Suasana Zoom malam itu cukup intens. Walau sudah hampir jam 11 malam, pertanyaan-pertanyaan mulai mengalir deras. Saya baru saja selesai mempresentasikan topik tentang gender dalam hukum waris Islam. Fokus saya adalah pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan yang diatur dalam al-Qur’an dengan formula 2:1 (QS. An-Nisa: 11). Saya menjelaskan bahwa sebagian ulama kontemporer mencoba membuka ruang reinterpretasi terhadap ketentuan ini, dengan pendekatan maqashid syariah—yaitu keadilan sosial dan kesetaraan hak.
Namun, begitu sesi tanya jawab dibuka, pertanyaan dari teman-teman langsung datang. “Kalau ketentuan 2:1 bisa direinterpretasi, apakah nafkah dan mahar juga bisa diubah? Kan sekarang perempuan juga banyak yang menafkahi diri sendiri, bahkan keluarganya.”
Saya sempat terdiam. Di kepala saya, banyak sekali yang ingin dijawab, namun waktu terbatas dan diskusi mulai melebar. Saya hanya sempat menyebut bahwa reinterpretasi bukan dari saya, tapi berasal dari pendapat para ulama kontemporer, dan bahwa solusi yang lebih moderat bisa dilakukan melalui hibah, wasiat atau kesepakatan keluarga melalui musyawarah.
Belakangan, saya merasa tidak puas. Bukan hanya karena kurang maksimal dalam menjawab, tapi juga karena ini pertanyaan yang penting. Ia menyentuh satu titik sensitif dalam dinamika relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam kontemporer: jika perempuan ingin kesetaraan dalam waris, apakah laki-laki juga boleh menuntut keringanan dalam beban nafkah dan mahar?
Antara Ketentuan Qath’i dan Ijtihadi
Pertama-tama, penting membedakan mana ketentuan yang bersifat qath’i (pasti, eksplisit dalam teks) dan mana yang bersifat ijtihadi (terbuka untuk penafsiran). Pembagian waris 2:1 memang disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Musdah Mulia, konteks sosial saat itu menempatkan laki-laki sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap keluarga, termasuk secara ekonomi. Oleh karena itu, ketentuan tersebut dilandasi oleh beban tanggung jawab yang berbeda.
Ulama seperti Abdullahi Ahmed an-Na’im dan Amina Wadud berpendapat bahwa ketika konteks sosial berubah—di mana perempuan juga bekerja dan menanggung beban ekonomi keluarga—maka ketentuan waris pun bisa direinterpretasi agar tetap sesuai dengan prinsip keadilan Islam.
Namun reinterpretasi ini tentu tidak sembarangan. Ia memerlukan pendekatan metodologis yang ketat, dan bukan berarti mengganti ayat, melainkan membaca ulang teks dalam kerangka maqashid syariah. Pendekatan ini antara lain dikembangkan oleh Muhammad Syahrur melalui teori “hudud”-nya, di mana hukum Islam dilihat sebagai rentang batas, bukan satu titik beku.
Bagaimana dengan Nafkah dan Mahar?
Nafkah dan mahar adalah dua kewajiban penting dalam pernikahan yang diatur dalam fikih Islam. Meski tidak terdapat ketentuan tetap dalam jumlah nafkah dan mahar, keduanya memiliki peran fundamental dalam menciptakan keseimbangan dan keadilan dalam keluarga. Namun, saat ini, banyak pasangan yang mulai mempertanyakan relevansi dan pembagian tanggung jawab ini, terutama ketika perempuan juga turut berperan dalam menafkahi keluarga.
Mahar, yang selama ini lebih dipandang sebagai kewajiban suami kepada istri, sebenarnya cukup fleksibel dalam penerapannya. Mahar bisa disesuaikan dengan kesepakatan bersama, dan bahkan bisa berupa barang atau jasa yang lebih relevan dengan kondisi pasangan. Seiring perkembangan zaman, banyak pasangan yang lebih memilih mahar yang lebih ringan atau berbentuk sesuatu yang lebih bernilai emosional, ketimbang materi yang besar.
Begitu juga dengan nafkah. Meskipun secara tradisional menjadi tanggung jawab utama suami, dalam kenyataannya, banyak perempuan yang turut menafkahi keluarga. Maka dari itu, pembagian nafkah di dalam rumah tangga bisa jadi lebih fleksibel. Dalam beberapa kasus, pasangan sepakat untuk berbagi tanggung jawab ekonomi, atau bahkan istri yang memiliki penghasilan tetap memberikan kontribusi. Ini bukan berarti suami lepas dari kewajibannya, tetapi nafkah bisa lebih bersifat kooperatif dan berbagi beban antara suami dan istri sesuai kemampuan masing-masing.
Maka, kalaupun ketentuan waris 2:1 direinterpretasi menjadi 1:1, kita juga bisa membuka ruang diskusi serupa untuk nafkah dan mahar. Ini bukan berarti menghapus kewajiban atau membuat segalanya setara dalam arti yang kaku, melainkan untuk menyesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi yang terus berkembang. Sebagai contoh, dalam konteks keluarga modern, di mana perempuan juga banyak yang bekerja dan berperan besar dalam perekonomian rumah tangga, adalah hal yang wajar jika tanggung jawab nafkah dan mahar bisa disesuaikan berdasarkan kesepakatan bersama, untuk memastikan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Realitas dan Refleksi
Saya paham, pertanyaan teman-teman di kelas itu bukan sekadar ingin membantah. Sebagian besar dari mereka justru sedang mencoba memahami ulang bagaimana Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam era sekarang. Di satu sisi, ada semangat untuk memperjuangkan hak perempuan agar lebih setara, termasuk dalam warisan. Tapi di sisi lain, ada keresahan dari laki-laki yang merasa beban di pundaknya tidak berubah, sementara haknya harus dikurangi.
Diskusi itu menunjukkan bahwa keadilan gender bukan soal siapa yang lebih banyak atau lebih sedikit, tapi bagaimana beban dan hak ditimbang secara setara. Reinterpretasi hukum Islam bukan berarti membongkar pondasinya, tapi membaca ulang dalam terang nilai-nilai luhur Islam: keadilan, maslahat, dan kesalingan.
Mungkin saya belum menjawab semuanya dengan baik saat itu, tapi setidaknya saya belajar: diskusi tentang gender dan hukum Islam akan selalu hidup, dan kita harus siap untuk terus belajar dan terbuka.
Referensi:
Mulia, Musdah. Islam dan Inspirasi Keadilan Gender. Jakarta: Gramedia, 2007.
Syahrur, Muhammad. Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami. Beirut: Al-Ahali, 1990.
Wadud, Amina. Qur’an and Women. Oxford University Press, 1999.
An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Reformation. Syracuse University Press, 1990.

Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram





