Tuhan telah Berbuat, kini Giliran Kita

Sebagai khalifah, kita diberikan peran dan tanggung jawab oleh Tuhan untuk memelihara, mengelola, dan sekaligus melestarikan bumi dan segala isinya. Dalam perspektif agama, konsep khalifah merujuk pada peran manusia sebagai wakil Tuhan di bumi, yang memiliki tanggung jawab sosial yang sangat besar. Tanggung jawab ini bukan hanya terhadap sesama, tetapi juga terhadap lingkungan, terutama bagaimana mengelola, melestarikan, dan merawatnya. Di dalam firman-Nya, Tuhan menciptakan jagat raya dan isinya untuk hidup dalam kerjasama dan saling membantu. Oleh karenanya, sebagai khalifah, setiap diri harus aktif dalam memberikan kontribusi untuk kesejahteraan sosial, termasuk saling menolong, memberikan perhatian, menyediakan keadilan, dan menjaga hak-hak orang lain.

Peran khalifah juga mengandung tanggung jawab moral dan etis, kita tidak hanya diberikan kebebasan untuk memanfaatkan sumber daya alam, tetapi juga dibebani kewajiban untuk tidak merusak atau mengeksploitasinya secara berlebihan. Dalam hal ini, tanggung jawab sosial itu berkaitan erat dengan keberlanjutan dan keseimbangan, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam interaksi dengan alam.

Bagi yang tidak memahami konsep dirinya sebagai khalifah, akan selalu menyoal Tuhan pada setiap gejala dan kondisi yang ia temukan dalam perjalanan hidupnya. Akan tetapi bagi yang memahami konsep khalifah yang melekat pada dirinya, akan terasa malu bila bertemu dengan kondisi yang mengharuskan dirinya berbuat, tetapi dia tidak melakukan sesuatu. Mari kita perhatikan beberapa kondisi yang seharusnya menjadi bagian dari perhatian kita, tetapi seringkali kita abai dan lagi-lagi kita menyoal Tuhan dalam kondisi tersebut.

Seorang pria berjalan melewati pengemis, dan di dalam hatinya bertanya, Tuhan mengapa engkau tidak melakukan sesuatu untuk orang ini? Tuhan menjawab, aku sudah berbuat sesuatu, aku menciptakanmu.
Seorang pria berjalan melewati perkampungan yang sedang teraniaya oleh rezim yang zalim, dan pria itu di dalam hatinya bertanya, Tuhan mengapa Engkau tidak melakukan sesuatu untuk penduduk kampung ini? Tuhan menjawab, aku sudah berbuat sesuatu, aku menciptakanmu.

Seorang pria berjalan melewati suatu kampung yang dilanda banjir, dan pria itu di dalam hatinya bertanya, Tuhan mengapa Engkau tidak melakukan sesuatu untuk penduduk kampung ini? Tuhan menjawab, aku sudah berbuat sesuatu, aku menciptakanmu.
Seorang pria berjalan melewati kamar inap di rumah sakit, bertemu dengan orang-orang yang sakit, dan pria itu di dalam hatinya bertanya, Tuhan mengapa Engkau tidak melakukan sesuatu untuk para fasien ini? Tuhan menjawab, aku sudah berbuat sesuatu, aku menciptakanmu.

Seorang pria berjalan melewati perkampungan kumuh dan miskin, dan pria itu di dalam hatinya bertanya, Tuhan mengapa Engkau tidak melakukan sesuatu untuk penduduk kampung ini? Tuhan menjawab, aku sudah berbuat sesuatu, aku menciptakanmu.
Seorang pria berjalan melewati suatu daerah yang tandus dan gersang, dan pria itu di dalam hatinya bertanya, Tuhan mengapa Engkau tidak melakukan sesuatu terhadap daerah ini? Tuhan menjawab, aku sudah berbuat sesuatu, aku menciptakanmu.

Kalimat dalam paragraf-paragraf di atas, bila kita jadikan bahan perenungan, sesungguhnya ia memiliki makna yang cukup mendalam tentang tanggung jawab sosial dan peran kita sebagai manusia untuk peduli. Di dalam paragraf-paragraf di atas, seorang pria mempertanyakan mengapa Tuhan tidak melakukan sesuatu?. Dan jawaban Tuhan, “Aku sudah berbuat sesuatu, aku menciptakanmu.” Itu menunjukkan bahwa didalam diri ini mengalir sifat asasi sebagai makhluk sosial, yang memiliki kepedulian untuk saling membantu.

Makna yang dapat diambil dari kalimat dalam paragraf-paragraf itu adalah bahwa Tuhan memberi kita kemampuan dan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Alih-alih hanya berharap Tuhan melakukan sesuatu, kitalah yang seharusnya menyadari bahwa kita telah diberikan kemampuan untuk tugas tersebut. Dalam konteks ini, Tuhan mengingatkan bahwa kita adalah bagian dari solusi terhadap kesulitan orang lain, dan dengan tindakan kita, akan bisa membawa perubahan positif dalam hidup seseorang yang membutuhkan.
Secara lebih luas, kalimat itu mengajak kita untuk lebih peka terhadap kondisi sekitar, untuk tidak hanya menyandarkan harapan bahwa Tuhan akan turun tangan, tetapi juga kita hendaknya bertindak sebagai agen kebaikan di dunia.

Ketahuilah bahwa kepekaan diri terhadap kondisi sekitar adalah kualitas yang sangat penting dalam kehidupan kita, baik dalam konteks sosial maupun spiritual. Kepekaan ini berkaitan dengan kemampuan untuk merasakan, memahami, dan bertindak terhadap realitas yang ada di sekitar kita.

Kepekaan sosial mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat dunia melalui perspektif pribadi, tetapi juga dari sudut pandang orang lain. Ketika kita bisa merasakan dan memahami penderitaan orang lain, kita lebih terdorong untuk bertindak mengubah keadaan tersebut.

”Laisal-birra an tuwallû wujûhakum qibalal-masyriqi wal-maghribi wa lâkinnal-birra man âmana billâhi wal-yaumil-âkhiri wal-malâ’ikati wal-kitâbi wan-nabiyyîn, wa âtal-mâla ‘alâ ḫubbihî dzawil-qurbâ wal-yatâmâ wal-masâkîna wabnas-sabîli was-sâ’ilîna wa fir-riqâb, wa aqâmash-shalâta wa âtaz-zakâh, wal-mûfûna bi‘ahdihim idzâ ‘âhadû, wash-shâbirîna fil-ba’sâ’i wadl-dlarrâ’i wa ḫînal-ba’s, ulâ’ikalladzîna shadaqû, wa ulâ’ika humul-muttaqûn”.

“Bukanlah sifat kebajikan itu menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu adalah siapa yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, anak jalanan, orang yang meminta, dan untuk membebaskan hamba sahaya.” (QS. Al-Baqarah:177).

Kepekaan terhadap kondisi sekitar adalah manifestasi dari kesadaran akan tanggung jawab kita sebagai khalifah di bumi. Tidak cukup hanya dengan berdoa dan berharap Tuhan akan turun tangan, tetapi kita juga harus bertindak sebagai wakil Tuhan, menjadikan diri kita sebagai agen perubahan.

Kepekaan ini mengajarkan kita untuk peduli terhadap sesama, untuk tidak menutup mata terhadap penderitaan, dan untuk berusaha mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik melalui tindakan nyata. Kata novelis Leo Tolstoy berkebangsaan Rusia, “Semua orang ingin mengubah dunia, namun tidak ada yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.”[]

Ilustrasi: Kalikuma Studio 

1 komentar untuk “Tuhan telah Berbuat, kini Giliran Kita”

  1. Teringat pesan sederhana kiyai AaGim dg 3M.
    Mulai dari diri sendiri
    Mulai dari yang kecil kecil
    Mulai dari sekarang
    Semangat dan berkah selalu pak Prof

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *