Terma dangdut oleh kebanyakan orang dinilai merupakan onomatope dari bunyi instrumen tabla India. Sumber awalnya ditemui dalam pernyataan Putu Wijaya melalui esainya bertajuk “Dunia Ellya Khadam” yang diterbitkan Majalah Tempo pada tanggal 27 Mei 1972. Putu Wijaya menyatakan bahwa lagu “Boneka dari India” Ellya Khadam merupakan perpaduan irama padang pasir dan India yang kemudian disingkatnya menjadi musik “dang, ding, dut”.
Jika ditelaah lebih dalam, pernyataan itu sesungguhnya hanya digunakan untuk mengungkapkan ciri musikal dari orkes melayu yang berpadu dengan tabla. Akan tetapi, pengungkapan itu lama-kelamaan justru disepakati publik sebagai sebuah aliran musik baru, yakni dangdut. Maka, sangat masuk akal jika banyak yang menilai bahwa terma dangdut berasal dari “dang, ding, dut”.
Selama ini, ada yang luput untuk kita pertanyakan bertautan dengan peristiwa tersebut, yakni dimanakah tabla itu sekarang? Dalam dangdut klasik maupun dangdut koplo kiwari, tabla sama sekali tak menunjukan taji. Ini adalah sebuah ironi, mengingat tabla mempunyai kedudukan yang penting dalam kelahiran musik dangdut.
Tak bisa dinafikan bahwa tabla memang digunakan dalam lagu dangdut di awal kelahirannya. Hal ini bisa dilihat melalui lagu “Boneka dari India” anggitan Husein Bawafie yang digadang-gadang sebagai cikal bakal dangdut. Warna, susunan, dan dinamika tablanya begitu kentara. Bunyi itu cukup mampu mengungkapkan nuansa India yang menjadi acuannya.
Tetapi, eksistensi tabla mulai memudar pada tahun-tahun selanjutnya. Kita bisa melihat kepudaran itu melalui lagu-lagu dari Mansyur S, Lilis Suryani, Ida Laila, hingga Oma Irama. Kebanyakan lagu mereka tak lagi menggunakan tabla. Tabla tergeser oleh instrumen lain yang bentuknya mirip tetapi lebih ramping dan pendek. Lantas, mengapa terjadi pergeseran?
Ada satu hal fundamental yang menyebabkan tabla tergeser, yakni musikalitasnya. Tabla sesungguhnya mempunyai unsur bunyi yang banyak, macam ta, tin, tun, te, kat, ghe, dan seterusnya. Ty Burhoe—seorang musikus ulung sekaligus peneliti asal Amerika menulis dalam blog pribadinya, bahwa setidaknya ada 15 unsur bunyi dalam tabla. Tetapi, keseluruhan bunyi tabla tersebut tidak dapat dijumpai dalam unsur perkusif dangdut. Hanya ada beberapa bunyi saja yang digunakan dalam unsur perkusif dangdut.
Dalam konteks ini, tabla sesungguhnya tidak diperlukan secara utuh. Ia hanya menjadi inspirasi musikal. Inspirasi musikal itu berupa dentuman perkusif yang ritmis dan dinamis sehingga bisa meramaikan sajian musikal melayu yang cenderung sayu dan mendayu. Oleh sebab itu juga, tabla direduksi agar lebih praktis, efektif, dan relevan. Maka, terlahirlah instrumen baru yang lazim disebut dengan kendhang ketipung.
Ketipung
Ketipung sesungguhnya adalah replika dari tabla. Hanya saja, ada beberapa modifikasi, seperti bentuknya yang lebih ramping dan pendek, hilangnya lempengan besi dalam membran, hingga cara pelarasan yang berbeda dengan tabla. Semua itu dilakukan dalam rangka penyesuaian terhadap kebutuhan musikal.
Pertanyaan pentingnya, mengapa disebut ketipung? Untuk mengetahuinya, kita perlu kembali pada orkes melayu. Dalam orkes melayu, unsur perkusif yang digunakan ialah rebana ataupun babano (kendhang melayu). Secara organologis, rebana maupun babano sangat berbeda dengan ketipung. Begitu pula cara memainkannya. Secara etimologispun, tak ada riwayat yang menyatakan terma ketipung dalam orkes melayu.
Dalam konteks ini, maka perlu dipertanyakan, dari manakah asal ketipung? Saya menduga, istilah ketipung diadopsi dari salah satu kendhang gamelan Jawa, yakni kendhang ketipung. Kendhang ketipung dalam gamelan Jawa memuat bunyi yang cenderung nyaring sehingga mampu membubuhkan nuansa riang. Selain itu, warna bunyi dalam kendhang ketipung mempunyai kemiripan dengan warna bunyi tabla yang dibutuhkan dalam dangdut. Warna bunyi itu sama-sama mampu membangkitkan gairah untuk bergoyang.
Barangkali, kesamaan-kesamaan itulah yang membuat kendhang ketipung diadopsi namanya. Nama itu dijadikan sebagai pengenal sebuah instrumen baru yang mereplika tabla India. Bahkan, lebih jauh lagi, ketipung juga menjelma menjadi identitas musikal dari musik dangdut, terutama koplo.
Lihat saja bagaimana senggakan (salah satu elemen musikal yang identik dengan dangdut koplo) dimainkan. Senggakan itupun tak bisa dipisahkan dari bunyi ketipung. Adanya bunyi ketipung membuat senggakan menjadi lebih mantap dan bernas. Tanpa ketipung, senggakan terasa kosong, tidak utuh, dan kurang mengasikan. Dengan demikian, ketipung adalah instrumen yang menentukan kekuatan musikal dangdut koplo.
Penyamarataan
Ini adalah pertanyaan sederhana tetapi punya konsekuensi yang mendalam: sejauh mana kita mengetahui ketipung? Saya yakin, banyak di antara anda atau kita yang tak tahu ketipung. Padahal, kumandang bunyi ketipung sesungguhnya sangat akrab di telinga kita melalui musik dangdut.
Faktanya, tak sedikit dari kita yang menyebut bahwa elemen perkusif dalam dangdut (entah klasik maupun koplo) adalah kendhang. Tak sedikit pula lirik lagu yang melegitimasi bahwa elemen perkusif itu hanya dengan sebutan kendhang. Apakah tindakan itu salah? Saya kira, hal itu tidak salah namun kurang tepat.
Jika disimak melalui lensa yang lebih luas, negeri ini mempunyai puspawarna kendhang. Kendhang Bali, Jaipong, Bem, Ciblon, Ageng, ataupun Beleq adalah beberapa ikhtibarnya. Semua itu tergolong kendhang tetapi tidak semuanya dapat dimainkan dalam dangdut.
Dalam konteks ini, kebanyakan dari kita sesungguhnya telah mengabaikan puspawarna kendhang yang ada di negeri ini. Lebih jauh lagi, kita menyamaratakan kedudukan ketipung bersama dengan kendang-kendhang lainnya. Dalam kacamata etnomusikologi, peristiwa semacam ini perlu diluruskan karena setiap instrumen mempunyai nilai serta kisahnya masing-masing. Jika penyamarataan itu tetap diteruskan, maka nilai serta kisah tersebut akan hilang ditelan zaman.
Dalam konteks ini, ketipung adalah sebuah artefak yang memuat sepenggal kisah tentang eksistensi dangdut. Tanpanya, mungkin dangdut koplo tak terlihat tajinya. Ketipung juga menyimpan laku artistik masyarakat kita beberapa tahun lalu. Berkat kreatifitas dan inovasi yang dilakukan, ketipung bisa terlahirkan.
Kita tidak bisa menghanyutkan ketipung dalam rumpun kendhang begitu saja. Sebab, menghanyutkan sama saja menyirnakan kisah di dalamnya. Sebaliknya, dengan mengenal dan mengingat ketipung, kita telah menghargai laku artistik dan sepenggal sejarah yang pernah ada. Menghargai ketipung sama dengan menghargai dangdut.[]

Etnomusikolog, Kolomnis, dan Komposer