Tetapi tapal batas tentang ide kebebasan kaum wanita sebagaimana diharapkan Kartini tampaknya masih dalam perdebatan. Di Indonesia gagasan tentang ide kebebasan dan persamaan hak wanita, sejauh yang saya amati, terbelah tiga.
Kelompok pertama, sebut saja kelompok tradisional, yang sama sekali tidak mempersoalkan peran dan posisi wanita sebagaimana berlangsung selama ini. Memasak, mencuci, menyapu, mengurus anak, menyiapkan perlengkapan kerja suami dan berbagai pekerjaan rumah tangga (dosmestik) dan peran tradisional lainnya dianggap sebagai tugasnya wanita.
Sebaliknya, mereka justru sangat malu dan tidak nyaman jika pekerjaan-pekerjaan tersebut dikerjakan oleh suami mereka. Saya sendiri termasuk yang cukup sering kerepotan melawan stereotipe semacam ini setiap kali saya mengambil alih beberapa pekerjaan istri di rumah. Banyak kerabat dan tetangga yang sulit menyembunyikan tatapan aneh jika kebetulan melihat saya sedang mencuci pakaian, mencuci piring, atau menapis beras, hehe.
Kalangan tradisional menganggap hal tersebut tak sepantasnya dilakukan seorang suami atau pria, dan sebaliknya istri yang bertindak demikian mendapat stigma negatif dari masyarakat.
Kedua, kelompok moderat, yang memperjuangkan hak-hak dan nasib perempuan namun dengan tetap mempertahankan peran-peran tradisionalnya.
Kelompok ini tidak mempermasalahkan, bahkan mendorong kaum perempuan masuk dan berpartisipasi dalam sektor-sektor modern asalkan kodratnya sebagai perempuan, sebagai istri atau sebagai ibu tetap berjalan secara seimbang. Saya melihat bahwa aspirasi kaum perempuan Indonesia mayoritas cenderung direpresentasikan oleh kelompok ini.
Kelompok moderat ini di Indonesia, menurut saya, diwakili oleh Dr. Ratna Megawangi yang secara intensif menangkis serangan-serangan keras kelompok ketiga, yakni kelompok radikal.
Berbeda dengan dua kelompok sebelumnya, kelompok terakhir ini cenderung memandang negatif perbedaan-perbedaan (peran, struktur biologis maupun aspek psikologis) antara laki-laki dan perempuan.
Mereka sangat sensitif dan mencurigai setiap bentuk perbedaan-perbedaan tersebut karena dipandang mendiskriminasi perempuan. Kritik-kritik mereka terhadap masalah perempuan juga cenderung ideologis sebagaimana dalam kasus iklan layanan masyarakat di Majalah Forum Keadilan pada 1996.
Pada tingkat ekstrem, tak jarang kelompok radikal juga hendak menuntut persamaan total antara laki-laki dan perempuan. Misalnya heboh draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau draft revisi UU Perkawinan yang diajukan Tim Kemenag yang diketuai Musdah Mulia. Draft ini berisi sejumlah usulan yang sangat radikal seperti hendak mengganti istilah ‘kepala keluarga’ yang tidak harus laki-laki.
Di samping itu kelompok radikal juga menyampaikan sejumlah tuntutan kesetaraan lain seperti kebolehan perempuan menikah tanpa wali, boleh menjadi imam salat, menjadi khatib (seperti dilakukan tokoh feminis Amina Wadud Muhsin beberapa tahun lalu di AS), menuntut pemberlakukan masa ‘iddah bagi laki-laki, dan konsep ‘pemerkosaan dalam keluarga’ (marital rape), yakni (maaf) jika seorang suami meminta berhubungan intim dengan istri tapi sang istri menolak maka suami bisa dipidanakan!
Saya tidak tahu apakah berbagai tuntutan persamaan semacam ini masih senafas dengan perjuangan Kartini maupun nilai-nilai budaya bangsa atau tidak.
Yang saya tahu bahwa tuntutan persamaan total antara laki-laki dan perempuan hanya akan melahirkan—meminjam istilah Quraish Shihab—‘manusia jenis ketiga’ yakni makhluk yang bukan laki-laki dan bukan perempuan; dan karenanya tuntutan persamaan total semacam itu rasanya sulit diterima secara moral dan logika.
SELAMAT HARI KARTINI!
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.