BO Sangaji Kai (BSK) : Upaya Pewarisan dan Pelestarian Nilai

Pada bulan Juni – Juli 2024 ini, Perpustakaan Nasional bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara dan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Bima menyelenggarakan DKT Seri diskusi Pengarusutamaan Naskah Nusantara sebagai Ingatan Kolektif Nasional (IKON) secara daring. IKON-1 dan 2 sudah terselenggara pada bulan Juni. Untuk IKON-3 ini dilaksanakan pada Kamis, 18 Juli 2024 dengan tema “Bo Sangaji Kai dan Tantangan Pewarisan Nilai”. Nara sumber pada kegiatan tersebut, Dr. Muhammad Mutawali, MA. dan penulis sendiri. 

Tema tersebut mencakup beberapa pertanyaan mendasar di antaranya; nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam BO Sangaji Kai, disingkat BSK, masih relevankah nilai-nilai tersebut diterapkan pada masa kini dan mendatang, tantangan apa saja yang bakal dihadapi untuk penerapan nilai-nilai tersebut dan upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menerapkan nilai-nilai itu di masyaralat Bima saat ini dan masa mendatang.

Menjawab beberapa pertanyaan di atas tentunya harus membaca dan mencermati semua lembaran BSK yang berjumlah 642 halaman agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat disarikan satu persatu. Namun karena jumlah lembaran BSK yang begitu tebal, yang tentunya mengandung banyak nilai, tidak sempat penulis membaca semuanya, mudah-mudahan lain waktu dapat dibaca sampai tuntas. Oleh karena itu, dari hasil bacaan singkat BSK, penulis memetakan dari tiga sisi nilai; Nilai Sejarah, Nilai Agama, dan Nilai dalam Hukum Adat Tanah Bima (HATB).

Sebelum mengkaji mengenai nilai dalam BSK, maka perlu memahami terlebih dahulu apa itu makna nilai. Merujuk kamus besar Bahasa Indonesia, nilai diartikan sebagai harga, mutu, sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan dan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Jadi secara umum, nilai diartikan segala hal yang berhubungan dengan tingkah laku manusia mengenai baik buruk yang diukur oleh agama, tradisi, etika, moral, dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat.

Pertama, nilai sejarah yang terkandung dalam BSK yakni menyuguhkan sejarah panjang perjalanan Kerajaan dan Kesultanan Bima. Loir menjelaskan BSK bahkan meliput masa-masa sebelum penulisan BSK (h. xiii). Digambarkan bahwa kerajaan Bima merupakan sebuah kerajaan yang sangat teratur pemerintahannya serta luas hubungan dengan dunia luar. Kerajaan Bima pernah mengembangkan sebuah pola politik dan budaya yang canggih berkat kemakmuran yang dihasilkan oleh perniagaan.

BSK juga mengutip teks Jawa Kuno seperti Nagarakertagama dan Pararaton yang membuktikan bahwa pelabuhan Bima telah disinggahi sekitar abad ke-10 dan menjadi pusat perdagangan yang berarti karena telah disinggahi oleh para pedangang dari dalam dan luar negeri, di antaranya, Ambon, Banjar, Makassar, Banten, Palembang, Portugis dan China.

Pada dasawarsa kedua abad ke-16, Tome Pires yang mengunjungi Bima menjelaskan keadaan Bima sebagai berikut “Pulau Bima adalah pulau yang diperintah oleh seorang raja kafir. Dimilikinya banyak perahu dan banyak bahan makanan dan juga daging, ikan dan asam, dan juga banyak kayu sapang yang dibawa ke Malaka untuk dijual….Bima juga memiliki banyak budak, dan banyak kuda yang dibawa ke Jawa. Perdagangan di pulau itu ramai. Orangnya hitam berambut lurus. Terdapat banyak dusun, banyak orang dan banyak gunung. Orang yang berlayar ke Banda dan Maluku singgah disitu dan membeli berbagai jenis kain, yang kemudian dijualnya di Banda dan di Maluku. Pulau itu juga mempunyai sedikit emas. Mata uang Jawa berlaku disitu.

Dari kutipan singkat di atas menggambarkan bahwa orang Bima sejak dulu merupakan tipe pekerja keras, ulet mencari rejeki dan memiliki banyak hubungan dengan dunia luar dalam rangka berdagang untuk mendapatkan rejeki yang banyak nan halal. Hal ini sesuai dengan ungkapan Bima “Mori te’e rima tahopu pete loko”, hidup meminta-minta lebih baik ikat perut, maksudnya pantang bagi orang Bima makan tanpa bekerja. “Mori te’e rima tahopu siaku liro”, hidup menengadahkan tangan lebih baik menahan matahari, artinya lebih baik bekerja di terik matahari daripada meminta-minta.

BSK juga mencatat bahwa tradisi musyawarah dan mufakat, mbolo ro dampa, sangat dijunjung tinggi. Terbukti ketika sang Bima berkunjung ke Bima dan berinteraksi dengan para Ncuhi di tanah Bima, mereka kagum dan jatuh hati pada pembawaan dan kecakapan sang Bima sehingga para Ncuhi Bima sepakat meminta sang Bima untuk menjadi pemimpin mereka.

Sang Bima menerima permintaan tersebut tapi didelegasikan ke Ncuhi Dara karena sang Bima masih ada misi yang harus diselesaikan di wilayah timur. Sang Bima berjanji, suatu saat akan mengirim putra-putranya untuk menjadi pemimpin di tanah Bima dan itu terjadi sehingga raja Bima yang pertama adalah Indra Zamrud, anak sang Bima (BSK, h. 36).

Baca Juga  Dari Dialog Kebudayaan NTB 2025, Menteri Kebudayaan RI Tegaskan NTB Harus Miliki Balai Pelestarian Kebudayaan Sendiri

Begitu juga ketika raja Bima ke-11 Mawa’a Bilmana hendak menyerahkan jabatan kerajaan (Sangaji) kepada adiknya Manggampo Donggo dan dia sendiri menjadi Tureli Nggampo (Raja Bicara/Perdana Menteri) atas musyawarah dan mufakat dengan sekalian orang Bima (BSK h. 3).

Di samping budaya mbolo ro dampa, musyawarah dan mufakat, masyarakat Bima masa lalu juga terkenal dengan budaya tolong menolong yang diwujudkan dalam bentuk karawi kaboju, gotong royong. Seperti gotong royong membuat bendungan untuk pengairan sawah, karawi kaboju pemindahan rumah kayu, memanen padi/jagung (weha rima/bali rima), rawi mori (sunatan, pernikahan, khataman), rawi made (Tahlilan 1 -7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari meninggalnya almarhum)

Kedua, nilai agama. Pada awal masa kesultanan abad ke 17, BSK mencatat Islam masuk ke tanah Bima pada tahun 1609/1610 M dan dianut oleh raja dan rakyat Bima sehingga Bima berubah dari kerajaan menjadi kesultanan. Dijelaskan setelah beberapa lama sultan Abdul Kahir I mendalami agama pada kedua gurunya, Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro, mereka berdua hendak berpamitan kembali ke Mangkasar karena diminta oleh raja Goa. Sebagai gantinya, kedua gurunya itu meninggalkan kedua anaknya yang bernama Ince Nara Diraja dan Ince Jaya Indra untuk meneruskan dakwah di tanah Bima.

Oleh karenanya, sultan Abdul Kahir I (Rumata Mabata Wadu) bersumpah untuk mentaati ajaran Islam yang diajarkan oleh kedua gurunya dengan mengatakan: “Hai sekalian adat menteriku, sekalian gelarang-gelarang, aku menyaksikan perkataanku dan perjanjianku ini kepada Allah ta’ala Tuhan Yang Esa, dan kepada Rasulullah penghulu kita Nabi Muhammad Saw. dan kepada sekalian malaikat Allah. Maka barangsiapa yang merombak dan melaluinya perjanjianku dengan kedua guruku sampai turun-temurunnya sebagaimana yang tersebut dalam bub ini, itulah orang yang dimurkai Allah ta’ala, dan Rasulullah, dan segala malaikat, niscaya orang itu tiada mendapat selamat dunia akhirat, wa Allahu khair al-Syahidiin”.

BSK juga mencatat dalam sebuah pasal dalam HATB “Pertama hendaklah Raja, Jeneli, Tureli dan sekalia Gelarang mengerasi agama Islam seperti mendirikan sembahyang, dan puasa, dan mengeluarkan zakat, dan memelihara syahadat dan iman, dan mengetahui akan halal, dan haram, dan fardu, dan sunat, sah dan batal, makruh, dan mubah. Maka barang siapa yang tiada mendirikan yang demikian dimurkai Allah Subhanahu wa taala.

Kutipan di atas menggambarkan bahwa sultan Bima I sangat religius karena teguh dan taat menjalankan ajaran agama Islam sampai beliau bersumpah jika ada yang merombak, mengingkari atau melanggar sumpah beliau dengan guru-gurunya terkait memegang teguh ajaran Islam, akan mendapatkan kemurkaan dari Allah Swt, Nabi Muhammad saw, dan para sekalian Malaikat dan tidak akan selamat dunia dan akhirat.

Seri Diskusi Ingatan Kolektif Nasional di mana, penulis merupakan salah satu narasumbernya

Sultan juga memberi mereka tanah untuk ditinggali yang dinamai kampung Melayu dalam rangka menghormati dan memuliakan guru dan keturunannya yang telah berjasa mengislamkan tanah Bima dan ikut membantu tanah Bima dalam memerangi perompak laut yang menyusahkan orang-orang Bima. Di samping itu, sultan juga memberi tanah sawah untuk digarap tapi mereka menolak karena mereka terbiasa melaut, tidak terbiasa bertani, sehingga tanah sawah tersebut dinamai dengan Tolobali, sawah yang dikembalikan. Sebagai gantinya, mereka dibebaskan dari biaya pajak di pelabuhan Bima.

Terdapat ungkapan Bima “ulu nemba guru sawatipu nemba Ruma”. Ungkapan ini bukan dalam arti menyembah yang sebenarnya tapi sebagai kiasan begitu pentingnya menghormati guru, berakhlak yang baik kepada guru karena guru adalah pembuka jalan untuk mengetahui ajaran agama Allah Swt.

Terakhir, nilai yang terkandung dalam Hukum Adat Tanah Bima (HATB) di antaranya: Pertama, prinsip kesamaan di depan hukum. HATB menegaskan bahwa tidak ada pembedaan hukuman antara anak raja dengan orang biasa dan budak. Anak-anak raja yang membuat onar (menggemparkan negeri) didenda 80 real, anak-anak Raja yang turut serta dendanya 20 real. Orang baik-baik bersalah didenda 25 real, orang baik yang turut serta dendanya 10 real. Budak yang melakukan kesalahan (menggemparkan negeri) didenda 15 Real, budak yang turut serta dendanya 5 real.

 Kedua, prinsip keadilan dan kemanusiaan. Prinsip keadilan dapat dilihat dari aturan HATB yang menegaskan bahwa orang yang berpulang ke rahmatullah yang masih memiliki hutang, sementara dia tidak memiliki harta warisan, maka hutangnya dibebaskan. Begitu juga setiap orang yang mengambil barang orang lain dengan tidak sepatutnya, maka dia harus mengembalikan barang tersebut dan dikenai denda. Sementara prinsip kemanusiaan tergambar dalam pasal HATB yang melarang praktek perdagangan manusia. Walaupun pada saat itu masih marak perbudakan tetapi ada upaya dari HATB untuk menghapus praktek tersebut.   

Baca Juga  Tindak Lanjut Program WISE Initiative, La Rimpu Gelar TOT Kampo Mahawo untuk Fasilitator Desa

Ketiga, prinsip persamaan hak laki-laki dan perempuan. Hal ini ditunjukkan dalam pasal HATB tentang selarian yang tidak diakui oleh pihak perempuan, maka tidak diijinkan untuk dinikahkan. Sementara selarian yang diakui oleh kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan, diperbolehkan untuk dinikahkan.

Keempat, prinsip menjaga kehormatan. Kehormatan diri bagi warga Bima adalah harga mati. Oleh sebab itu, jika disenggol berkaitan dengan harga diri, maka orang Bima akan sangat marah. Dalam HATB dijelaskan pihak laki-laki yang membatalkan pertunangan harus memberi ganti rugi karena dia telah mencoreng nama baik keluarga pihak perempuan. Untuk menetralkan situasi tersebut, HATB memberikan jalan keluar dengan memberikan ganti rugi kepada pihak perempuan yang tersakiti. Dengan adanya ganti rugi, pihak laki-laki mengakui kekhilafannya sehigga pihak perempuan yang dirugikan merasa terhormat di depan umum.

Kelima, hak mendapatkan pasangan hidup dan keturunan. HATB menjelaskan bahwa orang Bima diperbolehkan untuk mendapatkan pasangan hidup baik calon pasangan hidup yang berasal dari Bima maupun luar Bima. Jika tidak dapat memiliki anak setelah beberapa tahun menikah (misalnya mandul atau alasan lainnya), maka diperbolehkan untuk menikah lagi dengan catatan ada izin dari istri dan para tetua. Jika hanya ijin isteri saja maka pernikahannya dianggap kurang kuat secara hukum.

Dalam mengimplementasikan nilai-nilai tersebut, menurut Mutawali (akademisi UIN Mataram), memiliki tantangan tersendiri. Ia mengetengahkan tiga tantangan krusial, di antaranya: Pertama, globalisasi; interaksi dan integrasi antara masyarakat dunia kian cepat dan mudah menyebabkan pola pikir dan pola hidup dapat dipengaruhi oleh budaya luar/asing sehingga melupakan nilai kearifan lokal.

Kedua, perubahan sosial, kehidupan urban/kota yang individualistik dapat mengaburkan nilai kehidupan sosial sebuah komunitas. Hilangnya interaksi sosial dan pergeseran nilai dapat menghilangkan minat terhadap kearifan dan budaya lokal. Ketiga, minimnya pengetahuan dan motivasi untuk belajar tentang nilai-nilai kearifan dan budaya lokal.

Oleh karenanya, perlu langkah-langkah tepat dan terukur agar nilai-nilai dalam BSK dapat dilestarikan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan, di antaranya: Pertama, memperkuat peran lembaga pendidikan umum dan agama dalam mengajarkan nilai-nilai agama dan nilai budaya lokal secara lebih mendalam. Hal ini ditunjang oleh adanya kurikulum Mulok tiap-tiap lembaga pendidikan.

Kedua, keteladanan dan peran model. Tokoh agama, tokoh masyarakat, dan orang tua sebagai panutan harus memberikan teladan kepada generasi penerus dalam menerapkan nilai-nilai agama dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, Kegiatan keagamaan seperti pengajian dan majlis taklim perlu disemarakkan kembali agar curahan ilmu agama oleh para ustadz dapat diserap oleh masyarakat. Begitu juga kegiatan budaya seperti festival budaya harus terus menerus dilaksanakan dalam rangka memperkenalkan nilai-nilai budaya kepada generasi penerus dan masyarakat luas.

Keempat, media sosial perlu dimanfaatkan untuk memperkenalkan nilai-nilai agama dan budaya Bima baik melalui konten podcast ataupun artikel sederhana yang menarik minat generasi muda. 

Mutawali, mengusulkan agar lembaga-lembaga adat yang ada di setiap kelurahan/desa diaktifkan kembali sebagaimana dipraktekkan pada masa kerajaan dan kesultanan dahulu. Kalau kita tengok di daerah tetangga kita, Lombok, lembaga adat sangat difungsikan dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat. Sebelum mereka membawa persoalan tersebut ke pihak yang berwajib, mereka terlebih dahulu menyelesaikannya di lembaga adat tiap-tiap desa. Jika lembaga adat tidak mampu menyelesaikannya, barulah mereka bawa ke Polisi dan Pengadilan.

Begitu halnya di Manggarai, lembaga adat betul-betul berfungsi dalam menyelesaikan persoalan yang timbul di masyarakat. Pada saat penulis ke Manggarai tahun 2022 dalam rangka melakukan penelitian bersama Prof. Abdul Wahid (Pengkaji agama dan Budaya di UIN Mataram), kapal bersandar di pelabuhan Labuan Bajo sekitar jam 04.00 wita. Kami memutuskan untuk mampir sembahyang subuh di Masjid Labuan Bajo. Ketika melewati sepanjang jalan dari pelabuhan menuju masjid, kami melihat banyak sepeda motor yang diparkir di luar rumah, di pinggir jalan.

Penulis iseng-iseng bertanya kepada sopir yang menjemput, apakah sepeda motor-sepeda motor itu tidak khawatir hilang? Sopir itu menjawab, tidak hilang, karena mereka takut dengan denda adat. Dendanya, kata sopir itu, lebih mahal dari harga motor. Atau mungkin ada alasan lain yang dipegang oleh masyarakat Manggarai sehingga mereka tidak sembarangan mengambil barang atau hak milik orang lain.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *