Saya masih ingat pertemuan singkat dengan Komunitas Masyarakat Adat di Gili Trawangan, yang dipimpin oleh Mamiq Ra’is. Sore itu, angin laut berhembus membawa aroma asin, dan suara musik dari sebuah beach bar di kejauhan terasa seperti sebuah ironi. Kami duduk di Sekretariat Lembaga Masyarakat Adat, membicarakan sesuatu yang jarang menjadi headline brosur pariwisata: keheningan. Ya, keheningan. Sesuatu yang tampaknya lebih mahal daripada sekadar tiket masuk sebuah beach club dengan DJ internasional.
Pertemuan itu dimulai dengan cerita sederhana. “Anak-anak muda sekarang sudah biasa dengar musik keras,” ujar Mamiq Ra’is, “tapi bagi kami, malam Jum’at bukan sembarang malam. Itu malam penuh doa. Malam untuk tafakur. Kalau musik disetel keras sampai dini hari, bagaimana kami bisa mendengar suara azan subuh, apalagi bisikan hati sendiri?”
Pertanyaan itu menggelitik saya. Benarkah suara hati bisa kalah oleh dentuman bass? Atau justru hati kita yang semakin keras kepala, hingga azan terdengar samar, sementara deru musik EDM terasa sejelas panggilan sahur
Di Trawangan, pulau kecil dengan reputasi global sebagai surga pesta, kontradiksi ini terasa begitu kasat mata. Siang hari, masjid berdiri kokoh di tengah kampung, menjadi pusat kegiatan ibadah masyarakat lokal. Malam hari, lampu neon bar dan beach club menyala seperti mercusuar dunia lain, memanggil ribuan wisatawan mancanegara untuk menenggelamkan diri dalam euforia. Dua dunia ini berdiri berdampingan, tanpa tembok pemisah, hanya dipisahkan oleh kesadaran—atau ketiadaan kesadaran.
Di sinilah konsep “Jum’at Sunyi” lahir. Sebuah kesepakatan tak tertulis yang kemudian diformalkan dalam aturan adat: malam Jum’at, tidak ada party. Tanda-tanda kehidupan malam diredupkan, musik dihentikan, bar menutup lebih awal. Pulau yang biasanya berdentum dengan irama reggae, house, atau techno, tiba-tiba berbalik menjadi hening. Wisatawan pun awalnya kaget, bahkan protes. “Why no party on Friday night? We are on holiday!” begitu kata seorang backpacker asal Eropa yang saya temui. Saya hanya bisa tersenyum miris. Apakah liburan memang harus identik dengan pesta? Apakah pulau tropis hanya berarti cocktail, dance floor, dan musik hingga subuh
Masyarakat adat menjawab dengan cara mereka sendiri. “Kalau kalian datang untuk menikmati laut, pasir putih, dan senyum kami, maka hormati juga doa-doa kami,” kata salah seorang tokoh adat. Kalimat sederhana, tapi penuh logika antropologis: pariwisata bukan hanya soal tempat, tapi juga soal manusia yang menjaganya.
Tentu, kebijakan ini tidak lahir begitu saja. Ada tarik-menarik panjang antara pengusaha bar, komunitas adat, dan pemerintah desa. Party adalah “urat nadi ekonomi” di Trawangan. Tidak bisa dipungkiri, setiap dentuman musik berarti perputaran uang: dari tiket masuk, minuman, hingga tips untuk bar tender. Membatasi party berarti membatasi pemasukan. Namun di sisi lain, bagaimana mungkin masyarakat lokal bisa mempertahankan identitas dan ritual mereka kalau setiap malam, bahkan malam Jum’at sekalipun, harus bersaing dengan decibel speaker.
Sosiolog Islam, Alwi Shihab, pernah menulis bahwa spiritualitas masyarakat Muslim Indonesia selalu menemukan cara untuk berdamai dengan modernitas, tanpa kehilangan jati dirinya. Saya kira inilah yang sedang terjadi di Trawangan. Larangan party pada malam Jum’at bukan sekadar larangan. Ia adalah negosiasi budaya, sebuah upaya mempertahankan ruang suci di tengah arus kapitalisme pariwisata.
Lebih jauh, saya teringat pendapat Clifford Geertz tentang “agama sebagai sistem budaya”. Agama, bagi Geertz, bukan hanya soal keyakinan, tapi juga praktik yang membentuk makna kehidupan sehari-hari. Nah, di Trawangan, makna itu diwujudkan dalam keheningan Jumat malam. Sebuah sistem budaya yang lahir dari tafsir lokal atas Islam dan adat, lalu dipaksakan secara halus kepada para wisatawan global.
Tentu saja, tidak semua turis bisa memahami. Maka lahirlah kompromi: silent party. Sebuah inovasi aneh sekaligus brilian. Di beberapa tempat, wisatawan boleh tetap berpesta, tapi dengan syarat musik hanya terdengar lewat headset. Jadi dari luar, tampak sekelompok orang menari dalam diam, tubuh mereka bergerak mengikuti irama yang tak terdengar. Dari perspektif masyarakat lokal, ini kompromi yang bisa diterima. “Setidaknya suara musik tidak mengganggu azan, atau tadarus malam,” kata seorang Warga yang juga penguasa lokal.
Namun di balik kompromi itu, pertanyaan sinis tetap muncul: benarkah silent party adalah bentuk penghormatan? Atau hanya siasat kapitalis agar bisnis tetap jalan tanpa menyinggung adat? Lagi-lagi, kita dipaksa bertanya: di pulau sekecil ini, siapa sebenarnya yang sedang berkuasa? Adat, agama, atau pariwisata global?
Ramadhan menghadirkan dilema serupa. Bagi masyarakat lokal, bulan suci adalah momen memperdalam iman. Bagi wisatawan, bulan itu hanyalah kalender yang tidak relevan. Maka, Komunitas Adat menetapkan aturan lebih ketat: bar harus membatasi jam operasional, musik diredupkan, bahkan beberapa aktivitas pesta dihentikan. Lagi-lagi, terjadi negosiasi keras antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan ekonomi. “Kalau bulan puasa pun tetap pesta, apa artinya kami ini masih punya tanah?” tanya seorang warga. Pertanyaan itu seperti tamparan. Betapa sering kita menganggap adat hanyalah aksesori, padahal ia adalah fondasi eksistensi.
Dari perspektif antropologi Islam, praktik seperti ini menunjukkan dinamika khas masyarakat Muslim di wilayah pariwisata. Menurut Akbar S. Ahmed, Islam lokal selalu berproses dalam dialog dengan konteks sosial, budaya, dan ekonomi. Islam di Trawangan bukan Islam puritan yang menolak total pariwisata, tapi juga bukan Islam liberal yang melebur begitu saja. Ia memilih jalan tengah: menerima turis, tapi dengan syarat tertentu.
Namun, apakah wisatawan benar-benar memahami makna Jum’at Sunyi? Atau mereka hanya melihatnya sebagai “aturan aneh” dari masyarakat yang dianggap konservatif? Sering kali saya mendengar komentar sinis: “This is business, not religion!” Tapi justru di situlah letak kritiknya: mengapa bisnis selalu ditempatkan di atas spiritualitas? Mengapa iman selalu harus bernegosiasi dengan minuman beralkohol dan tiket konser?
Sedikit menyatire, umat lokal yang memiliki tanah, laut, dan masjid harus meminta “izin” kepada pemilik bar agar doa mereka tidak terganggu. Seakan-akan spiritualitas adalah pengganggu utama profit. Tidakkah ini absurd?
Salah seorang tokoh adat menuturkan kisah yang cukup keras. “Pernah dulu ada bar yang bandel, tetap buka party besar di malam Jum’at. Kami datangi, kami minta berhenti. Mereka menolak. Akhirnya, listrik bar itu kami cabut. Malam itu bar gelap gulita, dan baru mereka sadar, bahwa di pulau ini bukan mereka yang punya kuasa penuh.” Kisah itu terdengar seperti peringatan. Bahwa adat bukan sekadar tradisi, tapi juga bentuk kuasa kolektif.
Saya pun merenung: bukankah di banyak tempat lain, tradisi kalah oleh pasar? Bukankah kita sering menyaksikan ritual keagamaan berubah menjadi atraksi wisata, hanya demi kepuasan turis? Di Trawangan, masyarakat justru melawan arus itu. Mereka tidak menjual doa menjadi pertunjukan, tapi memaksa pesta menyesuaikan diri. Sebuah perlawanan kecil, tapi bermakna.
Pertanyaan tetap menggantung: sampai kapan adat bisa bertahan? Apakah “Jum’at Sunyi” hanya akan jadi slogan romantis yang suatu hari kalah oleh kebutuhan investor? Ataukah ia akan menjadi contoh bahwa pariwisata bisa berjalan seiring dengan spiritualitas?
Bagi saya, pengalaman ini adalah pengingat bahwa keheningan bukan sekadar ketiadaan suara. Ia adalah simbol. Simbol bahwa di tengah gegap gempita globalisasi, masyarakat lokal masih berhak menentukan kapan dan bagaimana mereka ingin didengar.
Maka, setiap kali saya mengingat malam Jum’at di Trawangan, saya selalu terbayang ironi itu: di satu sisi, turis menari dengan headphone di kepala, tubuh mereka bergoyang dalam keheningan. Di sisi lain, masyarakat kampung berkumpul di masjid, mengumandangkan doa. Dua dunia yang berbeda, tapi justru karena berbeda itulah mereka bisa berdampingan.
Dan mungkin, di situlah pelajaran sejatinya: bahwa spiritualitas bukan untuk meniadakan hiburan, tapi untuk memberi ruang agar manusia tetap bisa mendengar dirinya sendiri di tengah keramaian. Bahwa adat bukan sekadar romantisme masa lalu, tapi perisai agar masyarakat tidak hanyut dalam ombak pariwisata.
Apakah turis akan mengerti? Entahlah. Tapi saya yakin, siapa pun yang pernah merasakan Jum’at Sunyi di Trawangan akan sadar: ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar pesta. Ada ruang hening, di mana spiritualitas dan pariwisata bernegosiasi—dan untuk sekali waktu, keheninganlah yang menang.[]

Penulis/Akademisi