Selayang Pandang BO Sangaji Kai

BO Sangaji Kai (BSK) merupakan dokumen arsip sejarah Kerajaan Bima yang paling penting dari arsip-arsip BO yang lain. BSK setebal 642 halaman ini diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Obor Indonesia dengan bantuan Pemda Tingkat I Propinsi NTB dan Pemda Tingkat II Kabupaten Bima pada tahun 2000.

Sebagaimana yang tertera dalam daftar isi BSK, tertulis Kata Sambutan, Daftar Gambar, Pendahuluan, Teks BSK, dan Lampiran. Pada pendahuluan, penyunting BSK Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin menekankan bahwa sumber-sumber Eropa khususnya Belanda umumnya dianggap lebih berguna dari pada sumber-sumber lokal dalam penulisan sejarah karena mereka sudah berabad-abad mengembangkan pendokumentasian yang tepat dan lengkap.

Arsip-arsip yang dikembangkan oleh sejarawan Eropa selama berabad-abad itu sarat dengan fakta, angka, nama dan tanggal. Sementara sumber-sumber yang berbahas Melayu di Nusantara, menurutnya, seringkali memadukan mitos, legenda, dan sejarah. Yang menarik, berdasarkan hasil penelusurannya, BSK ini sangat berbeda dengan naskah-naskah lain di Nusantara karena BSK mencatat fakta sejarah, angka, nama, dan tanggal bahkan waktu penulisannya. Hal ini dapat dibaca dalam keseluruhan naskah BSK.

Sebagai contoh naskah (Hlm.32) Alamat turunan Sangaji. Dimulai dengan kalimat “Hijrat al-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama sanat 1149 tahun, tahun Dalawal, pada bilang Kamis empat likur hari bulan Rabiulakhir pada hari Ahad waktu zuhur ketika itulah Raja Bicara….”.  

Karena keunikan itu, Henri Chambert Loir dan Ruma Mari sangat tertarik meneliti dan mengkaji lebih lanjut naskah-naskah Samparaja. Hasil kerja keras mereka berdua yang dibantu oleh beberapa tim lainnya menghasilkan buku BSK yang sangat luar biasa ini.

Perjuangan mereka dalam mewujudkan BSK sebagai sebuah buku yang telah diterbitkan, bukan tanpa rintangan. Banyak hambatan yang mereka hadapi, terutama berkaitan dengan naskah-naskah BSK yang beraksara Arab Melayu lama yang rumit dibaca, lembaran-lembarannya kurang lengkap, percampuran Bahasa Melayu dengan Bahasa Bima, Jawa, Makassar, Belanda, dan Manggarai karena BSK meliput aktifitas-aktifitas sultan yang berhubungan dengan orang-orang dari berbagai wilayah dalam dan luar negeri bahkan meliput kejadian-kejadian pada masa kerajaan.

Penulisan BSK, sebenarnya sudah dimulai sejak masa pemerintahan Manggampo Jawa, Sangaji Mbojo ke-5. Sebagaimana dijelaskan oleh M. Hilir Ismail dalam bukunya yang berjudul “Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara” (hal. 37) bahwa Sangaji Manggampo Jawa mendatangkan seorang ahli bernama Ajar Panuli dari Jawa yang lihai dalam bidang pembuatan candi, batu bata dan tulis menulis.

Pada masa itulah BSK mulai dirintis penulisannya dengan menggunakan aksara Mbojo lama di atas daun lontar sebagaimana yang tertera dalam lampiran buku History of Java karya TS. Raffles. Namun catatan BSK ini tidak ditemukan lagi karena sudah terbakar bersamaan dengan terbakarnya Asi Mbojo pada masa lalu.

Baca Juga  Ke Mana Arah Pendidikan Kita?

Penulisan BSK dilanjutkan oleh Manggampo Donggo, raja Bima ke-12, dengan menggunakan aksara Bima turunan Lontara sebagaimana catatan Zollinger dan aksara Bugis lama. Kemudian pada masa Sultan Bima ke 2 Abil Khair Sirajudin penulisan BSK dan administrasi kesultanan diganti dengan menggunakan aksara Arab Melayu, aksara yang diridhoi oleh Allah Swt agar mudah dipahami oleh orang luar karena kesultanan Bima sudah menjalin hubungan dengan daerah-daerah lain di Nusantara.

Karenanya, penulisan BSK dengan aksara Bima sejak itu terhenti, walaupun sisa-sisa naskah yang beraksara Bima pada saat itu masih ada tapi kemudian lagi-lagi musnah terbakar bersamaan dengan terbakarnya Asi Mbojo yang kesekian kalinya, tinggal satu, dua naskah aksara Bima yang utuh (hasil salin ulang), selebihnya berupa lembaran-lembaran.

Dijelaskan dalam BSK bahwa terdapat tiga jenis pengaruh Bahasa Bima atas Bahasa Melayu dalam penulisannya. Pertama, penggunaan beberapa preposisi. Dalam Bahasa Bima terdapat beberapa preposisi untuk menunjukkan tempat (di dan ke) menurut letak tempat tersebut terhadap penutur. Untuk tempat yang terletak di bagian timur digunakan preposisi ese yang juga memiliki arti ‘atas’. Misalnya lao ese Sape, pergi ke Sape, lao ese Manggarai, pergi ke Manggarai. Untuk tempat di bagian barat digunakan kata awa. Tunjuk contoh, lao awa Sumbawa, pergi ke Sumbawa. Untuk tempat utara digunakan kata da, misalnya lao da Gowa, pergi ke Gowa.

Oleh karena itu dalam BSK muncul kalimat ‘berbelok ke atas’ (Nskh: 79), maksudnya belok ke timur. ‘Perahu terlalu ke bawah’ (Nskh: 80), artinya perahu terlalu ke barat. ‘Angin membawa atas Galesong’, maknanya ngin membawa ke timur Galesong (Nskh: 84).

Kedua, Penggunaan imbuhan Mbojo di samping ekuivalennya dalam Bahasa Melayu. Awalan ber– sering kali ditulis be – sebagai pengaruh dari awalan Mbojo ba (mis. becabang). Awalan me- kadang-kadang tidak mengindahkan sengau yang semestinya (meganti yang semestinya mengganti [Nskh: 24].

Hal ini sebagai pengaruh dari awalan kata Mbojo ma- (macepe, mengganti). Sufiks Mbojo –na dipakai (gantina, menjualna) di samping sufiks Melayu-nya. Tentang penggunaan sufiks na ini, penulis teringat ketika menterjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa Bima, di mana banyak penggunaan sufiks nya dalam terjemahan al-Qur’an. Kami penerjemah sepakat untuk menggunakan sufiks na untuk sufiks nya. Dan itu ternyata berkesesuaian dengan yang ada dalam BSK.

Baca Juga  Daur Ulang Penindasan: Pantulan Orwell

Terdapat juga kata-kata Bahasa Indonesia yang kami kesulitan mencari padanannya ke dalam Bahasa Bima semisal bepergian, persumpahan, permufakatan. Ternyata dalam BSK dijelaskan bahwa Bahasa Bima dari bepergian adalah ralao, berlari rarai, permufakatan ramufaka, persumpahan rasumpa.

 Menurut penulis, informasi ini sangat luar biasa memberi edukasi kepada generasi muda ternyata Bahasa Bima itu bisa di-Indonesia-kan karena bagi yang awam sangat sulit mengindonesiakan Bahasa Bima, mencari padanan kata itu butuh waktu. Contoh lain, kata lembo ade, sampai saat ini, penulis belum menemukan kata yang pas, cocok dan sepadan untuk mewakili makna terdalam dari kata lembo ade dalam Bahasa Indonesia.

Ketiga, Penggunaan kata Melayu yang merupakan terjemahan rancu dari kata-kata Mbojo. Misalnya satu petak tanah disebut sepiring oleh karena kata Mbojo pingga memiliki arti “petak” dan “piring“. Kata lawan dipakai dalam arti “dengan” karena bahasa Mbojo labo memiliki arti “lawan” dan “dengan”.

Ada juga kata-kata Melayu yang dipakai dalam arti baru karena mirip dengan bahasa Mbojo, misalnya; membawa bebas, ma wa’a beba, dalam arti sewenang-wenang. Terdapat juga ungkapan yang diterjemahkan secara harfiah dari Bahasa Mbojo, misalnya, orang baik-baik, dou ma taho-taho, dalam arti orang merdeka.

Terdapat juga pengaruh Jawa dalam penulisan BSK, terutama berkaitan dengan penulisan tanggal dan tahun. Misalnya naskah (hlm. 32) “sanat 1149 tahun, tahun Dalawal, pada bilang Kamis empat likur hari bulan Rabiulakhir pada hari Ahad, Kamis, 24 Rabiulawal 1149 H, tahun Dalawal. Pada naskah ini menggunakan 2 (dua) nama tahun yakni tahun hijriyah dan tahun Jawa. Sebagaimana diketahui dalam penanggalan Jawa itu terdapat istilah sewindu untuk selang waktu selama delapan tahun, menurut Sultan Agung, raja Kesultanan Mataram dengan nama-nama tahun: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Sementara dalam kalender naskah Bima ada perubahan nama, Alif, Ha, Jim, Za, Dalawal, Ba, Wawu, dan Dalakhir. Dalam penanggalan Jawa menggunakan Jimawal dan Jimakir tapi dalam penanggalan Bima memakai Dalawal dan Dalakhir. Barangkali ini kekhasan masing-masing daerah, perlu dikaji lebih lanjut. 


Ilustrasi: Kalikuma Studio

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *