakan  Islam ‘fundamentalis’ di Tanah Air hingga kini.

Karena itu saya sulit percaya tulisan ini dapat ‘lolos sensor’ bahkan saya sempat menganggapnya sebagai ‘kecerobohan’ redaksi. Apalagi isinya jelas-jelas ‘mempromosikan’ pluralisme  agama, sebuah paham dan gerakan yang justru bertentangan secara diametral dengan visi dan misi perjuangan Suara Hidayatullah secara kelembagaan. 

Dan dugaan saya kemudian terbukti benar karena artikel ini menimbulkan polemik. Hal itu ditandai dengan tulisan Moh Sigit Hermawan, Pimred Bulletin Ad Da’wah, Purwokerto, di Sahid (Februari 1996). Di bawah judul “Islam dan Tantangan Pan Religionisme: Tanggapan atas Tulisan Ilyas Yasin”, Sigit menyebut bahwa gagasan pluralisme yang menyerukan penyatuan agama adalah gagasan destruktif dan hasil konspirasi pemikiran Yahudi-Kristen. Meski kemudian saya membuat tanggapan balik tapi pihak redaksi Sahid tampaknya menghindari polemik itu berlanjut sehingga tulisan saya akhirnya tidak dimuat.  

Ketiga, artikel “Bupati Bima: Haruskah Putera Daerah?” (Lombok Post, 27 Januari 1999), yang mempertanyakan secara kritis asumsi tentang kepemimpinan kepala daerah harus putera daerah (asli).

Meski gelora  tersebut  wajar  di tengah masa transisi politik dari era otoriter Orde Baru ke era Reformasi 1998, tetapi bagi saya euforia tersebut juga mengandung ancaman apalagi jika “putera daerah” disempitkan  sebagai “orang yang lahir dan besar di daerah” sehingga berpotensi mengganjal tampilnya putera daerah dari tanah rantau.

Dalam artikel tersebut saya mengingatkan bahwa masalah kepemimpinan sejatinya  bersifat rasional dan teknikal sehingga  jangan sampai direduksi sebagai masalah gender, agama, atau etnis apalagi sekadar ‘local genius’ semata. Sebaliknya, bagi saya, narasi keharusan putera daerah tidak menjamin lahirnya pemimpin yang terbebas dari praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), memiliki integritas dan kapasitas dalam memajukan daerah.

Jadi, kepemimpinan  di sini soal keberpihakan bukan semata soal putra daerah an sich.[]

 

Ilustrasi: Kalikuma Studio
Gambar: Ilyas Yasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *