Judul di atas adalah potongan dari pernyataan Gus Dur, lengkapnya adalah “guru spiritual saya adalah realitas, dan guru realitas saya adalah spiritualitas”. Betapa mendalamnya pernyataan Gus Dur tersebut. Tidak semua orang bisa memaknai bahwa realitas yang nampak di muka bumi adalah bentuk atau jalan untuk menemukan spiritualitas, jalan untuk sampai kepada Tuhan bukan hanya lewat ibadah yang sifatnya ritual, tetapi merenungi keberadaan alam semesta atau realitas kehidupan ini adalah tangga untuk dapat mencapai spiritualitas atau kedekatan dengan Tuhan.
Dalam perjalanan mikraj Nabi, Nabi lebih banyak menghayati ayat-ayat realitas dalam perjalanan bersama malaikat Jibril. Nabi banyak berdialog dengan Jibril sepanjang perjalanan mikrajnya. Tuhan sengaja menampakkan ayat-ayat realitas kepada Nabi, sebagai bentuk pembelajaran bahwa dibalik ayat-ayat realitas ada banyak pelajaran yang terkait eksistensi Tuhan, ada realitas-realitas ilahiyah yang dapat dirasakan oleh seorang hamba yang memanfaatkan hasil perenungan atau kontemplasi dengan nuraninya.
Para ulama terdahulu dalam pengembaraannya mencari pundi-pundi keilmuan, mereka melakukan perjalanan beratus-ratus kilometer untuk mencari setitik ilmu, dibalik pencarian ilmu tersebut, mereka juga banyak melakukan perenungan terhadap ayat-ayat yang dihamparkan oleh Tuhan di muka bumi ini. Tuhan sudah memaparkan ayat-ayat realitas seperti yang disebutkan dalam surah “al Gasyiyah”, beberapa ayat realitas yang disuguhkan oleh Tuhan, sebagai bahan renungan untuk manusia.
Tawaran-tawaran Tuhan dalam ayatnya tersebut, seperti apakah mereka yaitu manusia memikirkan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung-gunung ditegakkan, bagaimana bumi dihamparkan, itulah adalah premis-premis untuk memancing jiwa-jiwa spiritual yang dimiliki manusia agar tertarik untuk melakukan perenungan sebagai jalan untuk lebih dekat kepada Tuhan.
Manusia yang menempuh perjalanan menuju Tuhannya, bukan hanya membaca ayat-ayat qauliyah yang diturunkan Tuhan lewat perantaraan malaikat Jibril, tetapi juga harus bisa menerjemahkan ayat-ayat tekstual tersebut kepada pemahaman yang kontekstual. Ayat-ayat realitas yang ada di alam semesta ini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan ayat-ayat qauliyah, ayat-ayat qauliyah hanya berjumlah sekitar 6666 ayat. Berbeda dengan ayat-ayat realitas, yang begitu banyak, itu belum masuk ayat-ayat sosial kemasyarakatan, sejarah umat masa lalu, dan prediksi-prediksi masa depan.
Sangatlah tepat Gus Dur mengatakan, guru spiritual saya adalah realitas, tentunya realitas di sini adalah realitas secara umum, termasuk yang terkandung dalam al-Qur’an tentang proses penciptaan unta, langit yang begitu mengagumkan, gunung yang begitu tegak, bumi yang begitu terhampar dengan indah, realitas-realitas ini memberikan pembelajaran untuk manusia, lewat perenungan tersebut manusia dapat mencapai maqam-maqam yang tinggi dalam bidang spiritual.
Namun Gus Dur dalam menerjemahkan realitas itu lebih banyak menguras pikirannya pada sisi-sisi kemanusiaannya, kelompok-kelompok marginal yang mengalami tindakan kekerasan, yang tidak mendapat pemihakan dari kekuasaan sehingga mengalami peminggiran dalam kelompok sosial, itulah yang mendapat perhatian Gus Dur untuk mendapatkan perlindungan.
Dengan banyak membaca realitas, dan melakukan tindakan political will, dan melanjutkan dengan political action atau aksi-aksi kemanusiaan menjadi pembacaan realitas yang hakiki, dengan tindakan tersebut, yaitu pembacaan ayat realitas kita akan merasakan sentuhan-sentuhan atau bisikan-bisikan dari Tuhan sehingga nilai-nilai spiritual dalam diri kita akan kita rasakan, dan kehadiran Tuhan akan kita rasakan begitu dekat.
Bukan berarti bahwa Gus Dur meninggalkan teks-teks suci dalam menerjemahkan nilai-nilai keagamaan dalam aksi-aksi sosial, dia tetap berangkat dari ayat-ayat suci, dalam banyak statement-nya selalu juga mencoba mengutip ayat-ayat atau teks al-Qur’an maupun hadis, namun titik tekannya selalu diakhiri dengan kondisi pemihakan kepada realitas yang terjadi.
Menariknya Gus Dur, juga melanjutkan perkataannya bahwa bahwa guru realitasnya adalah spiritualitas. Bagi Gus Dur apa yang tampak dalam realitas sosial, itu ada makna-makna yang terkandung dibalik semua itu, di balik ayat-ayat sosial itu ada makna spiritual di baliknya. Seluruh yang ada di muka bumi ini, itu menjadi jalan-jalan spiritual untuk mendekat kepada Tuhan.
Aksi-aksi Gus Dur dalam perjalanan hidupnya baik sebelum menjadi ketua PBNU, sewaktu memimpin NU, sewaktu menjadi presiden, maupun sebelum semua itu, ketika masih sibuk dalam perjalanan intelektualnya, semua itu dijadikan oleh Gus Dur bentuk-bentuk atau tahapan-tahapan menuju spiritualitas. Jadi realitas itu adalah cermin untuk lebih mengokohkan diri tetap berada di jalur spiritualitas. Begitupun untuk mencapai spiritualitas yang kokoh, realitas menjadi cermin yang harus kita renungkan.[]
ilustrasi: laduni.id
Dalam perjalanan mikraj Nabi, Nabi lebih banyak menghayati ayat-ayat realitas dalam perjalanan bersama malaikat Jibril. Nabi banyak berdialog dengan Jibril sepanjang perjalanan mikrajnya. Tuhan sengaja menampakkan ayat-ayat realitas kepada Nabi, sebagai bentuk pembelajaran bahwa dibalik ayat-ayat realitas ada banyak pelajaran yang terkait eksistensi Tuhan, ada realitas-realitas ilahiyah yang dapat dirasakan oleh seorang hamba yang memanfaatkan hasil perenungan atau kontemplasi dengan nuraninya.
Para ulama terdahulu dalam pengembaraannya mencari pundi-pundi keilmuan, mereka melakukan perjalanan beratus-ratus kilometer untuk mencari setitik ilmu, dibalik pencarian ilmu tersebut, mereka juga banyak melakukan perenungan terhadap ayat-ayat yang dihamparkan oleh Tuhan di muka bumi ini. Tuhan sudah memaparkan ayat-ayat realitas seperti yang disebutkan dalam surah “al Gasyiyah”, beberapa ayat realitas yang disuguhkan oleh Tuhan, sebagai bahan renungan untuk manusia.
Tawaran-tawaran Tuhan dalam ayatnya tersebut, seperti apakah mereka yaitu manusia memikirkan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung-gunung ditegakkan, bagaimana bumi dihamparkan, itulah adalah premis-premis untuk memancing jiwa-jiwa spiritual yang dimiliki manusia agar tertarik untuk melakukan perenungan sebagai jalan untuk lebih dekat kepada Tuhan.
Manusia yang menempuh perjalanan menuju Tuhannya, bukan hanya membaca ayat-ayat qauliyah yang diturunkan Tuhan lewat perantaraan malaikat Jibril, tetapi juga harus bisa menerjemahkan ayat-ayat tekstual tersebut kepada pemahaman yang kontekstual. Ayat-ayat realitas yang ada di alam semesta ini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan ayat-ayat qauliyah, ayat-ayat qauliyah hanya berjumlah sekitar 6666 ayat. Berbeda dengan ayat-ayat realitas, yang begitu banyak, itu belum masuk ayat-ayat sosial kemasyarakatan, sejarah umat masa lalu, dan prediksi-prediksi masa depan.
Sangatlah tepat Gus Dur mengatakan, guru spiritual saya adalah realitas, tentunya realitas di sini adalah realitas secara umum, termasuk yang terkandung dalam al-Qur’an tentang proses penciptaan unta, langit yang begitu mengagumkan, gunung yang begitu tegak, bumi yang begitu terhampar dengan indah, realitas-realitas ini memberikan pembelajaran untuk manusia, lewat perenungan tersebut manusia dapat mencapai maqam-maqam yang tinggi dalam bidang spiritual.
Namun Gus Dur dalam menerjemahkan realitas itu lebih banyak menguras pikirannya pada sisi-sisi kemanusiaannya, kelompok-kelompok marginal yang mengalami tindakan kekerasan, yang tidak mendapat pemihakan dari kekuasaan sehingga mengalami peminggiran dalam kelompok sosial, itulah yang mendapat perhatian Gus Dur untuk mendapatkan perlindungan.
Dengan banyak membaca realitas, dan melakukan tindakan political will, dan melanjutkan dengan political action atau aksi-aksi kemanusiaan menjadi pembacaan realitas yang hakiki, dengan tindakan tersebut, yaitu pembacaan ayat realitas kita akan merasakan sentuhan-sentuhan atau bisikan-bisikan dari Tuhan sehingga nilai-nilai spiritual dalam diri kita akan kita rasakan, dan kehadiran Tuhan akan kita rasakan begitu dekat.
Bukan berarti bahwa Gus Dur meninggalkan teks-teks suci dalam menerjemahkan nilai-nilai keagamaan dalam aksi-aksi sosial, dia tetap berangkat dari ayat-ayat suci, dalam banyak statement-nya selalu juga mencoba mengutip ayat-ayat atau teks al-Qur’an maupun hadis, namun titik tekannya selalu diakhiri dengan kondisi pemihakan kepada realitas yang terjadi.
Menariknya Gus Dur, juga melanjutkan perkataannya bahwa bahwa guru realitasnya adalah spiritualitas. Bagi Gus Dur apa yang tampak dalam realitas sosial, itu ada makna-makna yang terkandung dibalik semua itu, di balik ayat-ayat sosial itu ada makna spiritual di baliknya. Seluruh yang ada di muka bumi ini, itu menjadi jalan-jalan spiritual untuk mendekat kepada Tuhan.
Aksi-aksi Gus Dur dalam perjalanan hidupnya baik sebelum menjadi ketua PBNU, sewaktu memimpin NU, sewaktu menjadi presiden, maupun sebelum semua itu, ketika masih sibuk dalam perjalanan intelektualnya, semua itu dijadikan oleh Gus Dur bentuk-bentuk atau tahapan-tahapan menuju spiritualitas. Jadi realitas itu adalah cermin untuk lebih mengokohkan diri tetap berada di jalur spiritualitas. Begitupun untuk mencapai spiritualitas yang kokoh, realitas menjadi cermin yang harus kita renungkan.[]
ilustrasi: laduni.id

Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat