Lembaran yang Terbungkam

Lembaran yang Terbungkam adalah sebuah metafora yang menggambarkan sesuatu yang dipendam, disembunyikan, atau bahkan dilupakan. Ia mencerminkan ruang-ruang dalam kehidupan yang tidak layak diperdengarkan, namun tetap menyimpan kisah-kisah penting yang lebih indah jika ia tak terungkap.

Dalam konteks ini, “lembaran” bukan sekadar lembaran kertas atau dokumen, bukan pula sekadar sebuah istilah, akan tetapi sebuah simbol dari potongan-potongan realitas yang terpinggirkan atau dibungkam oleh berbagai latar—sebuah gambaran tentang elemen kehidupan yang penuh dengan cerita yang lebih indah untuk tidak diceritakan.

Ada ungkapan senada dalam diskusi para ahli hikmah yang berbunyi, “Ada lembaran yang tidak harus dibaca bersuara, tetapi dibaca di dalam hati”. Maksud metafora ini semisal dengan yang tertulis di awal paragraf pertama, bahwa tidak semua hal dalam hidup dapat diekspresikan melalui kata-kata atau verbal.

Ada pengalaman yang hanya bisa dirasakan dan dipahami dalam keheningan. Lembaran dalam ungkapan ini melambangkan kenangan, perjalanan hidup, atau perasaan yang begitu personal sehingga hanya hati yang pantas “membacanya.”

Kedua metafora di atas menggambarkan adanya dimensi dari lembaran kehidupan kita yang tidak perlu atau tak patut untuk disuarakan atau dikabarkan. Lembaran yang mewakili bagian dari perjalanan hidup—pengalaman, kenangan, dan emosi—yang memiliki sifat personal,  privat, sakral, dan terkadang berat untuk dijelaskan.

Ada pengalaman hidup yang terlalu intim untuk dibagikan, seperti luka batin, kehilangan, atau beratnya perjuangan, yang seringkali hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh diri sendiri yang mengalaminya. Membaca lembaran ini di dalam hati memungkinkan kita untuk meresapi maknanya secara lebih mendalam tanpa campur tangan atau interpretasi eksternal. Keheningan dalam membaca lembaran ini memberi ruang untuk refleksi, introspeksi, internalisasi, dan kedamaian diri.

Beberapa pengalaman hidup yang terangkum dalam lembaran yang terbungkam, yang hanya pantas dibaca dengan tak bersuara, seperti pengalaman ibadah misalnya, berupa kebiasaan melaksanakan salat tahajud di sepertiga malam yang sunyi, merasa begitu dekat dengan Tuhan. Dalam sujud, mungkin menangis tanpa kata-kata, merasakan pengampunan, harapan, atau kedamaian. Kondisi ini cukup dibaca didalam hati, sehingga tidak terdengar oleh siapapun, cukup hanya kita sendiri yang mendengarnya.

Baca Juga  Alam Bawah Sadar Orang Beriman

Atau pengalaman hidup berupa kesedihan saat melihat teman-teman lain berbahagia, dan seketika berpikir “Mengapa aku tidak seberuntung mereka?” Namun, di saat yang sama, kita menyadari bahwa kebahagiaan mereka juga merupakan bagian dari rencana Tuhan, dan kesedihannya adalah bentuk ujian. Kesadaran seperti ini juga hanya pantas dibaca dengan tak bersuara.

Atau pernah berada dalam keadaan terhimpit akibat kesulitan ekonomi, dan merasa kesepian, karena tidak ada yang berempati atas kondisi yang menimpa. Namun, tetap berdoa dalam hati, mengingat bahwa Tuhan adalah satu-satunya tempat berkeluh kesah yang ramah dan penolong yang sejati. Pengalaman ini pun bagian dari situasi yang hanya pantas dibaca dengan tidak bersuara, karena tidak banyak orang yang memiliki empati terhadap kondisi yang kita alami.

Ataupun mungkin kita pernah melakukan kesalahan besar dan duduk dalam diam, merenungi akibat dari perbuatan itu. Pengalaman semacam ini pun tidak pantas untuk menjadi cerita, tetapi cukup dibaca oleh hati yang penuh rasa penyesalan dan bertekad untuk memperbaiki diri. Kondisi ini lebih pantas untuk dibungkam—kita baca didalam hati untuk internalisasi diri.

Itulah beberapa episode dari kondisi diri yang lebih pantas dibaca dalam keheningan ketimbang dibaca dengan bersuara, tentunya masih banyak episode kehidupan yang lain yang tidak bisa diungkap dalam kolom hikmah ini. Perlu kita ingat bahwa di dalam tradisi spiritual, keheningan sering dianggap sebagai bentuk kebijaksanaan tertinggi—dalam diam kita tidak hanya memahami diri sendiri tetapi juga memahami orang lain. Ada makna bahwa dalam hening, hati menjadi pembaca sejati dari “lembaran” kehidupan kita, mengenali maknanya tanpa harus menerjemahkannya ke dalam bahasa verbal.

Ada istilah merenung, tafakkur, nyepi atau dalam diksi Barat Silent retreat, suatu bentuk disiplin rohani yang mendalam dengan aktivitas mengenyampingkan suara dunia luar, sehingga dapat mendengarkan suara Tuhan di dalam hati, menemukan kedamaian sejati, dan memperkuat hubungan spiritual.

Baca Juga  Komitmen untuk Hidup Seimbang

Dalam konteks ini, lembaran yang terbungkam atau yang dibaca di dalam hati, bisa diartikan sebagai catatan pribadi dalam hubungan seorang hamba dengan Tuhan yang tidak selalu membutuhkan suara, ada sisi kehidupan yang kita jalani yang memiliki dimensi privat yang tidak selalu membutuhkan pengakuan atau penyampaian kepada orang lain. Dalam dunia yang penuh dengan kebisingan dan ekspektasi sosial, untuk berbagi segala sesuatu, pastinya ada nilai tersembunyi yang harus dijaga agar tetap menjadi rahasia antara diri dan Tuhan.

Sebagai catatan pinggir, bahwa tidak semua hal yang kita alami perlu diumbar kepada dunia, ada aspek yang lebih baik disimpan sebagai bagian dari dialog antara diri dan Sang Pencipta. Lembaran yang terbungkam atau membaca lembaran di dalam hati sesungguhnya merupakan cara untuk merenungi dan menemukan makna terdalam dari peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi dalam hidup kita.

Wadzkur rabbaka fî nafsika tadlarru‘aw wa khîfataw wa dûnal-jahri minal-qauli bil-ghuduwwi wal-âshâli wa lâ takum minal-ghâfilîn”. Ingatlah Tuhanmu di dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut pada waktu pagi dan petang, dengan tidak mengeraskan suara, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah (QS. Al A’raf: 205).[]

 

Ilustrasi: Kalikuma Studio

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *