Cak Nun dan Wa Yarzuqhu Min Haitsu La Yahtasib

Sejujurnya saya sudah lama sekali ingin mengirimkan email ini, tapi saya merasa khawatir akan timbul prasangka kalau seolah saya ini yang paling perasa khususnya pada sosok Emha Ainun Nadjib (Mbah Nun). Sekarang ya, saya gas saja. Persoalan dibaca atau tidak, semoga ada titik temu pada prasangka yang seimbang.

Perkenalkan saya laki-laki, sejak saat email ini dikirimkan, usia saya 24 tahun. Belum menikah—sangat ingin menikah, saat ini saya bekerja di sebuah perbankan. Bukan pekerjaan yang populer dan ideal, tapi pekerjaan ini melatarbelakangi perasaan saya ketika hendak mengirimkan email ini.

Langsung saja. Semenjak saya mendengar kabar Mbah Nun sakit, hampir setiap hari saya menangis walau sebentar. Saya menjadi sibuk sekali membuka website Caknun.com, di-refresh berulang kali agar barangkali ada kabar terbaru dari Mbah Nun. Syukur-syukur Mbah Nun sendiri yang menulis pesan terbaru, khususnya untuk cucu-cucunya, anak-anak Maiyah. Seorang kawan menyarankan agar tetap terus mendoakannya.

Sebenarnya posisi saya saat ini tidak jelas. Apakah saya termasuk jamaah Maiyah? Saya tidak tahu. Apakah saya mengidolakan Mbah Nun? Tentu tidak. Saya sama sekali tidak mengidolakan Mbah Nun. Saya mengidolakan Rasulullah Muhammad, yang mana saya tahu banyak tentangnya salah satunya diperkenalkan oleh Mbah Nun. Saya sama sekali tidak mengagumi sosok Emha Ainun Nadjib. Saya mengagumi cara beliau berpikir, sudut pandangnya, mendengar, cara mengambil sikap, dan esensi tindakannya.

Saya belum pernah dep-depan langsung di depan Mbah Nun. Saya tidak bernyali untuk itu. Pasti saya bergetar, menangis dan batal cinta saya kepada beliau. Sebenarnya ingin sekali saya bertemu Mbah Nun, salaman, memeluk barang sebentar, tapi saya tahu diri, saya itu orang yang masih labil dan belum teteg hatinya. Saya cemas dan takut kalau bertemu langsung, cinta saya malah memudar dan hanya sebatas kepada jasad beliau, sebatas hanya fisiknya saja. Padahal fisik itu sama sekali tidak awet.

Selain itu, saya sampai sekarang sebisa mungkin merahasiakan dari orang lain kalau saya konsumtif terhadap buku Mbah Nun, artikel, esai dan/atau website, nonton YouTube Caknun.com dan juga sesekali ikut pengajian Padhangmbulan. Pengecut saya memang. Saya takut kalau-kalau berbuat jelek dan orang tahu kalau saya itu sering ngangsu kawruh bersama Jamaah Maiyah, nanti yang kena jeleknya bukan cuma saya, tapi Mbah Nun dan saudaraku di Maiyah juga kena.

Baca Juga  Nurani yang Lumpuh

Pernah ada yang tidak sengaja mendapati saya ketika sedang live streaming Padhangmbulan, lalu dia tanya, “Kamu pengikutnya Cak Nun, ya?”

Lalu saya jawab, “Ngapain Cak Nun diikuti? Cak Nun itu orang nggak jelas. Wong ngikuti kanjeng Nabi saja susahnya setengah mati, masa mau mengikuti Cak Nun?”

Mohon maaf jika penyataan saya itu terkesan merendahkan Mbah Nun. Tapi demi Allah, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya menghindarkan Mbah Nun dari fitnah akibat kerendahan dan kehinaan diri saya.

Sebenarnya saya samar-samar mengenal Mbah Nun sejak SMA. Kala itu saya bertanya tentang sticker Padhangmbulan yang ditempel di kaca lemari ruang tamu, yang kemudian dijawab oleh ibu saya bahwa dulu yang menempelkannya adalah Alm. Pakde. Dan ternyata Alm. Pakde dulu juga rutin hadir di majelis Padhangmbulan setiap bulannya.

Entah kenapa saya secara kebetulan menanyakan itu kepada ibu saya, wallahualam. Berselang beberapa hari kemudian saya menelusuri siapa prakarsaranya majelis tersebut dan mulai mendapati sosok Emha Ainun Nadjib. Sejak saat itu saya mulai tertarik dengan cara berpikir Mbah Nun.

Tidak lama dari kebetulan itu, saya ditimpa kebetulan lagi. Seorang rekan satu kelas di sekolah, juga konsumtif dengan Mbah Nun. Yang singkatnya pada beberapa minggu berselang kami berkesempatan mencari markas besar majelisnya beliau dan menemukannya di salah satu desa terpencil di Jombang.

Duh, Tuhan, saya mencintaimu dengan segala bentuk kebetulan-kebetulan yang Kau sengaja wa yurzuqhu min haitsu la yahtasib. Di sana saya bisa menatap Mbah Nun. Meskipun saya tidak rajin-rajin amat karena saya juga harus bekerja untuk hidup di Jombang.

Pernah saya punya kesempatan salaman langsung dengan mbah Nun, tapi saya urungkan. Karena saya kasihan kepada beliau dan takut kalau beliau kecapekan. Jadi saya salaman hanya dalam hati saja dari kejauhan. Sebenarnya masih banyak cerita pengalaman saya saat bersama jamaah maiyah.

Saya pernah mengalami kegundahan yang luar biasa. Saya beberapa kali sering tidur di alun-alun tiap malam. Dan saya sempat mengutuk Tuhan dan mendakwaNya atas apa saja yang menimpa saya. Tapi tidak lama atas upaya mem-finalkan kegundahan saya itu, saya kembali berniat untuk hadir di Padhangmbulan yang selalu pas saat purnama malam itu.

Baca Juga  Ijtihad Kemanusiaan ala Munawir Sjadzali

Dan apa yang terjadi? Sesampainya di Menturo, di lokasi terlaksananya Padhangmbulan, saya duduk di shaf depan bersama teman dan jamaah lainnya. Waktu itu saya datang sekitar pukul 22.00, dan sedang melantunkan “Duh Gusti”.

Entah mengapa saya tiba-tiba menangis tapi karena malu saya sembunyikan sebisa mungkin supaya kanan kiri saya tidak tahu. Entah sebuah kebetulan atau memang dengan cara itulah Allah menegurku, Mbah Nun menjelaskan tentang hidup agar terus berjuang. Pokoknya orang-orang kecil itu harus punya cara untuk bahagia dalam keadaan apapun. Hidup harus mencari keindahan. Tidak apa-apa menyerah, yang penting tidak menyerah pada rahmat Allah.

Pulang-pulang dari Padhangmbulan, saya tidak tahu kenapa saya merasa segar sekali. Saya malah punya sebuah pandangan baru yang bikin saya senyum-senyum sendiri. Habis subuh mau tidak mau saya melihat matahari terbit. Entah bagaimana kok semua kelihatan indah? Langitnya, tanamannya, udaranya, semuanya terlihat indah. Padahal setiap hari saya lihat itu, tapi saya baru menyadari pagi itu kalau ternyata dunia ini indah. Indah sekali.

Terakhir. Saya terus-menerus berdoa untuk keselamatan dan kesehatan Mbah Nun, khususnya, dan seluruh manusia pada umumnya.


Ilustrasi: tibunjogja

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *