SEBAGAI manusia, kita bukan satu-satunya makhluk yang diciptakan Tuhan untuk eksis di semesta raya. Ada ribuan bahkan jutaan makhluk lainnya yang memiliki hak eksis yang sama dengan kita. Kesadaran ini penting kita miliki, dan kemampuan mengimplementasikan kesadaran itulah sesungguhnya yang diinginkan oleh ayat Tuhan dalam diksi lita’arafu (agar saling mengenal) dalam tataran makrokosmos.
Dalam misi lita’arafu, manusia diciptakan Tuhan untuk secara sadar maupun tidak, harus memikul dua amanah yang sangat besar yakni sebagai hamba yang harus melakukan segala perintah-Nya dengan patuh, tunduk, dan tanpa ragu, kemudian sebagai khalifah—menjadi wakil Tuhan di bumi untuk menjaga dan merawat atau melestarikan semesta serta memanfaatkan sumber daya alam dalam wujud tanggung jawab sosial dan moral.
Jadi, sebagai seorang hamba, manusia harus memastikan dirinya untuk tidak lepas dari tali yang mengikatnya dengan titah ketuhanan. Sedangkan kedudukan sebagai khalifah mengharuskan manusia mampu menjalin hubungan yang harmonis dalam bingkai komunikasi makrokosmos antara sesama manusia dan makhluk sejagat.
Dalam konteks kekhalifahan, manusia merupakan figur sentral yang mau tidak mau harus mampu menciptakan tatanan sosial dan alam yang indah, serasi, dan demokratis dalam suasana tidak menghendaki adanya eksploitasi dan tindakan amoral. Dalam tataran yang demikian inilah manusia perlu mengetahui, menyadari, dan sekaligus memposisikan dirinya pada posisi selain dirinya—dalam arti mampu melihat situasi dari sudut pandang makhluk lain, merasakan apa yang makhluk lain rasakan, dan memahami perspektif serta pengalaman eksternal (empati). Dengan demikian pada gilirannya manusia akan memiliki paradigma berfikir yang benar dan cara bersikap yang baik sehingga fitrah penciptaan lingkungan yang harmonis dapat terwujud.
Untuk mewujudkan impian mulia berupa harmonisasi makrokosmos di atas, Islam memiliki satu tradisi spiritual yang dapat dijalankan oleh siapa saja dalam rangka melebur dirinya dalam komunitas kemakhlukan, yakni tadabur alam yang merupakan suatu usaha yang mengarah pada proses pembentukan paradigma berpikir dan bersikap yang perlu dilakukan oleh manusia terhadap alam.
Tadabur dari kajian kedalaman bahasa berarti melakukan sesuatu dengan susah payah dan serius sehingga mendapatkan hasil maksimal di ujung usahanya. Sementara alam yang dimaksudkan di sini adalah makhluk-makhluk Tuhan selain manusia, yang dapat berwujud makhluk hidup, seperti binatang dan tumbuhan, maupun benda mati seperti tanah, air, gunung dan sebagainya. Bahkan makhluk-makhluk malakut seperti malaikat, jin dan sebagainya.
Jadi tadabur alam merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk membaca, mempelajari, dan menghayati tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui pengamatan terhadap suatu objek tertentu, yang biasa dilakukan setiap orang Islam jika sedang memperhatikan sesuatu dengan penuh kesadaran seolah-olah membayangkan perwujudan penciptanya (Khaliq) dibalik setiap ciptaan-Nya.
Pengalaman empirik dari aktivitas tadabur alam mengungkapkan apa yang dirasakan berupa kemampuan untuk melihat sesuatu yang berada di alam lain—di mana kemampuan menyibak tirai dari alam gaib bagi setiap orang tidaklah sama, ada yang betul-betul gaib dan ada yang agak transparan, tergantung kejernihan batin dan tingkat prestasi spiritualnya.
Bangunan paradigma berfikir dan cara bertindak yang diformulasikan dari kesadaran di atas pada akhirnya akan mengantarkan manusia memahami betapa mulia dan bijaksananya Tuhan yang telah menundukkan semua itu untuk manusia. Dan titik kesadaran itu akan menemukan urgensinya pada apa yang dinyatakan sebagai tadabur alam yang dampaknya akan mengelaborasi dan sekaligus melatih pikiran, perasaan dan anggota badan dalam memahami semesta raya.
Di sini kita akan mencoba untuk menghadirkan jiwa kita di dalam membaca dan memahami keagungan Tuhan melalui makhluk-makhluk kecil maupun besar seolah-olah kita melihat wajah Tuhan di setiap obyek yang diamati sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 115, Wa lillâhil-masyriqu wal-maghribu fa ainamâ tuwallû fa tsamma waj-hullâh, innallâha wâsi‘un ‘alîm”. Hanya milik Tuhan timur dan barat, kemana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Tuhan. Sesungguhnya Tuhan Maha Luas lagi Maha Mengetahui.
Pengalaman empirik dari aktivitas tadabur alam mengungkapkan apa yang dirasakan berupa kemampuan untuk melihat sesuatu yang berada di alam lain—di mana kemampuan menyibak tirai dari alam gaib bagi setiap orang tidaklah sama, ada yang betul-betul gaib dan ada yang agak transparan, tergantung kejernihan batin dan tingkat prestasi spiritualnya. Ada orang yang memiliki mata, telinga, panca indra, firasat, dan intuisi yang sensitif yang mampu mendengarkan jeritan di dalam kubur, tetapi teman yang di sampingnya tidak mendengarkan apa-apa, seperti yang dialami para nabi bersama sahabatnya, dan juga para ulama.
Orang yang hatinya bersih dan jernih sangat berpotensi untuk melihat berbagai keajaiban setiap fenomena alam, bahkan yang berada di alam metafisika sekalipun sebagaimana sabda rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menyatakan “sekiranya bukan karena setan yang melindungi kalbu anak-anak cucu Adam, maka mereka bisa saja melihat alam metafisika”.
Jadi tujuan tadabur alam adalah untuk melatih sensitivitas jiwa dan rasa, sehingga membuka kesadaran kita untuk memuji dan mengagumi kebesaran Tuhan. Pada setiap kondisi dalam kehidupan ini, jiwa yang halus sangat dibutuhkan, terutama untuk terciptanya sebuah hubungan komunikasi makrokosmos yang stabil, yang interaktif yang dapat menajamkan spiritualitas dan logika.
Sebagai testimoni pengalaman spiritual pelaku tadabur alam mengisahkan, bahwa pada saat menghampiri obyek dari elemen alam semesta, lalu diamati, diajak berkomunikasi, akan timbul rasa haru dan cinta yang mendalam terhadap obyek tersebut, mungkin karena selama ini kita jarang (kalau kita enggan mengatakan) tidak pernah berkomunikasi layaknya dengan makhluk hidup. Tatkala kita berkomunikasi dengan elemen alam sambil membuang ego ke-diri-an, kita mengaku dihadapannya sebagai hamba yang sangat kecil dan terbatas, maka ketika itulah obyek yang diamati akan memancarkan auranya secara aktif sepertinya tersenyum dan mau memberikan pesan-pesan kepada kita.
Ketika itu kita sadar bahwa betapa kita tidak boleh sombong angkuh dan melampaui batas, maka saat yang bersamaan akan muncul dari dalam diri ini rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan atas dipilihnya sebagai khalifah yang mana seluruh makhluk tunduk kepada keutamaan manusia sebagai khalifah dan representasi Tuhan di alam raya.
Sebagai catatan pinggir untuk sebuah perenungan, ketika terjalin konektifitas yang harmonis antara kita (manusia) sebagai khalifah fil ardh dan makhluk lainnya di jagat raya ini, maka atmosfer kehidupan akan terasa damai dan keharmonisan semesta raya akan terwujud sebagai manifestasi dari rahmatan lil’alamin.[]