Umi Oji (Sebuah Obituari Sederhana)

Perempuan itu terampil memegang kapur putih sambil menulis kata per kata di kolong rumah panggung jati dua belas tiang. Dengan papan tripleks berukuran tiga kali dua. Mungkin sisa dari barang-barang sekolah yang sudah tak terpakai lagi setelah mekanisme “pemeriksaan” dinas-dinas di atasnya.

Murid kelas wombo uma itu tidak lebih dari hitungan jari. Saya dan beberapa teman sepermainan. Memang tidak banyak, tapi produksi pengetahuan di rumah itu tak terbendung. Selain belajar baca-tulis itu, yang terutama di rumah itu ialah belajar ngaji. Muridnya jangan ditanya, sancaka rumah itu penuh setiap bakda magrib. Bukan hanya anak-anak di sekitar rumah, juga yang jauh, diantar oleh orang tua mereka.

Maklum, guru ngaji di desa itu hitungan jari. Gratis, tidak dipungut biaya apa pun. Tidak ada absen, tidak ada penilaian formal, tidak ada komodifikasi agama, yang terpenting ialah kemauan belajar dan patuh pada guru. Setelah pensiun menjadi guru Raudhatul Athfal desa itu, Umi dibantu Abu, membuka TPA di sancaka rumahnya. “Aip da midi mpoa e, dua labo Abu” (biar ada kesibukan berdua sama Abu), ceritanya kepada saya suatu waktu.

Biasanya, kalau sedang duduk berdua di teras rumahnya, saya goda Umi menceritakan pengalamannya menjadi guru. Ceritanya mengalir saja dari kemahirannya menjahit hingga muna tembe sampai bagaimana ia awalnya menjadi guru. Katanya, ia pernah di tempatkan di salah satu sekolah di wilayah Wera, lalu di Mande dan terakhir di kampungnya Sambina’E.

Tentu, yang paling banyak mendapat porsi cerita ialah di kampungnya ini. Umi dengan kolega-koleganya mengembangkan Raudhatul Athfal di kampung ini. Saat itu, satu-satunya. Namun, yang paling sering diceritakannya ialah sebuah pohon kinca di samping gedung RA itu. “nahu wau ma ngguda fu’u kawi di ka” (saya yang menanam pohon kinca itu). Ucapnya dengan bangga.

Baca Juga  Jangan Pernah Lupakan Sayyidah Hajar

Pohon kinca ini memang enak dan buahnya lebat. Kawi karao, kata orang. Walaupun buahnya masih kecil tidak ada rasa kecut sama sekali. Jadi orang yang ingin mengambilnya, langsung makan juga enak. Tidak repot harus bawa sambal sia saha, itu. Belakangan pohon kinca ini ditebang untuk perluasan gedung RA.

***

Umi memang tidak terlalu banyak bicara, ia cenderung pemalu mungkin karena anak satu-satunya. Tapi ia pekerja keras. Ia guru yang baik. Dari Umi-lah mungkin saya mengenal “modernisme” itu. Modernisme dari pikiran anak kecil seperti saya. Setiap tanggal 1 di awal bulan, saya lah yang menemaninya ke Bank BRI Bima, tempat para pensiunan mengantri untuk mengambil hak pensiunnya.

Lao ari Mbojo”, itulah frase yang paling saya senangi ketika kecil. Jelas, selain ke Bank itu, akan ada jalan-jalannya. Akan ke pasar atau mampir ke toko bapak pada saat itu. Dalam memori saya, waktu menemani Umi dan Abu ke Bank inilah saya melihat atraksi jara sara’u di halaman Asi Mbojo lengkap dengan pasukan berbaju adat Bima dan tombaknya di tangan. Abu menggendong saya untuk melihat dari celah pagar besi istana kesultanan itu. 

Lain itu, mungkin Umi juga yang mengenalkan saya dengan kearifan. Arif dalam artian spiritual dan doa-doa. Arif untuk terus mengingat para orang tua yang mendahului. Beliau tidaklah mengajarkan kami untuk berdoa langsung kepada para almarhum-almarhumah. Saya ingat, waktu kecil, waktu umi masih kuat ke kebun pada musim panen padi dan mangga.

Saat kita ingin memakan buah mangga di kebun itu, wajiblah ia menceritakan siapa yang menanam pohon mangga itu, dan kita disuruhnya untuk mengirim al fatihah sebelum memakan buah-buah hasil kebun itu. Belakangan ini saya sadar bahwa itu bukan hanya cara mengingat leluhur. Tapi lebih dari itu, cara merawat pengetahuan tentang pohon, lingkungan, hubungannya dengan orang sebelum kita.

Baca Juga  Dari Pidato Sang Sarjana ke Pidato Sang Profesor

Kearifan yang tersadarkan, setelah gaung ekoteologi, ekofeminisme, environmental ethics, back to nature dikampanyekan hampir setiap hari oleh Kementerian Agama, kementerian yang selalu dibanggakan oleh Umi sendiri. Kearifan itu diajarkan oleh Umi saat saya masih asyik dengan dunia berlari dan berpetualang di sawah-sawah.

***

Ia selalu punya pandangan ke depan. Sekolah-sekolahnya harus diperhatikan. Mungkin karena ia seorang guru yang hanya tamat SMP. Jelas, pendidikan terbaik harus diraih. Madrasah yang baik harus dimasukin. Caranya, untuk cucunya-cucunya, mungkin untuk memotivasi yang setiap tanggal satu selalu dikasih jatah uang pensiun itu. “Maalum sakola ari Mbojo” (Maklum sekolah di kota). Ujarnya sambil senyum.

Di masa tuanya, ia sudah tak mengajar ngaji lagi sancaka rumah. Estafet menjadi guru ngaji diserahkan ke putri tertua. Dengan nama baru, dengan generasi baru. Tapi tetap dengan reha (alas al-Qur’an) peninggalan murid-murid Umi dulu yang mereka bikin sendiri dengan mencacah batang pohon-pohon besar dan dimotif sendiri.

Umi Oji pergi di Selasa pagi Dzulqa’dah yang tenang. Pergi, dikenang sebagai guru ngaji oleh murid-muridmu dulu waktu mereka kecil. Pergi ketika jaraknya dengan saya 1.738 Km dan percayalah nenek, saya menulis obituari dengan perasaan yang tak menentu, sesusah saya menyambungkan kalimat per kalimatnya. Karena riuhan isi kepada dan kenangan, itu.[]


Ilustrasi: pixabay.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *