Di sebuah kota kecil, hiduplah seorang anak bernama Fulan. Fulan adalah seorang remaja yang penuh semangat, tetapi sering kali dia terlibat dalam pertengkaran dengan ibunya. Suatu malam, setelah perdebatan sengit dengan sang ibu, si Fulan dengan marah memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia merasa tidak dipahami oleh ibunya dan pikirannya dikuasai oleh rasa kecewa.
Fulan dengan langkah cepat berjalan menjauh meninggalkan rumah, tanpa memikirkan konsekuensi dari tindakannya. Dia merasa bebas, tetapi tidak lama setelah itu, rasa kesepian dan penyesalan mulai menyelimuti hatinya.
Hari demi hari berlalu, dan Fulan menghabiskan waktu di jalanan, tidur di tempat-tempat sembarangan, dan menjauh dari keluarganya. Dia menyadari bahwa kebebasan yang dia impikan tidak semanis yang dia bayangkan. Malam-malamnya dihabiskan dalam kerinduan akan rumah dan kasih sayang ibunya yang selalu memeluknya saat ia pulang. Hatinya dipenuhi penyesalan saat mengingat wajah ibunya yang penuh cinta.
Setelah beberapa minggu menjalani kehidupan yang penuh kesulitan, Fulan merasa lelah. Rindu akan rumah semakin membara, dan dia memutuskan untuk kembali. Malam itu, ketika bulan purnama bersinar cerah, Fulan berjalan pulang dengan langkah berat, tetapi penuh harapan. Saat ia mendekati rumah, dia merasakan detak jantungnya berdebar. “Apa ibuku akan memaafkanku?” pikirnya.
Sesampainya di depan rumah, dia melihat bahwa pintu rumah tidak terkunci. Hatinya bergetar. Dia mengingat semua kenangan indah bersama ibunya. Dengan hati-hati, dia mendorong pintu dan masuk ke dalam rumah.
Suasana di dalam rumah sunyi dan tenang. Fulan melangkah pelan, berusaha untuk tidak mengganggu ketenangan malam itu. Ketika dia melihat ke arah ruang tamu, matanya tertuju pada sosok yang akrab. Ibunya sedang shalat di sudut ruangan, tampak khusyuk dan damai. Cahaya lampu temaram menerangi wajahnya, menambah kesan khidmat pada suasana.
Setelah ibunya selesai shalat, Fulan tidak bisa menahan air matanya. Dia mem;uk ibunya dari belakang. Dengan suara penuh emosi, Fulan berkata, “Ibu, saya pulang, maafkan aku. Ibunya tertegun sejenak, lalu dengan lembut menarik Farhan ke dalam pelukannya. “Aku sudah memaafkanmu semenjak kamu meninggalkan rumah,” jawab ibunya sambil mengusap punggung Fulan.
Malam itu, setelah mereka melepas rindu, Fulan menatap ibunya dan bertanya, “Ibu, mengapa pintu rumah tidak dikunci?” Ibunya tersenyum lembut, “Semenjak kamu pergi dari rumah, ibu tidak pernah mengunci pintu. Ibu yakin bahwa kamu pasti akan kembali.”
Jika kita tarik intisari dari kisah di atas ke dalam hubungan hamba dengan Tuhan, maka kisah ini menjadi ibrah bagi kita sebagai refleksi diri yang mendalam tentang cinta dan ampunan Tuhan yang selalu menanti hambanya untuk kembali. Dalam kehidupan, sering kali kita membuat kesalahan dan merasa tak layak kembali kepada Tuhan, akan tetapi ingatlah, bahwa justru di saat-saat itulah sesungguhnya Tuhan tidak pernah menutup pintu maaf-Nya.
Ibrah dari kisah ini mengajarkan kita bahwa sejauh mana pun kita tersesat, atau sebanyak apa pun kesalahan yang kita lakukan, rahmat dan pengampunan Tuhan tetap luas. “Qul yâ ‘ibâdiyalladzîna asrafû ‘alâ anfusihim lâ taqnathû mir raḫmatillâh, innallâha yaghfirudz-dzunûba jamî‘â, innahû huwal-ghafûrur-raḫîm”. Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Tuhan.
Sesungguhnya Tuhan akan mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya, Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53)
Sesungguhnya Tuhan akan mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya, Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53)
Seperti ibu yang yakin bahwa Fulan akan kembali di dalam kisah di atas, Tuhan pun memiliki kasih sayang yang melebihi kasih seorang ibu kepada anaknya.
Ketahuilah bahwa Tuhan tidak pernah menutup pintu maaf-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang berkeinginan untuk kembali. Kapan pun kita siap untuk berbalik dari jalan yang salah, pintu pengampunan itu selalu terbuka.
Ketahuilah bahwa Tuhan tidak pernah menutup pintu maaf-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang berkeinginan untuk kembali. Kapan pun kita siap untuk berbalik dari jalan yang salah, pintu pengampunan itu selalu terbuka.
Pintu kasih sayang dan pintu maaf Tuhan sebagaimana ibrah dari kisah dan ayat di atas, membuka ruang bagi pemahaman kita yang lebih mendalam tentang cinta, pengampunan, dan hubungan spiritual. Kasih sayang Tuhan bersifat abadi dan tidak tergantung pada tindakan kita. Ini menyadarkan kita, bahwa meskipun kita mungkin menjauh dari-Nya atau membuat kesalahan, pintu kasih sayang-Nya selalu terbuka untuk kita kembali.
Kasih sayang seorang ibu yang menunggu dan tidak mengunci pintu didalam kisah di atas, melambangkan bahwa cinta itu tak bersyarat, sebagaimana cintanya Tuhan kepada umat-Nya. Pintu kasih sayang dan maaf-Nya selalu terbuka, terlepas dari seberapa jauh kita tersesat. Ini menekankan bahwa Tuhan selalu menerima kita kembali tanpa syarat kapan pun, asalkan kita datang dengan hati yang penuh penyesalan dan niat untuk berubah.
Tuhan menginginkan agar umat-Nya selalu memiliki harapan untuk kembali kepada-Nya, bahkan dalam masa-masa sulit atau saat kita merasa jauh dari-Nya, harapan hendaknya menjadi penggerak untuk kembali ke jalan yang benar. Ini mengajarkan bahwa kita tidak boleh kehilangan harapan, walau dalam kondisi yang memaksa kita untuk putus asa.
Pergi dari rumah dan kembali lagi dalam kisah di atas, bisa dimaknai sebagai perjalanan spiritual. Dalam konteks ini, kehidupan adalah perjalanan, di mana kita mungkin tersesat, tetapi selalu ada kesempatan untuk kembali. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas melibatkan proses pembelajaran, memberikan kita ruang untuk tumbuh dan belajar dari perjalanan hidup yang kita lalui.
Sebagai catatan pinggir, apapun bentuk kedurhakaan kita kepada Tuhan, jangan pernah putus asa, jangan pernah berburuk sangka kepada Tuhan. Senantiasalah berpikir positif dan optimis, sebagaimana nasehat lawas menegaskan, ”Bahkan dalam kegelapan malam, percayalah bahwa sinar fajar telah dekat”. Ini artinya kita hendaknya tetap optimis dan percaya bahwa setelah setiap malam yang gelap, akan ada fajar yang menyinari hari. Menghadapi tantangan dengan sikap positif, kesabaran, dan keyakinan adalah kunci untuk melewati masa-masa sulit. Pesan ini sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari, dan mengingatkan bahwa kita tidak akan mengalami keadaan yang permanen, namun akan selalu ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram