ADA satu diksi dari para orang tua kita yang mengandung makna sangat mendalam, yakni “belum turun ke sawah”, artinya ”belum kena lumpur”. Metafora ini jika diaplikasikan pada perjalanan hidup kita, menggambarkan kondisi yang belum sepenuhnya mengalami kesulitan, rintangan, atau tantangan yang sesungguhnya dalam kehidupan. Ini menekankan bahwa kehidupan bukan hanya tentang fase-fase yang mudah dan mulus, melainkan perjalanan yang penuh dengan berbagai ujian dan cobaan yang menguji ketahanan, keberanian, dan kemampuan untuk menghadapi masalah.
Dalam kehidupan nyata, “lumpur” adalah simbol dari kesulitan, ketidaknyamanan, masalah yang tak terduga, dan perjuangan yang harus dilalui untuk mencapai kematangan emosional dan intelektual.
Seseorang yang “belum turun ke sawah atau belum kena lumpur” dalam perjalanan hidup sering kali dianggap belum mengalami kesulitan yang cukup untuk membentuk karakternya secara utuh. Kesulitan hidup—seperti kegagalan, kehilangan, atau tekanan—membantu seseorang mengembangkan kualitas dirinya. Orang yang telah “kena lumpur” dalam hidup biasanya memiliki perspektif yang lebih dalam dan lebih luas karena mereka telah menghadapi berbagai tantangan yang memaksa mereka untuk berkembang, baik secara personal maupun sosial.
Misalnya, kita yang belum pernah mengalami kegagalan besar mungkin belum merasakan bagaimana pentingnya tekad dan ketekunan. Mungkin belum mengerti nilai dari kerja keras dan pengorbanan untuk mencapai tujuan yang berarti. Menghadapi lumpur kehidupan—kegagalan, kesulitan ekonomi, masalah kesehatan—bisa menjadi alat pembelajaran yang sangat efektif dalam membentuk kebijaksanaan hidup.
Seseorang yang telah “kena lumpur” dalam perjalanan hidup, akan senantiasa mengalami transformasi diri yang mendalam. Lumpur kehidupan, dalam hal ini, menjadi elemen yang menguji dan memperbaiki diri. Ini adalah proses yang tidak nyaman dan penuh dengan ketidakpastian, namun pada akhirnya membawa perubahan yang lebih baik dalam karakter, pemahaman, dan tujuan hidup.
Menghadapi lumpur dalam perjalanan hidup juga mempersiapkan kita untuk selalu siap dengan tantangan yang lebih besar di masa depan. Terbiasa dalam mengatasi masalah-masalah sulit dalam hidup akan memiliki ketangguhan mental dan emosional yang lebih kuat, dan akan lebih siap untuk menghadapi tantangan yang mungkin muncul di masa depan. Kata pepatah lawas ”Tidak ada nelayan yang lahir dari lautan yang tenang”.
Metafora “belum kena lumpur” juga mengandung makna bahwa hidup menjadi lebih bermakna ketika kita berani menghadapi tantangan dan tidak menghindar dari kesulitan. Kita yang telah “kena lumpur” biasanya memiliki kekayaan pengalaman yang tidak dimiliki oleh orang yang selalu hidup dalam kenyamanan. Mereka mungkin memiliki cerita yang lebih menarik, pelajaran yang lebih mendalam, dan koneksi emosional yang lebih kuat dengan orang-orang di sekitar mereka, tetapi ingat, bahwa pengalaman hidup yang penuh tantangan memberikan keberanian dan kedalaman yang sulit dicapai jika hidup hanya dilalui tanpa masalah.
Sebelum terjun ke dunia apa pun—baik bisnis, jabatan, atau karier—memiliki pengalaman terlebih dahulu adalah hal yang sangat penting. Ini adalah esensi dari metafora “belum kena lumpur,” yang menekankan bahwa tanpa pengalaman nyata, seseorang mungkin tidak siap untuk menghadapi tantangan sesungguhnya yang ada di lapangan. Pengalaman ini memberi pemahaman kepada kita tidak hanya pemahaman teknis atau teoretis, tetapi juga keterampilan praktis dan ketangguhan mental yang dibutuhkan untuk berhasil di dunia yang penuh dengan ketidakpastian.
Seseorang yang belum memiliki pengalaman kerja atau belum “kena lumpur” sering kali melihat dunia bisnis, jabatan, atau karier dengan pandangan yang idealistis atau teoretis. Mereka mungkin memiliki pengetahuan yang mendalam dari sisi akademis, namun belum menghadapi realitas yang lebih kompleks.
Pengalaman langsung memungkinkan untuk mengembangkan keterampilan praktis yang sering kali tidak diajarkan dalam pendidikan formal. Keterampilan ini meliputi kemampuan berkomunikasi, pemecahan masalah dalam situasi krisis, manajemen waktu, dan pengambilan keputusan cepat di bawah tekanan. Ini adalah keterampilan yang hanya dapat diperoleh melalui pengalaman kerja langsung, di mana seseorang benar-benar merasakan konsekuensi dari setiap keputusan yang dibuat.
Salah satu aspek penting dari metafora “kena lumpur” adalah mengembangkan ketangguhan mental dan emosional. Terjun ke dalam dunia bisnis, karier, atau jabatan tanpa pengalaman sering kali membuat seseorang kurang siap menghadapi tekanan dan tantangan emosional yang datang bersamaan dengan tanggung jawab tersebut. Stres, ketidakpastian, dan kegagalan adalah bagian alami dari perjalanan apa pun, dan pengalaman sebelumnya sangat membantu untuk membangun daya tahan terhadap tekanan.
Dalam dunia jabatan atau karier, interaksi sosial dan dinamika dalam organisasi adalah bagian dari makna metafora ”kena lumpur” dan hal itu sangat penting. Tanpa pengalaman, kita mungkin tidak memahami sepenuhnya bagaimana bekerja dalam tim, bernegosiasi, atau menavigasi politik internal dalam sebuah organisasi.
Seorang pemimpin yang belum pernah bekerja dalam sebuah tim, mungkin tidak menyadari pentingnya komunikasi atau tidak peka terhadap kebutuhan psikologis anggota timnya. Pengalaman dalam situasi serupa memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana mengelola hubungan interpersonal di tempat kerja dan memastikan bahwa semua orang bekerja dengan harmonis dan produktif.
Sebagai catatan pinggir, metafora “belum turun ke sawah atau belum kena lumpur” menggambarkan seseorang yang belum mengalami ujian atau tantangan nyata dalam kehidupan, yang merupakan bagian integral dari pertumbuhan dan pengembangan diri. Metafora ini mengajarkan kebijaksanaan kepada kita, pentingnya belajar dari pengalaman. Menghadapi tantangan yang nyata memungkinkan kita untuk berkembang dan matang secara emosional, spiritual, dan intelektual. Agama mengajarkan bahwa iman tidak hanya terbentuk melalui teori atau ritual, tetapi juga melalui ujian kehidupan. Menghadapi tantangan berarti “turun ke sawah” dan menghadapinya dengan kesabaran dan keteguhan.
Pengalaman nyata, tantangan, dan ujian hidup merupakan bagian penting dari perjalanan spiritual. Melalui proses ini, keimanan diperkuat, tanggung jawab terhadap sesama dan terhadap Tuhan diperjelas.
”Wa lanabluwannakum bisyai`in minal-khaufi wal-jụ’i wa naqṣin minal-amwāli wal-anfusi waṡ-ṡamarāt, wa basysyiriṣ-ṣābirīn”. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al Baqarah ayat 155).[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram