Sejarah perkembangan hukum islam di Indonesia dimulai dari masuknya agama islam yang menurut teori dibawa oleh para pedagang muslim Gujarat hingga pedagang semenanjung Arab pada abad ke-7 Masehi. Selain berdagang, mereka juga datang untuk menetap dan menyebarkan syariat-syariat agama islam dengan berbagai cara damai.
Karena para penyebar agama Islam ini datang dengan cara yang baik dan damai, maka agama islam dengan mudah diterima baik secara kultural maupun struktural oleh masyarakat nusantara. Agama Islam dengan mudah masuk kedalam kehidupan masyarakat nusantara dan bersanding dengan ajaran-ajaran agama Hindu-Buddha, hingga keyakinan animisme-dinanisme yang lebih dahulu dikenal dan dianut oleh kebanyakan masyarakat Nusantara kala itu.
Berkembangnya Islam di Nusantara dapat diketahui melalui berdirinya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Nusantara. Tertuang dalam catatan perjalanan Ibnu Batutah, bahwa ia melalukan perjalanan ke Kerajaan Samudera Pasai di Aceh pada tahun 1267- 1521 M dan dikatakan bahwa kerajaan ini telah menerapkan ajaran-ajaran mazhab Syafi’i dengan baik.
Kemudian terdapat Kerajaan Demak yang menjadi kerajaan Islam terbesar di Pulau Jawa, dan Kerajaan Gowa dan Tallo yang menjadi basis perkembangan Islam di wilayah Makassar dan sekitarnya. Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam maupun yang bercorak islam pada masa dahulu merupakan bukti bahwa agama Islam merupakan agama yang mudah diterima dan tersebar secara damai di seluruh wilayah Nusantara.
Sebelum datangnya para penjajah ke Nusantara, agama Islam dan ajaran serta hukum-hukumnya sudah lama diterapkan oleh masyarakat penganut agama Islam. Ajaran Islam dianut sesuai dengan perintah-perintah yang terkandung dalam al-Quran, Hadis, dan pendapat ulama-ulama.
Selain terbukti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam, agama Islam juga diiketahui berkembang melalui peninggalan sejarah yang bisa kita temui hingga saat ini yang berupa masjid-masjid, surau, madrasah/pesantren yang telah berdiri jauh sebelum para penjajah datang ke Nusantara.
Perkembangan agama Islam pada masa penjajahan dapat diketahui melalui bagaimana para penjajah berusaha mencampur atau mengkomparasi hukum-hukum Islam yang pada saat itu dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, dengan hukum-hukum produk kolonial atau negara penjajah itu sendiri. Kondisi hukum Islam pada masa penjajahan Belanda terbagi menjadi dua tahap.
Pertama, Belanda memberi toleransi dan ruang bagi pelaksanaan dan perkembangan hukum Islam secara penuh, dan pada masa ini Belanda mengakuui keberadaan hukum Islam dengan pemberlakuan hukum perkawinan dan kewarisan Islam.
Kedua, Belanda melakukan intervensi kedalam pelaksanaan hukum Islam dengan menghadapkannya dengan hukum adat, di mana hukum Islam bisa diterima jika sesuai dengan hukum adat. Kondisi kedua ini bertujuan untuk mempersempit gerakan berlakunya hukum Islam di Indonesia.
Pemberlakuan hukum Islam di Indonesia dapat diketahui melalui teori-teori yang gagas oleh tokoh-tokoh ahli hukum berdasarkan pada kondisi faktual masyarakat Indonesia pada masa kolonialisme. Di antaranya adalah, pemberlakuan hukum Islam didasarkan ketika seseorang mengikrarkan diri menjadi seorang muslim, maka secara otomatis ia mengakui dan bersedia menjalankan dan mengamalkan seluruh hukum-hukum agama Islam.
Teori ini digagas oleh H.A.R Gibb yang dikenal dengan teori Syahadah/Kredo. Teori ini dianggap dapat menjamin eksistensi dan prospek hukum Islam di Indonesia. Sampai saat ini pun, teori syahadah dapat dikatakan masih berlaku dalam masyakarat Indonesia. Ditandai dengan konsistennya pemberlakuan dan penegakan hukum Islam bagi masyarakat yang menganut agama Islam.
Aktualisasi teori syahadah mengisyaratkan agar sebagai umat beragama yang taat, sudah seharusnya untuk menegakkan ajaran-ajaran agama masing-masing sebagai konsekuensi logis atas apa yang telah diikrarkan/diperjanjikan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah hukum Islam berlaku secara menyeluruh, Belanda mulai membatasi ruang gerak pemberlakuan hukum Islam. Dibuktikan dengan lahirnya teori Receptio in Complexu, yaitu ketika tatanan adat mulai dimasukkan dan hal ini mau tidak mau diterima karena masyarakat muslim Indonesia juga merupakan bagian dari tatanan adat yang tidak boleh ditolak. Dalam kondisi ini, tampak Belanda ingin merenggangkan ikatan umat Islam terhadap hukum Islam itu sendiri, sehingga posisi hukum Islam mulai mengalami pergeseran.
Kemudian munculah keinginan Belanda untuk menggeser posisi hukum Islam dengan menggunakan hukum adat sebagai senjata. Hal ini diketahui melalui pemberlakuan teori Receptie. Di mana hukum Islam tidak secara otomatis berlaku bagi orang islam. Hukum Islam hanya berlaku jika diterima/diresepsi oleh hukum adat, dan hukum adatlah yang menjadi penentu berlaku tidaknya hukum Islam tersebut.
Setelah Indonesia merdeka, posisi hukum Islam mulai menemukan jalannya kembali. Dimana pemerintah mulai menggeser semua aturan Belanda yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Falsafah Negara. Dengan begitu, seluruh peraturan Belanda yang berdasar teori Receptie harus Exit (keluar) karena jelas bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Teori Receptie Exit mengandung makna bahwa semua hukum yang berlaku di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 yang mengayomi semua hukum-hukum agama di Indonesia, khususnya agama Islam.
Lahirlah teori Receptie a Contrario sebagai lanjutan dari teori Exit. Teori ini menegaskan bahwa hukum adat berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum islam. Teori ini memposisikan hukum Islam lebih didahulukan daripada hukum adat.
Kemudian Teori Recoin / Receptio Contextual Interpretatio melanjutkan teori-teori pendukung hukum Islam sebelumnya. Teori ini menginginkan penafsiran ayat-ayat hukum al-Quran tidak hanya dilakukan dengan tekstual, namun juga kontekstual.
Pengaktualisasian teori-teori ini dapat ditemukan melalui pemikiran para intelektual muslim yang tidak berhenti pada satu penafsiran saja dalam menafsirkan ayat al-Quran dan Hadis. Islam dalam berijtihad bebas memberi ruang untuk berinovasi dan berekspresi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan Hadis demi terciptanya hukum yang sesuai dengan zaman dan tempat untuk kemaslahatan umat. Di mana kemudian menghasilkan peraturan-peraturan hukum nasional berlandaskan hukum islam dan masih terapkan hingga saat ini.
Diterapkannya peraturan-peraturan hukum nasional yang berlandaskan hukum Islam merupakan bentuk nyata eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa hukum-hukum Islam memiliki kepastian dan wibawa hukum, serta sejalan dengan dasar dan falsafah negara.
Hukum Islam yang menjadi dasar dari beberapa peraturan perundangan nasional seperti pada UU No.16 Tahun 2019 j.o UU No. 1 tahun 1974 tentan Perkawinan, Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No.14 tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman (didalamnya terdapat Peradilan Agama), UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan peraturan tertulis maupun tidak tertulis lainnya.
Di mana perundang-undangan ini masih tetap berlaku dan disertai dengan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram